Dalam kebudayaan Jawa terdapat istilah yang konon cukup mendiskreditkan segolongan orang yang berpaham wahdatul wujud, atau lebih merujuk pada anak murid Pangeran Lemah Abang. Istilah itu adalah istilah “kiniyai” yang digunakan secara diametral dengan istilah “kyai.” Kiniyai adalah segolongan orang yang bukan kyai yang dianggap suci secara moral dan tegak dalam hal akidah.
Dapat diketahui bahwa sebelum istilah ustadz, ulama, ataupun istilah-istlah untuk menyebut kaum agamawan, dalam dunia per-kyai-an sendiri, sudah ada upaya penjarakan dengan kyai-kyai yang dianggap heterodoks. Fakta ini memang jauh dari perhatian publik mengingat di Jawa paham yang dibawa Pangeran Lemah Abang atau Siti Jenar lebih menyatu dengan kearifan masyarakat-masyarakat setempat, yang kemudian dikenal sebagai paham “kejawen.”
Maka, dalam dunia Islam, khususnya di bidang tasawuf, dibedakanlah antara golongan alim dan golongan arif yang memang banyak tak menguasai ilmu-ilmu agama atau ilmu-ilmu syari’at, namun konon mereka lebih paham akan segala hal yang tersirat. Beruntunglah Islam yang berkembang di luar pulau Jawa karena para agamawan yang dianggap heterodoks masih tetap dilabeli sebagai “syaikh” dsb., yang menunjukkan bahwa mereka masih dianggap sebagai bagian dari Islam. Dan jauh dari beruntung, namun juga mengandung hikmah tersendiri, ketika kaum arif di Jawa—yang di masa silam pernah dideskreditkan sebagai “kiniyai” atau “golongan kebatinan”—melahirkan apa yang kini lebih dikenal sebagai “orang-orang kejawen.”
Padahal, ketika secara jujur orang meneliti kiprah ataupun warisan-warisan para “kiniyai” itu di Nusantara, barangkali merekalah yang paling pantas menyandang label sebagai orang Nusantara, atau kini, orang Indonesia. Apa yang di hari ini dikenal sebagai bingkai-bingkai keindonesiaan, sebuah pegangan untuk bagaimana semestinya menjadi orang Indonesia, telah mereka terapkan sejak dahulu yang karenanya membuat mereka memperoleh label-label yang jauh dari kesan Islam.
Bingkai-bingkai keindonesiaan yang dipegang oleh para “kiniyai” itu di hari disebut sebagai empat bingkai keindonesiaan yang identik dengan kerukunan: bingkai politis (Pancasila dan UUD 1945), bingkai yuridis (berbagai aturan atau perundang-undangan), bingkai sosiologis (kearifan-kearifan lokal), dan bingkai teologis (moderasi agama).
Bukankah banyak aliran penghayat kepercayaan, ketika pada tataran identitas menjadi bagian dari “kejawen,” lahir di masa-masa menjelang kemerdekaan, yang secara kebudayaan lekat dengan pemilihan Pancasila sebagai identitas kebangsaan, baik politis, ekonomis, kebudayaan maupun agamis?
Bukankah kelaziman dalam menyebut sang mantan brandal, Kalijaga, sebagai “walisongo sayap abangan” adalah bukti bahwa ketika orang kukuh memegang apa yang kini dikenal sebagai empat pilar kerukunan atau pilar keindonesiaan—yang memang adalah sebuah warisan yang pada dasarnya sudah ada dan diterapkan sejak lama (Singasasi dan Majapahit)—akan mendapatkan penyikapan tertentu?
Sebagai menantu Siti Jenar, apalagi putra bangsawan Majapahit, Kalijaga jelas-jelas berpahamkan wahdatul wujud yang memang memiliki implikasi politis-kultural yang pluralistik. Maka, jelas tak mungkin, dalam konsep wahdatul wujud, orang yang katanya berpancasila dan berkonstitusi lalu beragama secara tak moderat alias radikal, atau beragama secara moderat, namun anti terhadap kearifan-kearifan lokal yang sudah termanifestasikan dalam Pancasila.
Dalam kearifan Jawa, kodrat atau secara sederhana disebut sebagai hukum, ternyata memang berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Maka, segala mala dan petaka pada dasarnya adalah sebentuk pelanggaran hukum yang akan berimplikasi pada sistem hukum yang lain. Taruhlah kasus-kasus kekerasan berlatarbelakang keagamaan, jangankan secara konstitusional ataupun hukum positif, secara hukum keagamaan pun hal itu sudah pasti tak dapat dibenarkan. Dan wahdatul wujud, yang merupakan pula bagian dari warisan nusantara, adalah sebentuk kondisi ketika seturut pada satu bentuk hukum atau kodrat, sudah secara otomatis seturut dengan sistem hukum atau kodrat yang lain.
Dengan demikian, beragama secara moderat, sebagai pilar teologis keindonesiaan, sudah dengan sendirinya juga akan berpancasila dan berkonstitusi secara politis, berundang-undang secara yuridis, dan berakulturasi secara sosiologis.