Dua peristiwa terorisme di Makasar dan di Jakarta membuka mata kita lebar-lebar, bahwa tindakan teror bisa dilakukan siapa saja, baik laki-laki ataupun kaum wanita, baik kalangan dewasa ataupun generasi milenial. Perlu diketahui bersama bahwa generasi milenial sangat lekat dengan internet dan media sosial. Karenanya, ruang-ruang virtual ini patut mendapat pengawasan dan kontrol ketat. Mengingat sangat memungkinkan doktrin terorisme generasi milenial imbas dari pengaruh oknum penebar radikalisme di media online.
Namun perlu dicatat juga bahwa, ibarat dua sisi mata uang, media online ataupun medsos juga bisa kita jadikan media sangat strategis untuk menggebuk kehadiran kelas-kelas online penebar doktrin terorisme atau radikalisme di dunia maya. Apalagi, seiring gelombang pandemi Covid-19, pergerakan oknum penebar virus radikalisme justru kian masif di ruang-ruang virtual.
Karenanya, penting digencarkan berbagai program menanamkan moderasi Islam dan nilai-nilai Pancasila baik oleh elemen instansi kementerian agama, tokoh-tokoh agama, maupun organisasi keagamaan, yang menyasar melalui kanal-kanal digital seperti media sosial (medsos).
Kehadiran moderasi Islam dan penanaman nilai-nilai Pancasila di medsos tersebut sangatlah penting dalam rangka kontra radikalisme yang selama ini telah menggunakan dunia maya untuk kepentingan mereka. Sebagaimana argument Sukawarsini Djelantik (2019) yang menulis artikel berjudul “Islamic State and the Social Media in Indonesia”. Menurut Djelantik, jaringan Islam radikal mampu menggunakan medsos seperti Facebook, Twitter, dan YouTube secara efektif. Bahkan ketika media sosial mereka telah diblokir oleh pemerintah, kelompok ini masih mampu menggunakan media daring dalam bentuk portal-portal tak bertuan (anonymous sharing portals) untuk mewujudkan agenda mereka yakni menebar virus radikalisme dan takfirisme.
Publik tentunya sadar bahwa selama ini sudah banyak kaum milenial yang terjangkit virus radikalisme. Tengok saja survei yang dilakukan oleh UIN Syarif Hidayatullah dan UNDP (2017) seperti dirilis CSIS Commentaries (2019), menyimpulkan bahwa kaum milenial yang menggunakan internet punya pandangan yang lebih intoleran dan radikal, dibandingkan mereka yang jarang berselancar di dunia maaya.
Sebanyak 88.5 persen dari 1.859 responden dalam survei tersebut meyakini bahwa pemerintah harus melarang kelompok-kelompok agama minoritas. Survei ini juga menyebutkan bahwa ada 10 persen dari responden mendukung pendirian Negara Islam dan menyetujui penggunaan kekerasan untuk membela agama. Virus radikalisme seperti ini tentunya sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa.
Kecenderungan kalangan milenial yang memilih internet sebagai sumber informasi tentang agama, daripada harus repot belajar secara offline memperbesar potensi menjalarnya virus radikalisme yang disebar oleh jaringan Islam radikal. Kecenderungan ini bisa menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Sebelum benar-benar meledak hingga menimbulkan berbagai tindakan teror, tugas kita tentunya menjinakkannya serta menyelamatkan generasi milenial dari pengaruh doktrin radikalisme ataupun terorisme di dunia maya.
Oleh karenanya, kiranya penting kelompok dai milenial moderat yang membawa dakwah Islam yang ramah dan rahmah turun gunung dan ramai-ramai menggunakan medsos sebagai sarana menyebarkan dakwah Islam ramah dan toleran. Tujuannya jelas untuk menegasikan kelas-kelas online radikalisme yang sudah beredar di medsos ataupun internet. Sangatlah penting mengukuhkan pondasi moderasi Islam dan penanaman nilai-nilai luhur Pancasila bagi generasi milenial. Hal ini tentunya tanggung jawab kita semua untuk menyuarakan narasi-narasi damai di ruang-ruang medsos (jalandamai.org, 29/6/2020).
Peningkatan intensitas dakwah agama oleh segmen dai milenial moderat ini akan membawa dua harapan sebagaimana disebutkan Dani Muhtada (2020). Pertama, sebagai sumber belajar agama alternatif yang mana berbagai potensi radikalisme dan intoleransi terutama di kalangan generasi milenial diharapkan dapat ditekan. Kaum milenial juga bisa belajar agama dari sumber yang punya otoritas untuk mengajarkannya. Kedua, keterlibatan dai milenial moderat ataupun tokoh-tokoh agama lainnya dalam kajian-kajian Islam di dunia maya ini diharapkan dapat mengembalikan wajah Islam Indonesia yang lebih ramah.
Keterlibatan dai milenial yang berlatar belakang sekolah agama, dalam kajian Islam online melalui medsos bisa memberikan pemahaman yang lebih baik tentang agama. Setidaknya, mereka bisa menunjukkan kepada publik bahwa wajah Islam tidak monolitik. Interpretasi dan pemahaman terhadap teks keagamaan adalah fakta. Harapanya dengan itu semua segala bentuk manuver virus radikalisme dan terorisme dapat kita tangkis, sehingga akan terwujud generasi bangsa yang pro-moderasi agama, toleran, dan anti-radikalisme.