Kearifan Lokal Menumbuhsuburkan Syariat Agama

Kearifan Lokal Menumbuhsuburkan Syariat Agama

- in Narasi
58
0
Kearifan Lokal Menumbuhsuburkan Syariat Agama

Sangat disayangkan manakala ada anggapan bahwa kearifan lokal merupakan musuh bagi syariat agama. Kearifan lokal dianggapnya sebagai penghalang seorang hamba dapat menjalan ajaran-ajaran agamanya. Padahal kenyataannya tidak, banyak kearifan lokal yang justru menumbuhsuburkan syariat agama.

Nusantara merupakan tempat yang kaya akan kearifan lokal yang justru menumbuhsuburkan syariat agama (Islam). banyak budaya di negeri ini yang sejalan dengan ajaran agama Islam. Lihatlah di desa-desa yang masih menjaga kearifan lokal, mereka menjalankan syariat agama berupa sedekah dengan beragam bentuk kearifan lokal. Di setiap harinya, mereka terbiasa saling memberi sayuran atau bumbu masak. Pada waktu-waktu tertentu, mereka mengadakan sedekahan dengan membuat makanan dan dibagikan kepada warga sekitar. Momentum kehamilan, kelahiran, sunatan, menikah, hingga kematian, semua disertai dengan adanya sedekah.

Selain sedekah, perkumpulan-perkumpulan yang ada di masyarakat juga menjadi wahana melaksanakan syariat agama. Dalam sebuah perkumpulan, sering kali diadakan bacaan-bacaan kalimah toyyibah secara bersama-sama atau bahkan ada yang membaca al-Qur’an dan didengarkan oleh seluruh yang hadir. Semua ini merupakan syariat agama yang tidak perlu dilaksanakan secara sendirian namun juga perlu adanya syiar dengan melaksanakan secara bersama-sama dan di tempat umum.

Perkumpulan-perkumpulan warga yang salah satunya diisi dengan beragam amaliyah keagamaan merupakan wahana yang sangat strategis dalam membumikan sekaligus mensyiarkan ajaran agama. Belum lagi dalam acara kumpul-kumpul warga, biasanya tokoh masyarakat yang notabene juga kiai kampung secara perlahan namun kontinyu selalu menyampaikan pengetahuan-pengetahuan dasar terkait syariat agama. Dalam perkumpulan ini, tokoh agama akan mampu melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar sekaligus menggugurkan kewajiban setiap umat, yakni tholabul ‘ilmi.

Tentu tradisi yang ada di masyarakat tidak semua bersesuaian dengan syariat agama. Ada sebagian tradisi budaya yang menyimpang dari syariat agama. Dan tentu budaya semacam ini tidak patut diikuti oleh pemeluk agamanya. Bahkan, jika mampu, budaya tersebut diganti dengan konten-konten yang bersesuaian dengan ajaran agama.

Bermula dari sinilah, sikap manusia beragama di negara yang penuh dengan kekayaan tradisi budaya, termasuk di Indonesia, harus memiliki kecerdasan hati yang kuat. Jangan sampai hanya mengandalkan pikiran sehingga apa saja dianggap sesat karena tidak sesuai dengan teks ajaran agama. Bahkan wadah melaksanakan beragam ajaran agama berupa kegiatan-kegiatan tradisi budaya masyarakat dianggap sesat. Padahal wadah tersebut justru menjadi wahana para pemeluk agama mampu menjalan syariat agama dengan maksimal dan penuh dengan keikhlasan.

Kelompok tekstualis ini harus belajar bahwa dalam menjalankan agama, perlu menyesuaikan lokasi masing-masing. Ketika syariat agama yang tidak bisa diubah dapat dilaksanakan dengan baik, tentu tidak perlu mempermasalahkan tradisi yang ada. Sebagai misal, syarat sah shalat adalah menutup aurat. Maka bahan dan model penutup aurat tidak harus dipermasalahkan. Penutup aurat orang Arab dengan Indonesia tentu beda. Bahkan di Indonesia sendiri antar suku juga bisa berbeda-beda. Yang terpenting adalah bisa menutup aurat sesuai dengan syariat dan pantas (sopan) sebagai pelengkapnya.

Begitu juga dengan syariat sedekah, membaca al-Qur’an, dan lain sebagainya. Ketika di Nusantara ini banyak kegiatan tradisi semacam ibu hamil, melahirkan, khitan, nikah, hingga wafat dengan adanya sedekah, maka ini sudah benar. Tidak perlu mempermasalahkan tradisi yang tidak pernah ada larangan dalam syariat agama. Kegiatan sedekah dalam pelaksanaan tradisi-tradisi di Nusantara ini justru yang perlu mendapatkan apresiasi. Lebih-lebih kegiatan ini justru menjadikan motivasi tersendiri para warga untuk dapat bersedekah kepada sesama.

Sebaliknya, para pelaku tradisi juga jangan sampai mendewa-dewakan tradisi budaya hingga mengesampingkan tatanan agama. Lebih-lebih para aktivis agama yang cinta terhadap budaya lokal, jangan sampai mereka menghalalkan segala cara dalam rangka melestarikan budaya yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat agama. Mereka harus bisa sedikit demi sedikit mengubah isi sehingga sesuai dengan ajaran agama. Sebagai misal, di Nusantara ada tradisi padusan (mandi menjelang bulan suci Ramadhan). Jika memang pelaksanaannya tidak sesuai dengan syariat agama, misal di kolam renang yang bercampur antara laki-laki dan perempuan dewasa, maka bisa diubah dengan padusan di ruang tertutup sehingga tidak bisa campur antara laki-laki dan perempuan.

Cara-cara seperti ini dipastikan akan mampu menuai hasil yang maksimal. Syariat agama akan dengan mudah berkembang dan dilaksanakan umat dengan baik, kearifan lokal juga akan semakin tumbuh subur. Simbiosis mutualisme kedua belah pihak bisa tercapai. Dan semua ini bisa terlaksana atas dasar kebesaran hati bersama.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments