Konflik SARA di India kembali memanas. Sebagian kubu ekstrim mayoritas Hindu melakukan tindakan brutal dan tidak berperi kemanusiaan atas warga minoritas muslim. Dikabarkan terakhir, sulutan konflik menyebabkan beberapa masjid dirusak dan puluhan korban tewas bergelimpangan. Beberapa pihak bahkan menuduh aksi tersebut sebagai upaya genosida muslim di sana.
Dunia mengutuk keras atas kejadian tersebut. Termasuk Indonesia yang notabene mayoritas warganya muslim tersulut emosi sebagai bentu solidaritas keagamaan dan kemanusiaan. Aksi-aksi bermunculan di negeri ini. Pengalangan dana kemanusiaan juga mengalir. Hal yang perlu segera ditindaklanjuti adalah upaya efektif sebagai reaksi atas konflik yang terjadi. Reaksi dan upaya yang dilakukan mesti bersandarkan prinsip kemanusiaan, keadilan global, dan solidaritas kebangsaan, tidak sekadar sentiment keagamaan.
Pusaran Konflik
Konflik dan pembantaian di India terjadi akibat adanya tirani mayoritas. Serangan membabi buta oleh oknum mayoritas kadang diawali hal sepele, seperti hanya karena melihat identitas warga muslim semical janggut, peci, dan shalwar kameez.
Bentrokan dipicu serangan terhadap kelompok Muslim penolak Undang-Undang Citizienship Amendement Bill (CAB) oleh kelompok Hindu pendukung UU tersebut di tengah kunjungan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Hulu permasalahan telah muncul sejak dua bulan lalu. Ketika itu Perdana Menteri Narendra Modi meloloskan Undang-Undang (UU) Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara atau “Citizenship Amendment Bill” (CAB). Tak ayal, UU ini menjadi kontroversi di publik, khususnya warga India.
Baca Juga : Salam Pancasila dan Logika Persaudaraan Bernegara
UU CAB salah satunya berisi soal kemungkinan para imigran ilegal dari Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan untuk mendapatkan kewarganegaraan, terkecuali mereka yang beragama muslim, demikian sebagaimana diberitakan BBC. Di bawah UU ini, umat Muslim India juga akan wajib untuk membuktikan bahwa mereka memang adalah warga negara India. Sehingga ada kemungkinan warga Muslim India justru akan kehilangan kewarganegaraan tanpa alasan. Hukum ini dipandang banyak pihak termasuk oposisi di India, sangat diskriminatif untuk umat muslim, terlebih diberlakukan di negara sekuler dengan penduduk 1,3 miliar yang mana 15 pesen di antaranya adalah masyarakat Islam.
Kerusuhan ini bukan kerusuhan pertama dalam era
kepemimpinan Modi. Pada 2002 saat ia menjadi Menteri Utama negara bagian
Gujarat, sekitar 2500 orang tewas, mayoritas di antaranya adalah Muslim.
Pemicunya adalah pembakaran 59 umat Hindu hingga tewas di kereta yang diduga
dilakukan kelompok muslim.
Bentuk Penyikapan
Reaksi dunia termasuk Indonesia atas kerusuhan di India adalah kewajaran. Bukan sekadar sentimen keagamaan, namun solidaritas kemanusiaan menjadi pendorongnya. Hal yang perlu dihindari adalah generalisasi. Kejadian di India tidak bisa dan tidak dibenarkan ditarik ke Indonesia. Perlakuan Hindu di India sifatnya lokal, tentu berbeda dengan sikap umat Hindu di negeri ini.
Untuk itu solidaritas kebangsaan tetep harus dijunjung tinggi. Kondusifitas persatuan di negeri harus menjadi perhatian utama. Di samping, upaya-upaya menyikapi kejadian di India bisa dilakukan secara sistematis dan efektif agar hasil konkretnya bisa terealisasi.
Umat Hindu di Indonesia justru penting digandeng dalam upaya penyikapan. Harapannya mereka yang lebih dekat dengan pelaku di India dapat memberikan masukan. Efek-efek negatif yang berpotensi terhadi terhadap penganut Hindu di negara-negara muslim dapat disampaikan. Iklim kondusif di Indonesia, khususnya di Bali yang mayoritas warganya Hindu dapat dijadikan contoh keteladanan.
Seluruh komponen juga penting duduk bersama merumuskan langkah penyikapan. Ormas, LSM, lembaga kemanusiaan, MUI dan Pemerintah dapat saling tukar gagasan dan melakukan upaya sesuai kewenangan dan kemampuannya. Penggalangan dana dan bantuan dapat terus digencarkan sebagai bagian aksi kemanusiaan. Kemanusiaan tidak mengenal agama dan etnis.
MUI dapat menemui PHDI dan lembaga keagamaan lain untuk memberikan seruan kecaman keras hingga langkah konkrit yang dapat diupayakan seperti di atas. Ormas dan LSM dapat melakukan penggalangan dukungan internasional agar menguat sebagai isu kemanusiaan dan persatuan global. Upaya pengaduan ke Mahkamah Internasional dapat menjadi opsi penyikapan.
Pemerintah tentu dapat dituntut lebih tegas dengan melayangkan nota protes ke Pemerintah India. Asan politik luar negeri bebas aktif harus tetap dikedepankan. Indonesia sebagai negara muslim terbesar dan negara berpenduduk besar layak tampil terdepan menggalang kekuatan internasional. Upaya dapat ditempuh secara formal melalui PBB. Tindakan-tindakan proporsional dan konstitusional dapat dilakukan seperti pemanggilan duta besar India, hingga langkah keras jika tidak ada perkembangan positif adalah menarik duta besar Indonesia di India.
Sekali lagi, penyikapan tegas, bijak dan terarah atas konflik India mesti dilakukan dalam bingkai keseimbangan antara kemanusiaan, keadilan global, dan solidaritas kebangsaan. Upaya ini sekaligus menjadi ujian dan tantangan bagi geopolitik Internasional Indonesia.