Kesiap-siagaan Nasional terhadap Narasi Intoleransi dan Radikalisasi

Kesiap-siagaan Nasional terhadap Narasi Intoleransi dan Radikalisasi

- in Narasi
481
0
Kesiap-siagaan Nasional terhadap Narasi Intoleransi dan Radikalisasi

Setiap kali terjadi aksi terorisme, ternyata ada satu hal yang lepas dari perhatian pemerintah dan masyarakat, yakni “perang narasi”. Perang narasi seperti, “sebenarnya teroris dipelihara untuk mengalihkan isu”, atau “teroris dijadikan alat untuk menaikan anggran aparat keamanan”, atau “kecolongan”, dan lain sebagainya. Lantas apa perbedaan narasi dengan cerita?

Menurut Ajit K Maan dan Paul L Cobaugh dalam bukunya yang berjudul Introduction to Narrative Warfare, bahwa cerita dibedakan dari narasi. Cerita didefinisikan sebagai sebuah peristiwa masa lalu yang terkait dengan banyak karakter. Dan, narasi diartikan sebagai tafsir, interpretasi, atau cara baca yang digunakan narator atau penutur narasi terhadap peristiwa masa lalu. Dengan kata lain, narasi adalah proses yang tak bebas nilai dalam pemberian makna atas sebuah peristiwa.

Media yang dipakai narator bisa berbentuk verbal, seperti diskusi, bedah buku, ceramah, kisah, cerita, kesaksian doa, dan lagu, atau nonverbal, seperti tulisan, poster, pamflet, gambar, dan video. Melalui media inilah proses radikalisasi menjadi lebih meluas, bahkan melewati batas negara bangsa.

Seperti halnya narasi, tak ada definisi tunggal radikalisme. Namun, tulisan ini mengamini definisi radikalisasi dalam Friction, How Radicalization Happens to Them and Us yang ditulis McCauley dan Moskalendko. Kedua sarjana psikologi sosial ini mengartikan radikalisme sebagai ”sebuah proses perkembangan keyakinan, perasaan, dan aksi dalam mendukung sebuah kelompok atau tujuan politik dalam sebuah konflik”.

Dengan kata lain, radikalisme tidak hanya terjadi pada ”orang lain” nun jauh di sana, tetapi juga bisa terjadi pada siapa saja. Hal ini karena radikalisme adalah sebuah proses psikologi yang jika mendapatkan pemantik yang tepat akan terjadi pada semua orang, kelompok, dan bahkan negara. Sebagai sebuah proses, radikalisme bukan ”salah” atau ”benar”, melainkan bisa terjadi pada hal yang baik dan buruk.

Sebaran narasi

Dari pengalaman sebagai peneliti dan praktisi masalah radikalisme dan terorisme, penggunaan narasi berkembang dan tumbuh subur bersama meluasnya kepemilikan telepon pintar di awal 2000-an. Terlebih pada 2007 ketika iPhone diluncurkan, disusul jenis Android dengan harga yang kian murah dan terjangkau.

Dari lima miliar telepon seluler yang dimiliki penduduk di dunia, separuhnya berjenis telepon pintar, yang menjadi media penyebaran narasi di seluruh dunia. Indonesia surga pasar telepon pintar. Jika diasumsikan separuh penduduk negeri ini menggunakannya, setidaknya ada 140 juta orang yang, tanpa meminta atau menghendaki, mendapat narasi tentang apa saja, termasuk soal radikalisme.

Melalui telepon pintar, narasi serupa itu dengan mudah beredar nyaris tanpa filter dan diterima oleh siapa pun yang melek huruf: lelaki, perempuan, anak-anak, berideologi radikal ataupun tidak.

ilustrasi

Di negara-negara dengan kecenderungan otoritarian, di mana informasi selalu memiliki versi resmi dan tak resmi, narasi mendapat tempat yang subur. Apalagi, ketika masyarakat sedang terbelah seperti jelang hajatan politik pilpres atau pilkada. Dengan memanfaatkan situasi itulah narasi digunakan kelompok teror untuk menjalankan ”taktik perang” secara tersembunyi dan bergerilya. Serangan dilakukan tanpa aturan main sebagaimana layaknya perang fisik. Mereka bertahan sekaligus menyerang untuk memengaruhi pemikiran dan kesadaran seseorang.

Selain teknologi media yang tak membutuhkan modal dan biaya besar, modal bagi keberhasilan kedua gerakan ini juga adalah kemahiran dalam memilih, memilah, dan mengolah grand narrative atau narasi induk yang tepat dalam berkomunikasi dengan masyarakat.

Narasi induk dan teknik ”reframing”

Narasi induk adalah narasi yang telah diyakini kebenarannya oleh orang kebanyakan dalam budaya tertentu. Dalam Islam, narasi induk biasanya diambil dari kisah-kisah dalam Al Quran, hadis, ataupun sirah—sejarah perjuangan Islam, seperti Perang Badar, peristiwa hijrah, Isra Mikraj, dan masa kekhilafahan Islam menjelang era penjajahan ”Barat”.

