Pada awalnya, istilah “Islam kaffah” menjadi tujuan seluruh umat Islam dalam beragama. Kala itu, Islam kaffah dimaknai sebagai puncak keimanan seseorang kepada Allah. Jika seseorang sudah masuk dalam kategori Islam kaffah maka pelan tapi pasti ia akan menjadi manusia sempurna atau yang disebut dalam Islam sebagai insanul kamil. Ciri-ciri dari insanul kamil ini adalah sikap rendah hati, memaafkan, suka menolong, dan selalu mengharap ridho dari Allah dalam segala aktifitas dan perbuatannya. Seorang yang mencapai tingkat insanul kamil tidak akan merasa dirinya paling suci dan paling dekat dengan Allah. Karena perasaan tersebut dianggap kesombongan.
Bahkan pemahaman soal melaksanakan amar ma’ruf dan nahy munkar bagi pemburu Islam kaffah awal, tidak serta merta asal melakukan tindakan. Dalam “al Gunyah Lithaliby Thariqil Haqqi Azza wa Jalla” Sultahanul awliya’ Syekh Abdul Qadir al Jailany mengatakan bahwa ada syarat yang harus dilalui jauh sebelum melaksanakan amar ma’rug dan nahy munkar. Salah satunya adalah memiliki kemampuan atas dasar tidak akan terjadi kerusakan yang lebih besar setelah amar ma’ruf dan nahy munkar. Sebagian dari bentuk kerusakan adalah lahirnya kesombongan diri setelah melakukan amar ma’ruf dan nahy munkar.
Hal yang tidak bisa ditinggalkan oleh penganut Islam kaffah di masa awal adalah al ishlah bayna al nas. Yakni perbuatan untuk berdamai menyebarkan kedamaian antar sesama manusia tanpa terkecuali. Syekh Mushthafa bin Muhammad al Habhabawy menyatakan dalam kitabnya “Minhatul Khallaq fima yata’allaqu bil Nufus wal Akhlak” bahwa untuk mendapatkan kesucian dan ketentraman jiwa seseorang hendaknya melakukan aktifitas atau amal yang mampu menciptakan kedamaian antar sesama manusia melalui sikap cinta dan kasih sayang (bil ta’alluf). Sebuah kedamaian yang lahir dari kelembutan hati para pemburu Islam kaffah.
Lebih dari itu, Umar Abdullah Kamil dalam bukunya “Thariqul Masakin ila Mardhati Rabbil Alamin” menambahkan agar kedamaian antar sesama manusia bisa melahirkan ketentraman jiwa antar sesama (al Thuma’ninah al Nafs bayna al nas). Yakni diamnya hati disebabkan oleh kuatnya rasa aman dalam jiwa bukan rasa aman semu yang dibuat-buat karena ketakutan atau kehawatiran. (Sukun al qalb ma’a quwwatil al amni al shahih alladzi la yakunu amnu ghurur) Tentu saja kemashalahatan dan ketentraman jiwa yang diperoleh dari Islam kaffah ini adalah persatuan bukan perpisahan dan cerai berai antara sesama manusia.
Begitulah Islam kaffah dimaknai oleh ulama-ulama terdahulu. Intinya, Islam kaffah di mata para ulama-ulama terdahulu merupakan jalan menuju ketentraman jiwa melalui aktifitas yang mendamaikan antar sesama manusia tanpa terkecuali. Namun sayangnya, akhir-akhir ini kita menyaksikan pergeseran makna Islam kaffah dari yang begitu menentramkan menjadi yang mengerikan. Hal ini disebabkan karena Islam kaffah dijadikan metode untuk menguasai atau menaklukkan orang lain dengan cara kekerasan. Orang-orang yang berbeda dijadikan sasaran untuk ditaklukkan melalui Islam kaffah. Mari kita lihat!
Akhir-akhir ini, Islam kaffah dikampanyekan. Tapi apa yang ada di balik kata ‘Islam Kaffah’ sangat bertentangan dengan sendi-sendi Islam. Pertama, dalam al Qur’an jelas umat Islam dilarang mencaci maki sesembahan agama lain. Namun yang pelecehan dan ujaran kebencian terhadap agama lain membanjiri coretan dinding media massa. Tidak hanya di media massa, di mimbar-mimbar pengajian kerap didengar penghinaan terhadap agama lain. Hal ini, selain berpotensi mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa, juga jelas-jelas dilarang keras oleh Islam. Allah berfirman dalam al Qur’an QS: 6;108. Janganlah kalian memaki sesembahan yang mereka selain Allah. Betapa terang benderang ayat ini melarang caci maki dan hina menghina terhadap agama lain namun diabaikan justru oleh mereka yang mengaku muslim kaffah.
Kedua, Islam melarang umat Islam melakukan perusakan terhadap tempat ibadah agama lain, pembunuhan terhadap tokoh agama, membunuh anak-anak dan perempuan, dan membakar pepohonan. Tapi yang dilakukan oleh mereka justru sebaliknya. Mereka membunuh tokoh agama. Dari deretan peristiwa upaya pembunuhan terhadap tokoh agama di beberapa tempat, penusukan terhadap seorang Pastor yang terjadi di Jogjakarta pada hari Minggu 11 Pebruari 2018 merupakan kasus terakhir yang pelakunya mengklaim diri sebagai pelaku muslim kaffah. Sebelumnya, seorang ulama yang jelas-jelas muslim dianiaya hingga terbunuh.
Dari sini, kita bisa melihat bahwa Islam kaffah yang didengungkan oleh kelompok intoleran jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Mereka dengan angkuh mengambil alih makna Islam kaffah yang toleran dan humanis menjadi radikal dan sadis. Karena itu, kita mesti merebut makna dan praktik Islam kaffah dari keangkuhan mereka dan mengembalikannya pada makna yang datang dari ulama-ulama terdahulu.