Membabat habis akar radikalisme bukan perkara yang mudah. Kecanggihan teknologi dimanfaatkan sebagai ajang untuk menebar dakwah radikal hingga melahirkan berbagai agen teroris. Bahkan melalui akses media sosial, seseorang dengan mudah digiring untuk tunduk dan bergabung sebagai “budak” radikalisme. Mudahnya akses media sosial dijadikan sebagai ajang propaganda secara terbuka dan terang-terangan untuk membangun dakwah radikal.
Kasus kematian Santoso seorang pemimpin teroris beberapa waktu lalu menjadi bukti sahih wajah ganda media sosial. Di satu sisi, media sosial membantu memudahkan penangkapan para gembong teroris. Berbagai foto identitas pelaku, jejak rekam (track record) aktivitas teror, hingga tempat yang pernah dijadikan sebagai sarang teroris beredar secara luas. Ini tentunya sangat menguntungkan. Media sosial menjadi sarana edukasi pencegahan terorisme.
Namun di sisi lain, media sosial juga tak luput menampilkan keganasannya. Melalui media sosial, kematian Santoso secara mengejutkan ditemukan berbagai foto dan artikel terkait jenazah Santoso berbau wangi, wajahnya bercaha, dan seakan tersenyum. Hal ini membuktikan bahwa dakwah radikal dengan mudah merambah melalui propaganda media sosial.
Ini tentunya sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan dakwah radikal konvensional. Dimana indoktrinasi dilakukan secara lisan dari mulut ke mulut. Bidikan utamanya adalah keluarga dan sanak saudara. Maka wajar dakwah radikal konvensional melahirkan agen teroris secara turun temurun adalah dinasti kekeluargaan. Oleh karena itu, dakwah radikal konvensional bersifat tertutup, sembunyi-sembunyi, dan jaringan kurang luas.
Dewasa ini dakwah radikal konvensional sudah mulai ditinggalkan. Kendati tidak menutup kemungkinan dakwah tersebut juga berpotensi kembali menyeruak ke permukaan. Kewaspadaan harus terus dihadirkan di kalangan masyarakat agar tidak terseret pada arus radikalisme. Selain itu, membentengi keimanan dan ilmu pengetahuan yang tidak mudah dikoyak harus terus dipelihara, Karena radikalisme bukan ancaman yang mudah diremahkan.
Propaganda Media Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), propaganda merupakan penerangan (paham, pendapat, dsb) yang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Jika dikaitkan dengan media sosial, maka propaganda media sosial merupakan aktivitas media sosial (Facebook, Twitter, Instagram, dan Path) yang secara masif digalakkan guna mempengaruhi keyakinan seseorang agar mengikuti suatu doktrin tertentu (radikalisme). Indoktrinasi secara terbuka seperti inilah yang tengah membombardir integritas bangsa ini.
Tidak dapat dimungkiri, propaganda media sosial dijadikan sebagai sarana dakwah radikal yang sangat menguntungkan. Secara terang-terangan propaganda dilakukan untuk merekrut massa sebanyak-banyaknya secara tatap muka (face to face). Alhasil, sebagai besar korban adalah mereka pada usia remaja yang notabene sebagai pengguna aktif media sosial. Rentang usia 15 – 25 tahun merupakan titik rawan nalar pikir yang mudah dipengaruhi serta diombang-ambing untuk menunjukkan eksistensi diri.
Dalam opininya, Agus Surya Bakti (2015) mengonfirmasi bahwa dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat ini kehadiran media sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka. Semua kalangan bisa dengan mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses radikalisasi berlangsung di dunia maya. Inilah tantangan sekaligus kegelisahan atas popularitas era media sosial.
Lebih mengkhawatirkan adalah remaja pengangguran dan putus sekolah. Sebagai hasrat untuk menyalurkan kegelisahan dilampiaskan pada media sosial. Banyaknya waktu luang yang mereka miliki berpotensi dijadikan sebagai ajang untuk memupuk subur akar radikalisme. Terlebih lagi, radikalisme dengan motif iming-iming uang dengan jumlah fantastis. Sehingga bijak mengelola media sosial harus terus dibangun bagi generasi kekinian.
Untuk itu, gerakan dakwah radikal harus segera dihentikan. Mewanti-wanti remaja sebagai agen penangkal radikalisme harus segera ditegakkan. Remaja tidak boleh menjadi ajang untuk menguatkan akar radikalisme. Pencegahan propaganda radikalisme via media sosial dapat dilakukan dengan kebijakan pemerintah untuk memproteksi berbagai situs yang berbau radikalisme. Secara otomatis, situs tersebut jika diakses akan terblokir. Hal itu harus diimbangi dengan peran keluarga dan tokoh masyarakat untuk mencegah dakwah radikal.