“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak oleh demokrasi yang hanya menghargai mereka menurut jumlah suaranya di TPS saja. Gen Z yang terkenal kreatif sesungguhnya akan mampu membuat berbagai terobosan baru agar pemahaman Islam kafah bisa diakses dan dipahami oleh masyarakat luas.”
Sepenggal narasi tersebut lantang terdengar di sebuah artikel di platform Muslimah News. Dilihat dari teknis penyajiannya, keseluruhan artikel tersebut terbilang bukan kaleng-kaleng. Dalam artikel, aspek ideologis dari gerakan politik “Khilafah Islam” dibungkus dengan cukup populer. Sasarannya tentu saja adalah pembaca muda dengan kecenderungan gaya bahasa yang tidak terlalu formal.
Di media sosial, akun Muslimah News ID menampilkan dirinya dengan cukup catchy. Saya sendiri bahkan cukup terkesan dengan effort betapa akun tersebut secara visual terlihat lebih memanjakan mata. Pemilihan warna, desain grafis, dan format konten terasa jauh lebih dinamis dan profesional dengan kelihaian membangun identitas visual. Ini agak kontras jika dibandingkan, misalnya akun-akun milik institusi negara.
Walapun begitu, satu catatan penting di sini yang perlu diketengahkan adalah: propaganda ideologis yang terstruktur sering kali hadir dengan kemasan modern dan daya tarik visual yang tinggi. Secara muatan konten, platform dan akun media sosial seperti Muslimah News tampak aktif merespons kondisi mutakhir dan mengaitkannya dengan ideologi Khilafah sebagai sistem politik.
Seperti diketahui, ruang digital bukanlah arena netral. Media sosial, sebagai ruang komunikasi terbuka, telah menjadi medan pertempuran ideologi, wa bil khusus menjelang perhelatan politik besar seperti Pilkada 2024. Gen Z, yang lahir dan tumbuh dengan paparan digital, memiliki peran sentral dalam dinamika ini. Generasi ini bukan hanya pengguna media sosial, tetapi juga aktor yang membentuk tren komunikasi digital. Dengan daya tarik mereka terhadap hal-hal visual dan narasi cepat, Gen Z menjadi target empuk bagi kelompok dengan agenda ideologis tertentu, seperti penyokong sistem Khilafah.
Di sisi lain, demokrasi sebagai sistem politik kerap diposisikan dalam narasi tandingan. Dalam artikel-artikel seperti yang disebarkan oleh Muslimah News, demokrasi dianggap cacat, hanya peduli pada suara tanpa substansi, dan jauh dari nilai-nilai Islam yang “seutuhnya.” Perspektif ini secara cerdik disisipkan ke dalam diskursus sehari-hari tentang permasalahan sosial, seperti pajak yang dianggap membebani, korupsi, hingga isu judi online yang semakin marak. Semua masalah itu kemudian dihubungkan dengan solusi tunggal: Khilafah!!
Tantangan Demokrasi di Era Digital
Betapapun, narasi khilafah sebagai ideologi politik ini tidak muncul tanpa alasan. Demokrasi di Indonesia, khususnya jelang Pilkada, memang menghadapi berbagai tantangan. Munculnya politisasi agama, korupsi yang belum teratasi, hingga apatisme sebagian masyarakat terhadap proses politik menjadi celah bagi narasi-narasi alternatif seperti Khilafah untuk berkembang. Dalam konteks ini, platform sejenis Muslimah News rupanya berhasil mengisi kekosongan yang mungkin tidak dijawab oleh narasi resmi pemerintah atau partai politik.
Ironisnya, di saat negara mempromosikan demokrasi sebagai sistem yang inklusif, beberapa institusi atau aktor politik justru gagal memanfaatkan ruang digital untuk membangun keterlibatan bermakna. Akun-akun media sosial resmi pemerintah, misalnya, sering kali terlihat kaku dan monoton. Mereka kurang mampu berbicara dalam bahasa Gen Z yang kreatif, segar, dan relevan dengan keseharian mereka.
Sementara itu, kelompok-kelompok seperti Muslimah News tidak hanya menyampaikan ide, tetapi juga menciptakan engagement. Mereka merespons isu-isu terkini dengan sigap, menawarkan solusi yang tampak radikal tetapi sederhana, dan membangun komunitas digital yang loyal. Dalam ruang seperti ini, Gen Z tidak sekadar menjadi audiens, tetapi juga peserta aktif dalam diskusi dan penyebaran pesan.
Ruang Digital yang Kondusif
Untuk menciptakan ruang digital yang kondusif jelang Pilkada 2024, pendekatan serupa dengan apa yang dilakukan oleh Muslimah News perlu diadopsi. Tujuannya tentu saja harus berbeda: memperkuat nilai-nilai demokrasi yang inklusif, plural, dan menghargai keberagaman. Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan aktor politik harus belajar bagaimana membangun narasi yang menarik, kontekstual, dan mudah diakses oleh generasi muda.
Hal ini melibatkan beberapa strategi. Pertama, pendekatan visual dan estetika konten harus menjadi prioritas. Gen Z tidak akan tertarik pada pesan-pesan yang disampaikan secara kaku dan tidak menarik secara visual. Kedua, narasi yang disampaikan harus relevan dengan isu-isu yang dekat dengan kehidupan mereka, seperti pendidikan, lapangan kerja, dan isu lingkungan. Ketiga, melibatkan Gen Z dalam proses penciptaan konten itu sendiri, sehingga mereka merasa memiliki ruang untuk berkontribusi.
Lebih jauh lagi, penting untuk membangun mekanisme literasi digital yang mampu mengenalkan Gen Z pada dinamika informasi di dunia maya, termasuk bagaimana membedakan informasi yang valid dari propaganda. Literasi ini tidak hanya tentang mengenali fakta, tetapi juga memahami konteks sosial dan politik di balik sebuah narasi. Sedikit berat memang. Namun ini perlu disegerakan jika tidak ingin kalah canggih dengan gerakan trans-nasional yang tampaknya lebih menguasai medan digital.