Keberagama(A)N Dalam Konstruksi Nation-State

Keberagama(A)N Dalam Konstruksi Nation-State

- in Narasi
1413
1
Keberagama(A)N Dalam Konstruksi Nation-State

Keberagaman Indonesia adalah berkah yang patut disyukuri. Nation State telah ditancapkan atas slogan Bhineka Tunggal Ika. Ribuan pulau dengan keragaman suku, etnis, agama, Bahasa, dan identitas lainnya mesti dijaga iklim harmonisnya.

Tidak bisa dipungkiri, keragaman di satu sisi menjadi modal yang membanggakan dan menopang kemajuan bangsa, tetapi di sisi lain juga mengkhawatirkan karena muncul potensi gesekan. Gesekan mudah tersulut jika orang-orangnya mengutamakan emosional, miskin toleransi dan lemah nasionalisme.

Agama menjadi salah satu contohnya. Antar penganut agama mudah mengalami gesekan, mulai verbal, visual, hingga fisik. Bahkan antar dalam kelompok agama. Namun di sisi lain pendekataan agama atau keberagamaan sangat fundamental perannya dalam strategi merawat keragaman.

Aktualisasi Keberagamaan

Semua agama memancarkan ajaran kasih sayang dan persaudaraan. Ajaran teologi mesti diaktualisasikan secara konstekstual, tidak sekadar dipahami secara tekstual. Ayat pertama yang turun dalam Islam adalah Iqra’. Artinya tidak sekadar membaca tekstual, melainkan hingga kontekstual, read the word and the world.

Ajaran Islam tidak hanya sebatas pada masalah-masalah yang terkait dengan ibadah ritual seperti shalat, puasa, zakat, haji dan lainnya. Islam merupakan sistem kehidupan yang sangat kompleks dan menyeluruh (syamil wa mutakammil). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia, mulai yang remeh temeh hingga serius.

Baca juga :Menghilangkan Egoisme Identitas Untuk Mewujudkan Kerukunan Berbangsa

Muslim harus mengaktualisasikan ajaran agama secara kaffah atau komprehensif. Tidak sebatas pada diri sendiri, namun juga mesti dimasifkan menjadi gerakan. Transformasi nilai dan aktualisasinya telah disediakan kanal yaitu dakwah.

Dakwah Islam adalah meringankan bukan memberatkan, merangkul bukan memukul, membimbing bukan memaksa. Dakwah dapat dilakukan kepada intern umat Islam serta umat agama lain. Tentu dakwah nilai-nilai universal yang ditekankan jika berhadapan dengan umat agama lain. Karena dalam konsep Islam dikenal adanya faktor hidayah.

Aktualisasi ajaran Islam yang damai tentu akan mewarnai dan menentukan perdamian Indonesia. Mengingat Islam sebagai agama terbesar di negeri ini. Selanjutnya muslim juga mesti tampil di garda terdepan level internasional terkait resolusi konflik dan revitalisasi perdamaian global.

Konsekuensi Keberagaman

Keberagaman memberikan konsekuensi logis pentingnya menjaga hubungan agar harmonis. Kuncinya adalah revitalisasi toleransi. Toleransi yang dimaksud tentu bukan mencampuradukkan ajaran atau talbisul haq bil bathil. Penghormatan ajaran agama lain justru menjadi salah satu penciri toleransi. Sikap toleran mesti dibedakan dengan sinkretisme. Sinkretisme adalah membenarkan semua keyakinan/agama. Hal ini dilarang oleh Islam.

Islam sebagai agama terbesar di negeri ini jelas, tegas, dan lugas mengajarkan toleransi. Dalam bahasa Arab toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh”. Artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha – yasmuhu – samhan, wasimaahan, wasamaahatan, artinya: murah hati, suka berderma) (Kamus Al Munawir). Jadi toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dan dengan sabar menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.

Al-Quranmenegaskan bahwa Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang masih kafir. Ia pun bertanya kepada Rasulullah SAW, “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah SAW menjawab, “Boleh”. Kemudian turunlah ayat ke 8 Surat Al-Muntahanah di atas.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (mantan isteri Abu Bakar) yang telah diceraikannya pada zaman jahiliyah, datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu Bakar, membawa hadiah, Asma menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenan-kan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus seseorang kepada Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah SAW. Maka Rasul pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair).

Berdasarkan ayat dan hadits di atas, dapat kita pahami bahwa Islam menghargai sikap atau keyakinan orang-orang di luar Islam. Dan Allah SWT pun tidak melarang kita berbuat baik kepada mereka yang tidak memusuhi Islam. Hal inilah yang disebut dengan toleransi.

Penganut agama lain penting memahami secara mendalam dan mengimplementasikan ajaran toleransinya. Jika semua orang sadar, paham, dan menjalankan, maka toleransi bukanlah ilusi. Konflik dapat dicegah, persatuan terjaga, perdamaian terbangun dan keberagaman akan menjadi potensi besar bangsa ini menuju bangsa maju dalam kancah global.

Facebook Comments