Oleh para naratornya, narasi induk dihubungkan dengan isu tertentu yang hendak diangkat pada masa kini dengan teknik reframing. Reframing adalah teknik membingkai ulang peristiwa sejarah tertentu tanpa menggunakan metodologi keilmuan rumit dengan tujuan memancing emosi penerima narasi atau audiens dalam bentuk analogi atau metafora.

Contoh penggunaan metafora ini adalah kisah Fir’aun dalam Al Quran. Sosok Fir’aun sering dipakai untuk menggambarkan penguasa yang zalim dan diktator. ”Saya telah membunuh Fir’aun,” teriak Khalid al-Islambouli setelah berhasil menembak mati Presiden Mesir Anwar Sadat dalam parade militer pada 1981.

Kekuatan narasi yang mereka produksi itu memiliki dimensi dunia-akhirat dan segmentatif. Untuk kalangan muda, misalnya, narasi induknya dibangun dalam konteks gairah kaum muda, seperti konsep hurun in atau ”bidadari bermata jelita” yang dipetik dari Surah Al-Waqiah Ayat 22.

Ayat ini dibingkai sedemikian rupa sebagai janji Tuhan kepada para pemuda pemberani yang bersedia mempertaruhkan nyawa untuk sebuah aksi jihad. Sementara untuk segmen perempuan atau keluarga, digunakan narasi ”masuk surga sekeluarga” dengan mengutip Surah Al-Mu’min Ayat 8, seperti dalam kasus bom bunuh diri sekeluarga di Surabaya.

Untuk segmen perempuan biasanya disajikan pesona ketabahan Fatimah, putri Rasulullah, atau narasi tentang Ummu Mutiah, perempuan muda yang dikisahkan dalam sebuah hadis sebagai perempuan pertama yang akan masuk surga karena senantiasa menjaga dirinya dari fitnah dengan tak menemui laki-laki yang bukan muhrimnya. Dikisahkan bahwa putri Nabi pun sangat terpesona oleh Ummu Mutiah, yang senantiasa berdandan rapi, harum, dan menutup aurat.

Dalam konteks Indonesia, melalui narasi pula kelompok teror memengaruhi seseorang untuk jadi sukarelawan ”jihad” di wilayah konflik, seperti Suriah, Irak, dan Filipina Selatan, serta melakukan aksi bom bunuh diri di tempat-tempat yang dianggap representasi musuh Tuhan.

Ketika mati akibat bom bunuh diri, mereka dinarasikan sebagai martir atau syuhada oleh kedua kelompok itu. Mereka dinarasikan mati syahid dengan bahagia karena tak harus melalui proses hisab atau pengadilan akhirat yang akan menimbang amal baik dan buruknya. Sebaliknya, terhadap korban yang tewas akibat ulah jahat mereka, dihadirkan narasi bahwa itu merupakan balasan atau hukuman dari Tuhan karena korban dianggap kafir dan musuh Tuhan.

Tergambar sudah, betapa narasi itu kini menjelma menjadi senjata mematikan bagi siapa saja. Narasi itu sanggup merenggut nyawa dan akal sehat. Bahkan, setelah terjadi ledakan bom di tempat ibadat yang merampas nyawa orang-orang tak bersalah atau setelah penangkapan pelaku, narasi mereka muncul dan mereka melakukan perang narasi di tengah masyarakat. Hal ini menandakan tindakan mereka diamini dan dibenarkan oleh orang yang termakan narasi mereka.

Tampaknya, perang narasi mereka pilih sebagai upaya sistematis untuk melakukan perlawanan terhadap narasi yang beredar di media massa, seperti televisi, koran, dan media daring (online) tepercaya, yang mengutuk tindakan kekerasan mereka. Perang narasi dilakukan karena tak jarang tersangka teroris yang ditangkap adalah tokoh publik, misalnya pendakwah agama, pekerja profesional seperti dokter, dan ASN. Mereka memiliki citra baik di tengah komunitasnya dan narasi itu digunakan sebagai modal dalam perang narasi.

Perbedaan persepsi tentang sosok seorang teroris pada akhirnya juga menghambat upaya kontraterorisme, khususnya implementasi program deradikalisasi, rehabilitasi, serta reintegrasi mantan teroris dan keluarga di masyarakat. Jebakan narasi yang mereka mainkan mampu mengelabui masyarakat.

Oleh karena itu, sangat penting membangun kesadaran kembali para pemangku kepentingan bahwa manusia itu homo narrans atau makhluk yang gemar bercerita—apalagi dalam budaya dan tradisi oral serta sangat kecilnya minat literasi, seperti membaca buku. Tak terhindarkan, proses komunikasi antar manusia selalu dibungkus melalui story atau narasi.

Narasi sering sulit dibuktikan secara logika rasional karena terkait dengan masa lampau yang tidak butuh pembuktian, tetapi hanya memerlukan ruang iman (percaya). Meski kerap ”tak masuk akal”, narasi yang datang dari tradisi agama sering dipakai sebagai afirmasi atau validasi yang mampu memberikan jawaban atas pertanyaan hidup dari penerima narasi. Dalam konteks inilah peran credible voice—suara mantan pelaku yang telah tobat—yang dibungkus dalam cerita yang humanis dapat menjadi penting dalam upaya pencegahan agar masyarakat tidak terlibat aksi kembali.

Facebook Comments