Kelompok Hizbut Tahrir (HT) di Indonesia kembali membuat gaduh publik dengan dilaunchingnya film “Jejak Khilafah di Nusantara” pada 20 Agustus 2020. Film ini dinahkodai oleh Nicko Pandawa, seorang alumni sejarah peradan Islam UIN Jakarta yang ditengarai merupakan bagian dari kelompok pengusung khilafah.
Film ini dirilis secara persuasif melalui setiap akun email para netizen (pendaftar) yang ingin menonton film tersebut. Mereka berupaya untuk menggaet akun data para pengguna media untuk kepentingan big data yang mereka himpun selama ini. Tak ayal, karena mereka memiliki potensi SDM yang luar biasa dalam bidang media dan teknologi. Mereka selalu berupaya bagaimana algoritma media sosial selalu membincang tentang #Khilafah dan hastag semacamnya. Karena sejak lama, mereka telah menggunakan media sosial untuk memuluskan kepentingannya.
Dalam konteks ini, mereka sangat gencar melakukan agitasi di media untuk menggaet suara massa. Padahal ideologi khilafah ala HT secara tidak langsung telah tertolak dengan realitas keindonesiaan yang multikultural ini. Melalui film tersebut, mereka berupaya memaksakan agar jejak sejarah Islam di Nusantara harus sesuai dengan kepentingannya. Meskipun dengan memanipulasi jejak sejarah islam di Nusantara itu sendiri.
Baca juga : Daur Ulang Ideologi Khilafah dan Matinya Nalar Kritis
Sedangkan yang dimaksud Nusantara adalah sebutan bagi panjangnya rumpun kepulauan dengan rentang waktu kehidupan yang sangat lawas. Bentang waktu itu, kemudian berisi beragam kronik jejak dinamika manusia yang varian. Dinamika itupun masih terus berlanjut hingga sampai saat ini. Termasuk dinamika sejarah islam di Nusantara (Indonesia).
Secara historis, Nusantara merupakan satu fase diantara kronologi yang panjang itu adalah pertemuan dengan sebuah ajaran Islam yang luhur dari Nabi Muhammad sampai oleh guru-guru sufi nan cendikiawan. Lantas kemudian, apakah ada relasi historis antara Khilafah dengan Islam di Nusantara?
Senyatanya, meminjam bahasa Hasanuddin Abdurrahman, logika para pendukung khilafah itu delusional. Mereka delusional soal masa depan, juga delusional soal masa lalu. Salah satu bentuknya adalah klaim delusional mereka soal kerajaan Islam Nusantara yang mengaku berada di bawah Turki Usmani. Mereka punya delusi bahwa di zaman khilafah itu umat Islam bersatu dalam satu kekuasaan saja. Keberadaan berbagai kerajaan Islam di Nusantara tentu mengganggu delusi mereka soal persatuan itu. Maka, mereka memanipulasi sejarah kerajaan Islam Nusantara yang menginduk ke Turki dalam film tersebut.
Sepanjang sejarahnya, khilafah itu tidak tunggal. Sejak Dinasti Umayyah dihancurkan oleh Abbasiyah, keturunan Muawiyah mendirikan kerajaan sendiri. Sepanjang sejarah Abbasiyah ada pecahan-pecahan wilayah yang juga mengaku diri mereka sebagai khilafah, yaitu Umayyad, Fatimid, Ayyubid, dan sebagainya. Dalam imajinasi delusional pendukung khilafah, umat Islam selalu berada dalam satu kekuasaan. Selama masa kejayaan Turki Usmani pun banyak wilayah muslim yang berdiri sebagai kerajaan sendiri. Kekaisaran Mughal, misalnya, adalah kerajaan mandiri yang tidak berada di bawah kekuasaan Turki. Jadi, untuk mengaitkan sejarah dinasti Turki dengan Islam di Nusantara adalah bentuk kecacatan sejarah yang nyata.
Karena menurut Filolog Prof. Oman Fathurrahman, tidak ada jejak sejarah dalam naskah-naskah sejarah Nusantara yang menyebutkan bahwa ada relasi kekuasaan antara Turki dengan Nusantara, khususnya Aceh. Padahal jika demikian, hal ini bertentangan dengan prinsip khilafah itu sendiri yang mewajibkan pemimpinnya laki-laki. Sedangkan kerajaaan Islam di Aceh pernah dipimpin oleh empat perempuan.
Dalam hal ini, kelompok HT ini telah berupaya untuk mengkamuflase sejarah Islam di Nusantara sesuai dengam versi mereka. Dan narasi sejarah yang dipaparkan dalam film ini telah banyak ditolak oleh para pakar sejarah Nusantara, seperti Prof. Azyumardi Azra, Prof. Peter Carey dan para ahli sejarah yang lain. Beruntungnya pula, film ini cukup tertutupi dengan viralnya film “Tilik 2018” yang dalam seminggu terakhir menjadi perbincangan netizen, khususnya karakter bu Tejo, yang seakan mirip dengan para pengasoh khilafah ini. Bu Tejo merupakan sosok karakter yang suka menyebarkan hoaks seperti halnya kelompok HT dan ia selalu berusaha untuk “solutip” dalam memecahkan berbagai persoalan dengan ideologinya (khilafah) untuk sekitarnya.