Di tengah kewaspadaan kita karena pandemi Covid-19 yang masih belum mereda, kita dikejutkan dengan kabar duka lainnya yang memprihatinkan. Lagi-lagi, kasus terorisme kembali terjadi di Indonesia.
Kini, sebuah keluarga di pedalaman Lemban Tongoa, Palolo, Sigi Sulawesi Tengah menjadi korban serangan kelompok teroris. Sebagaimana dikabarkan media, pada Jumat 27 November 2020, delapan orang tak dikenal yang tiga di antaranya bersenjata langsung memasuki rumah warga dan menganiaya mereka hingga membuat empat orang meninggal. Empat orang yang menjadi korban tersebut merupakan pasangan suami istri, anak, dan menantunya. Selain membantai orang-orang, para pelaku juga membakar tujuh rumah warga.
Berdasarkan hasil penyelidikan, kepolisian telah berhasil mengidentifikasi pelaku pembantaian tersebut. Hasil penyelidikan mengarah ke kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang dipimpin oleh Ali Kalora.
Lagi-lagi, kelompok radikal-ekstremisme menciptakan ketakutan dan keresahan masyarakat. Kita belum tahu pasti motif dari aksi pembantaian tersebut. Keterangan dari Kapolda Sulteng, keluarga yang menjadi korban tak memiliki perselisihan apa pun dengan kelompok MIT Sebelumnya. Saat kejadian penganiayaan dan pembunuhan juga tidak ada kata-kata apa pun.
Pihak kepolisian memprediksi, kejadian tersebut merupakan bentuk balas dendam kelompok MIT. Karena sebelumnya, tepatnya pada 17 November 2020 kepolisian berhasil melumpuhkan dua orang dari kelompok tersebut yang selama ini masuk daftar DPO (Kompas.com, 29/11/2020).
Mujahidin Indonesia Timur (MIT) adalah kelompok militan yang pernah menyatakan setia kepada ISIS. Setelah pimpinannya, Santoso, tewas oleh Satgas Operasi Tinombala di pedalaman Sulawesi Tengah empat tahun lalu, MIT dipimpin oleh Ali Kalora. Ali Kalora diketahui sudah mengikuti Santoso menebar teror sejak 2011. Ali Kalora juga beberapa kali melakukan aksi teror terhadap aparat kepolisian, termasuk peristiwa penembakan pos polisi di Palu Sulteng pertengahan 2011 (tirto.id, 02/01/2019).
Aksi pembantaian yang dilakukan Ali Kalora dan kelompoknya di Desa Lemban Tongoa, Palolo, Sigi Sulawesi Tengah tersebut begitu membabi buta dan sadis. Jika kita membaca di media, banyak disebut bagaimana kondisi keempat korban yang sungguh mengenaskan. Bahkan, ada yang dibakar dan kepalanya dipenggal. Dikabarkan, kejadian saat itu begitu mencekam hingga sejumlah warga yang tinggal di sekitar lokasi berlarian menyelamatkan diri ke arah hutan (detik.com, 29/11/2020).
Refleksi
Jika para korban tidak memiliki persoalan apa pun dengan para pelaku atau kelompok MIT ini, maka hal apa yang sebenarnya membuat kelompok militan tersebut tega melakukan pembantaian sekeji itu? Mengapa orang bisa menjadi begitu ganas dan sadis kepada orang lain, bahkan kepada orang yang tak memiliki urusan apa pun dengan mereka? Jika memang ini bentuk balas dendam karena anggota mereka dilumpuhkan kepolisian sebelumnya, mengapa mereka menyerang dan membunuh keluarga atau orang-orang di pelosok desa yang tak berdaya?
Kelompok radikal yang sudah terdoktrinasi oleh ISIS barangkali memang sudah menjelma gerombolan gelap mata yang bisa menebar teror dan pembunuhan di mana saja dan kepada siapa saja. Tak hanya menyasar aparat kepolisian dan kalangan elite pemerintahan, namun juga sudah mengintai warga masyarakat di pedesaan. Ketika satu demi satu pemimpin dan anggota mereka tewas atau berhasil ditangkap, mereka yang tersisa melakukan teror kepada siapa pun demi tetap menunjukkan eksistensi mereka.
Doktrin-doktrin radikal yang bercokol di kepala mereka terus menggerakkan mereka untuk menebarkan teror kepada siapa pun yang menghalangi agenda mereka. Ayat-ayat agama yang sebenarnya mengajarkan kebaikan kepada sesama, dipilah dan dipenggal-penggal sedemikian rupa dalam “dakwah-dakwah” radikal yang menebarkan kebencian, permusuhan, dan kekerasan. Kita bisa juga menduga, aksi-aksi pembantaian yang keji seperti penembakan, pembakaran, hingga pemenggalan yang mereka lakukan, mungkin awalnya bermula dari “pemenggalan” ayat-ayat agama yang “didakwahkan” atau didoktrinkan kepada mereka secara provokatif.
Setiap terjadi kasus terorisme yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, kita kembali disadarkan betapa berbahayanya paham radikalisme agama. Setiap mendengar adanya pembunuhan dan pembantaian oleh kelompok militan atau ekstremisme agama, kita kembali disadarkan pentingnya mengedepankan sikap beragama yang moderat, damai, toleran, dan bersahabat. Dan akhirnya kita pun tersadar, untuk membangun sikap beragama moderat tersebut, yang lebih dibutuhkan adalah pendekatan dakwah yang santun, damai, dan sejuk. Bukan dakwah yang penuh amarah, provokasi, dan kebencian. Wallahu a’lam