Salam Pancasila dan Logika Persaudaraan Bernegara

Salam Pancasila dan Logika Persaudaraan Bernegara

- in Narasi
2086
2
Salam Pancasila dan Logika Persaudaraan Bernegara

Mempersoalkan salam Pancasila sama halnya kurang dewasa dalam bernegara. Indonesia sebagai negara yang beragam penduduknya butuh pemersatu. Para pendiri bangsa menjadikan Pancasila sebagai dasar negara yang terbukti menyatukan Indonesia. Pancasila yang sudah terbukti efektif sebagai rantai penghubung tali persaudaran berbangsa dan bernegara harus dijaga eksitensinya.

Negara menurut alam Pancasila bahkan diharapkan melindungi dan mengembangkan kehidupan beragama: sementara agama diharapkan bisa memainkan peran publik yang berkaitan dengan penguatan etika sosial. Saat yang sama, Indonesia juga bukan “negara agama”, yang hanya merepresentasikan salah satu (unsur) agama dan memungkinkan agama untuk mendekte negara. Sebagai negara yang dihuni oleh penduduk dengan multi agama dan multi keyakinan. Negara Indonesia diharapkan dapat mengambil jarak yang sama terhadap semua agama atau keyakinan, melindungi semua agama atau keyakinan dan harus dapat mengembangkan politiknya sendiri secara independen dari dekte-dekte agama (Yudi Latif, 2011).

Munculnya isu bahwa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) hendak menganti salam muslim assalamu’alaikum dengan salam Pancasila. Padahal, BPIP tidak pernah punya keinginan menganti assalamu’alaikum dengan salam Pancasila. Isu ini muncul dari kesalahpahaman video wawancara program Blak-blakan detikcom dengan Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, video tersebut ditayangkan tanggal 12 Februari 2020, adapun yang disalahpahami mulai menit 29.08 hingga 32.56.

Awalnya, Prof. Yudian menjawab pertanyaan presenter Blak-blakan detikcom Sudrajat perihal salam assalamu’alaikum di hadapan publik. Prof. Yudian mengatakan, assalamu’alaikum diucapkan secara total sejak era reformasi tanpa pandang agama. Kini, salam justru dilengkapi supaya genap dengan nuansa lima atau enam agama. Menrut Prof. Yudian, ini justru menjadi masalah baru. Prof. Yudian kemudian sepakat dengan ide salam Pancasila.

Baca Juga : Salam Pancasila, Hibridasi Kultulral dan Imajinasi Kebangsaan

“Iya, Salam Pancasila. Salam itu kan maksudnya mohon ijin atau permohonan kepada seseorang sekaligus mendoakan agar kita selamat. Itulah makna salam. Nah Bahasa Arabnya Assalamu’alaikum Wr Wb,” ujar Prof. Yudian dalam video Blak-blakan detikcom.

“Sekarang kita ambil contoh, ada hadis kalau anda sedang berjalan dan ada orang duduk, maka ucapkan salam. Itu kan maksudnya adaptasi sosial. Itu di jaman agraris. Sekarang jaman industri dengan teknologi digital. Sekarang mau balap pakai mobil, salamnya pakai apa? Pakai lampu atau klakson. Kita menemukan kesepakatan-kesepakatan bahwa tanda ini adalah salam. Jadi kalau sekarang kita ingin mempermudah, seperti dilakukan Daud Jusuf, maka untuk di public service, cukup dengan kesepakatan nasional, misalnya Salam Pancasila. Itu yang diperlukan hari-hari ini. Daripada ribut-ribut itu para Ulama, kalau kamu ngomong Shalom berarti kamu jadi orang Kristen,” tegas Prof. Yudian.

“Wong Nabi Muhammad SAW saja mendoakan raja Najasi yang Kristen saat wafat. Ada unsur kemanusiaan. Nah kita juga begitu, ngomong Shalom tidak ada unsur teologisnya. Wong kita sampaiukan (salam) supaya kita damai. Maaf, bagi orang Kristen mengucapkan salam juga tidak menjadi bagian teologis. Itu kode nasional yang tidak masuk dalam akidah. Kalau bisa dipakai tidak masalah.” pungkas Prof. Yudian.

Rasionalitas dari alam pemikiran Pancasila seperti itu mendapatkan pembenaran teoritik dan komparatifnya dalam teori-teori kontemporer tentang “public religion” yang menolak tesis “separation” dan “Privation”, dan mendukung tesis “differentiation”. Dalam teori ini, peran Pancasila dan agama tidak perlu dipisahkan, melainkan dibedakan. Dengan syarat bahwa keduanya saling mengerti batas otoritas masing-masing, yang disebut dengan istilah “toleransi kembar” (twin toleransi).

KH. Abdurrahman Wahid terkait twin toleransi, menyatakan, “Pancasila ditempatkan kaum Muslimin sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum Muslimin. Ideologi konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi pengantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, tidak akan berlaku undang-undang (UU) maupun peraturan yang bertentangan dengan ajaran agama”.

Dari ungkapan Gus Dur di atas adalah wujud twin toleransi, beliau menempatkan Pancasila dan Islam secara proporsional. Pancasila adalah landasan konstitusional bernegara. Sementara Islam adalah akidah kehidupan masyarakat. Sebagai landasan konstitusional, Pancasila tentu tidak akan mampu mengganti akidah sebab akidah berkaitan dengan dasar keyakinan hidup yang paling utama, sementara landasan kontitusi terkait dengan kebutuhan kehidupan kolektif bernegara.

Seorang ahli sejarah, Rutgers, menyatakan, “ Dari semua negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam konstitusinya, pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya dari pada semua revolusi melawan penjajahan. Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskannya alasan-alasan secara lebih mendalam dari pada revolusi-revolusi itu,”

Kini permaslahannya adalah bagaimana memperdalam pemahaman, penghayatan dan kepercayaan akan keutamaan nilai-nilai yang terkandung pada setiap sila Pancasila dan kesalingterkaitannya satu sama lain, untuk kemudian diamalkan secara konsisten di segala lapis dan bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Peryataan Prof. Yudian soal salam Pancasila sepertinya salah dipahami. Oknum yang selalu mengoreng isu ini sepertinya lagi anti Pancasila dan suka tali persaudaraan ini putus. Salam Pancasila harapannya menjadi pemersatu dan jangan berpikir konyol kalau salam Pancasila dibuat untuk mengantikan salam agama.

Facebook Comments