Jurnalisme Damai untuk Indonesia Damai

Jurnalisme Damai untuk Indonesia Damai

- in Editorial
5516
0

Sebuah fakta akan tampak berbeda di media yang berbeda. Realitas dalam berita sejatinya kontstruksi realitas dari hasil reporduksi realitas media. Media memainkan peran yang sangat vital dalam mempengaruhi opini masyarakat.

Berita yang selalu menampilkan corak kekerasan, konflik, pertikaian dan kondisi destruktif untuk dijual kepada pembaca sejatinya telah mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam melihat realitas yang sesunguhnya. Sebaliknya, media yang selalu memberikan cara pandang alternatif dalam melihat kekerasan, konflik, dan pertikaian akan mendorong masyarakat untuk memiliki cara pandang yang damai.

Jurnalisme damai merupakan suatu jenis pendekatan jurnalistik yang hadir di tengah kegelisahan media dan pemberitaan pers yang selalu menghadirkan gambaran realitas hitam dan putih; kalah dan menang, salah dan benar dalam mengugkap fakta. Media menjadikan konflik, kekerasan, korban, kerusakan dan kontroversi sebagai komoditas informasi yang laku dan layak dikonsumsi. Media tidak tertarik untuk mencari aspek kemanusiaan dalam konflik, akar masalah dalam kekerasan, dimensi empati para korban, dan alternatif solusi dalam menyelesaikan perang. Media justru mendorong dua kubu dalam sudut dikotomis yang sulit dimediasi.

Kegelisahan inilah yang mendorong Johan Galtung menggagas jurnalisme damai (peace juornalism) yang kemudian diikuti oleh Annabel Mc Goldricik dan Jake Lycnh untuk mengubah paradigma pers dari jurnalisme perang. Dalam paradigma baru ini pers dan media harus mengambil peran dalam mendorong pihak-pihak bertikai untuk menemukan jalan keluar dan melakukan pendekatan menang-menang serta memberikan banyak alternatif dalam menyelesaikan konflik.

Jurnalisme damai tidak melihat konflik, kekerasan, peperangan dan pertikaian sebagai komoditas layak jual tetapi sebagai ironi kemanusiaan yang harus dihentikan. Jurnalisme damai akan lebih fokus untuk memotret empati korban dari aspek kemanusiaan, bukan jalannya konflik dan pertikaian yang terjadi.

Hoax telah membunuh kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan kepada sesama. Gempuran kebohongan, kecurigaan, fitnah, hasutan hingga ajakan kekerasan menjadi informasi yang tanpa filter masuk ke bilik pengetahuan masyarakat. Lambat tapi pasti kita sedang menemukan masyarakat yang mudah curiga, fanatik, ekslusif dan intoleran terhadap berbagai perbedaan.

Minimnya pemberitaan yang dapat mengangkat pengetahuan dan wawasan multikultural masyarakat merupakan problem sendiri. Media justru hanyut dalam kejar rating untuk memberitakan sesuatu yang kontroversi dan memanas. Tidak ada celah bagi masyarakat untuk menghirup informasi yang mencerahkan. Dari media abal-abal mereka menemukan kebohongan, dari media mainstream mereka menemukan kericuhan.

Besarnya kepercayaan masyarakat terhadap media merupakan peluang besar bagi lembaga media untuk memposisikan diri sebagai pemberi informasi yang mencerdaskan dan mencerahkan. Derasnya informasi palsu dan meningkatnya pemeritaan yang kontroversi semakin memperkeruh pengetahuan dan opini masyarakat. Di tengah iklim kontestasi yang memanas, media tidak boleh terjatuh dalam upaya memperkeruh suasana tetapi mampu menghadirkan informasi yang berimbang.

Media harus menjadi corong yang bisa memberikan perspektif dan wawasan yang mencerahkan. Dalam kondisi hiruk pikuk realitas sosial yang semakin tidak kondusif, pers harus menjadi wahana yang mampu memberikan informasi yang menanamkan persatuan. Di sinilah pentingnya jurnalisme damai menjadi arus utama dalam pemberian informasi ke pada masyarakat. Mari jadikan pers sebagai ujung tombak merawat perdamaian bangsa melalui berita dan informasi yang mencerahkan.

Facebook Comments