Indonesia adalah negara kesepakatan, di mana masyarakatnya yang berbeda-beda sejak awal negara ini berdiri telah sepakat bersatu dalam bingkai negara Pancasila. Ia (Pancasila) memberi kita pedoman bagaimana hidup rukun dan damai dalam perbedaan dengan mengedepankan semangat saling menghargai, toleransi, gotong royong, dan persatuan. Keragaman suku, agama, ras, dan sebagainya, semua dilindungi dalam naungan Pancasila. Pancasila menjadi pelindung sekaligus jembatan penghubung antar elemen dan kelompok masyarakat, sehingga diterima dan terus dijaga oleh seluruh bangsa Indonesia.
Maka, kemunculan gerakan khilafah otomatis tertolak di Indonesia. Sebab, kelompok ini bermimpi mendirikan negara agama dengan sistem syariat Islam. Bagi bangsa Indonesia yang beragam, terutama keragaman agama, tentu khilafah bisa menimbulkan keretakan dan perpecahan. Sebab secara mendasar, ide negara khilafah bertentangan dengan prinsip negara Pancasila yang sudah disepakati para pendiri bangsa ini sejak awal.
Bangsa Indonesia yang beragam butuh wadah pemersatu, bukan penyeragaman. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan Pancasila, bukan khilafah. Selain tidak sesuai dengan kebutuhan atau realitas masyarakat Indonesia, ide khilafah sendiri pada dasarnya tidak jelas dan tidak tercantum dalam sumber utama ajaran Islam (Al Qur’an dan Hadis).
Baca juga : Khilafah dan Problem Imortalitas Ideologi
Prof. Mahfud MD dalam tulisannya berjudul “Menolak Ide Khilafah” (Kompas, 26/05/2017) menegaskan, khilafah tidak ada dalam sumber primer Islam sistem yang baku. Sistem pemerintahan umat Islam terserah pada umatnya sesuai keadaan masyarakat dan perkembangan zaman. Buktinya, kita bisa melihat di dunia Islam sendiri sistem pemerintahannya berbeda-beda. Ada yang memakai sistemmamlakah(kerajaan), ada yang memakai sistememirat(keamiran), ada yang memakai sistemsulthaniyyah(kesultanan), ada pula yang memakaijumhuriyyah(republik), dan sebagainya.
Menurut Prof. Mahfud MD, beragamnya sistem pemerintahan di dunia Islam itu menjadi bukti nyata bahwa di dalam Islam tidak ada ajaran baku tentang khilafah. Di dalam istilah fikihnya, sudah adaijma’ sukuti(persetujuan tanpa diumumkan) di kalangan para ulama bahwa sistem pemerintahan itu bisa dibuat sendiri-sendiri asal sesuai dengan maksud syar’i (maqaashid al sya’iy). Maka negara Pancasila hasil kesepakatan para pendiri bangsa, termasuk di dalamnya para ulama Nusantara, telah menjadi pilihan final yang terbaik bagi bangsa Ini. Bagi umat Islam di Indonesia, Pancasila tidak bertentangan, bahkan sejalan dengan syariah Islam, sehingga harus diterima sebagaimietsaaqon ghaliedzaaatau kesepakatan luhur bangsa.
Gerakan negara khilafah tak memiliki sumber kuat. Sudah begitu, ia juga bertentangan dengan konsep negara Pancasila, tak cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia. Wajar khilafah tertolak di Indonesia. Lagipula, kita tahu khilafah sebelumnya juga sudah ditolak di banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim. Bahkan, Hizbut Tahrir, organisasi pengusung khilafah, sudah ditolak di dua puluh negara lebih. Sebab ideologi khilafah bertentangan dengan realitas politik kontemporer, menolak demokrasi, menentang nasionalisme dan konsep negara-bangsa.
Pemerintah Indonesia memang sudah membubarkan HTI sebagai ormas pengusung khilafah. Namun, kita tetap harus terus waspada sebab masih ada berbagai aktivitas yang terindikasi menyebarkan paham khilafah dari kelompok-kelompok atau organisasi turunannya. Mereka masih bergerak menyebarkan propaganda di tengah masyarakat melalui berbagai macam cara, termasuk dengan berkamuflase, juga menunggangi berbagai isu atau persoalan yang sedang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat.
Upaya menolak dan menangkal paham khilafah semakin menantang ketika di tengah masyarakat sendiri telah ada sebagian masyarakat yang mendukung atau setuju Indonesia menjadi negara khilafah. Salah satu buktinya, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis pada 2017 menunjukkan ada 9,2 persen responden yang setuju NKRI diganti menjadi negara khilafah (Kompas.com, 04/06/2017).
Jika kita cermati, 9,2 persen dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia itu tidak sedikit. Jumlahnya bisa sampai 20 juta penduduk. Bisa dibayangkan betapa bahayanya jika 20 juta orang tersebut terus aktif menyebarkan propaganda khilafah di tengah masyarakat. Jika kita tidak aktif menangkal, bukan tidak mungkin angka tersebut akan semakin bertambah.
Melihat berbagai ancaman tersebut, jelas kita tak boleh lengah. Selain menolak dan membubarkan ormas pengusungnya, sangat penting membangun benteng yang kokoh agar masyarakat tak terpengaruh propaganda khilafah tersebut. Benteng penangkal khilafah bisa dibangun, terutama dengan terus menguatkan nilai-nilai Pancasila, nasionalisme, dan semangat persatuan dan kesatuan bangsa.
Setiap individu musti berperan membangun benteng tersebut lewat peran masing-masing sesuai bidang. Pemimpin, pejabat, aparat penegak hukum, akademisi, guru, tokoh agama, aktivis, orangtua, hingga seluruh masyarakat, semua mesti sadar dan bergerak memperkuat Pancasila dengan mengimplementasikan nilai-nilainya dalam kehidupan nyata. Sehingga dari sana tercipta kehidupan masyarakat yang aman, damai, harmonis, saling menghargai, dan selalu bersatu padu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam