“Dan jangan sekali-kali kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhannya mendapat rezeki. Mereka bergembira dengan karunia yang diberikan Allah kepadanya…(Ali Imron : 168-171). Saya kira tidak ada satupun umat Islam yang menyangkal kebenaran ayat ini.
Tapi persoalannya ketika ayat ini banyak dipahami sangat harfiyah dengan mengatakan jenazah tersenyum, berbau wangi, berkeringat dan sebagainya. Kategori syahid yang sejatinya title sakral dan banyak diincar oleh semua orang bahkan Nabi Muhammad pun sangat menginginkan title Syahid tersebut terasa sangat mudah untuk dicari indikatornya secara fisik.
Terasa semakin membingungkan ketika label syahid itu dilekatkan secara serampangan kepada seseorang yang telah nyata membuat keonaran dan kerusakan di muka bumi. Seorang yang telah dinyatakan baik ulil amri (pemerintah) dan ulama sebagai tindakan teror mendapatkan pujaan oleh segelintir orang sebagai syahid.
Masyarakat awam tentu saja sasaran empuk dari cerita yang emosional, fiktif dan lebay dengan menggambarkan jenazah teroris berbau wangi, tersenyum, berkeringat dan narasi lebay lainnya. Cerita fiktif yang disebar di dunia maya tersebut memang ingin menanamkan kepada masyarakat bahwa mereka syahid dan tindakan yang selama ini merupakan tindakan jihad.
Akal sehat mulai berpikir. Semudah itukah kita mengenali indikator kesyahidan. Segampang itukah cara seseorang menggapai label syahid. Harus sejahat itukah dengan cara membunuh dan menumpahkan darah yang tidak berdosa untuk disebut mujahid. Sungguh sangat bertentangan dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamin.
Dalam peristiwa otopsi jenazah Siyono yang sempat kontroversial ada pernyataan menarik yang keluar dari Ketua Umum Pimpinan Pengurus Muhammadiyah, Haedar Nashir menanggapi gossip jenazah Siyono yang berbau wangi. Menurutnya, pertama itu menunjukkan penyakit media sosial. Kedua, selalu ada komodifikasi mitos karena itu yang paling laku di media (Tempo, 18 April 2016). Ada pesan penting yang dianjurkan oleh Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) “kalau kita muslim yang rasional, muslim yang akidahnya hanif, tidak percaya terhadap hal-hal seperti itu”.
Benar sekali, masyarakat kita adalah masyarakat yang mudah terbakar pesan viral di media sosial. Apalagi konten yang disebarkan bernuansa emosional menggugah perasaan. Di media sosial polisi tidur di atas kardus saja bisa menjadi atensi dan perbincangan nitizen. Cerita mistik yang dikomodifikasi merupakan jualan laku di media sosial.
Siapa yang tidak tergugah semisal menemukan narasi: Si A jauh dari pribadi Sangar, ia sangat bersahaja, rajin ibadah dan sering membantu masyarakat. Sungguh kematiannya sangat memilukan dan jelas kesyahidannya dengan wajah tersenyum dan mengeluarkan berkeringat. Subhanallah!. Ada serangan opini yang ingin ditusukkan menembus perasaan pembaca. Apalagi ditegaskan dengan akhiran seolah pembenaran relijius, Subhananallah. Saya menjadi ingat pesan Bapak Haedar bahwa pribadi muslim yang rasional dan hanif tidak akan mudah terpedaya dengan jualan murahan seperti itu.
Konten-konten seperti ini akan laku di media sosial. Itulah penyakit media sosial di tengah masyarakat yang selalu terpancing konten emosional, banyak menyebarkan sedikit verifikasi, dan banyak memprovokasi, sedikit mengedukasi. Tidak mengherankan jika media sosial dengan jutaan penghuni lintas generasi merupakan ladang subur bagi penyebaran propaganda, hasutan, kebencian dan provokasi kelompok radikal.
Barangkali kita harus segera menyatakan: jangan sekali-kali kamu mengira teroris yang gugur akan mematikan terorisme. Sesungguhnya Terorisme akan terus tumbuh jika paham dan ideologi kekerasan dan ekstrim masih tumbuh di tengah masyarakat. Sikap resistensi masyarakat terhadap berbagai ideologi kekerasan dan tidak mudah terhasut dengan propaganda dan provokasi di media sosial akan menentukan keberhasilan mencegah dan mematikan terorisme.
Rumus penting dalam menangkap konten media sosial: ke depankan akal sehat dan pemikiran yang terbuka. Periksa kebenarannya sebelum menyebarkan. Renungkan kemanfaatan konten sebelum disebarkan. Konten yang benar belum tentu mempunyai nilai manfaat untuk disebarkan. Waspadalah berbagai tipu daya, narasi fiktif-mistik dan propaganda di media sosial.