Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Radikalisme Islam

Keterlibatan Perempuan dalam Gerakan Radikalisme Islam

- in Narasi
2306
0

Dunia tersentak ketika seorang perempuan bernama Dian Yulia Novi tertangkap ketika hendak melakukan aksi bom bunuh diri di Indonesia. Dia pernah jadi buruh migran di Singapura dan ternyata juga isteri Bahrun Naim, pelaku bom Sarinah. Rencananya, tanggal 11 Desember 2016 dia akan meledakkan Istana Negara dengan bom rice cooker, lalu tertangkap polisi. Tragedi ini menyibak fakta keterlibatan sejumlah perempuan Muslim dalam gerakan terorisme di Indonesia.

Agaknya trend baru dalam aksi terorisme menjadikan perempuan sebagai pelaku. Kalau sebelumnya aksi-aksi teror berwajah maskulin dan menggunakan pendekatan patriarkal, belakangan aksi-aksi teror memanfaatkan perempuan sebagai pelaku dan dengan pendekatan feminin. Meskipun faktanya perempuan adalah pelaku, hakikinya mereka adalah korban. Korban dari kondisi ketidaktahuan mereka lalu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki rencana yang sistematik untuk aksi terorisme.

Sejumlah faktor ditengarai sebagai penyebab mengapa perempuan terlibat terorisme. Di antaranya, faktor pergaulan dan pertemanan, perasaan teralienasi dan terpinggirkan, perasaan frustrasi dan dendam, namun faktor ideologi radikal menjadi kata kunci ketika mereka sudah berada dalam kelompok teroris. Sejumlah penelitian mengungkapkan, para perempuan yang direkrut dalam jaringan tersebut didoktrin setiap saat dengan pandangan keislaman yang radikal. Mereka dijejali dengan narasi-narasi Islam tertindas, tentang romantisme kejayaan Islam masa khilafah. Tentang wajibnya mendirikan negara khilafah yang akan membebaskan mereka dari ketidakadilan dan kemiskinan. Mereka juga didoktrin dengan kisah-kisah figur perempuan pemberani dalam sejarah Islam. Wajibnya menegakkan syariat Islam dan pentingnya menghapus demokrasi dan negara Pancasila yang mereka juluki sebagai thagut (musuh Islam).

Mengapa perempuan? Seperti dibahas dalam isu feminisme, perempuan adalah kelompok yang paling diandalkan dalam soal kesetiaan dan kepatuhan. Kelompok yang paling mudah percaya pada semua hal terkait agama. Perempuan sangat bersahabat dengan agama meski agama seringkali tidak ramah terhadap mereka. Dan yang paling meyakinkan adalah perempuan mampu menjadi benteng pertama yang melindungi keluarga jika terjadi hal-hal tak diinginkan.

Perempuan seperti apa yang banyak terlibat dalam gerakan terorisme di Indonesia? Penelitian Yayasan Prasasti Perdamaian mengungkapkan, para perempuan yang terlibat dalam gerakan radikalisme Islam Indonesia terdiri dari para istri dan keluarga teroris yang terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, isteri dan keluarga para jihadis di Suriah, Lebanon dan Turki. Umumnya suami atau keluarga mereka adalah anggota Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Negara Islam Indonesia, ISIS, Salafi Jihadis dan organisasi Islam radikal lain.

Menarik disebutkan, umumnya mereka bukanlah perempuan bodoh dan tidak terdidik. Kebanyakan mereka lulusan perguruan tinggi, selebihnya lulusan pesantren dan sekolah menengah atas. Lalu dari aspek ekonomi, mereka tidak selalu dari kelompok miskin. Umumnya mereka dari kalangan menengah. Profesi mereka pun beragam: dosen, guru, muballighah, ustazah, dokter gigi, pengusaha, karyawan, aktivis organisasi, pedagang (kebab, herbal, busana dan sebagainya), pelayan toko, dan pekerja pabrik.

Motivasi utama perempuan terlibat dalam gerakan ini adalah bersifat teologis. Mereka mulanya terpapar pemahaman keislaman yang radikal, misalnya memercayai wajib hukumnya membunuh orang-orang kafir, (non-Muslim). Mereka meyakini wajib menegakkan negara Islam dengan melakukan jihad menumpas ketidakadilan. Perempuan harus ikut berjihad membela Islam dan Muslim yang tertindas.

Sebagian mereka direkrut melalui pernikahan, suami sendiri yang melakukan upaya terencana menanamkan ideologi radikal dengan “cuci otak”. Artinya, mereka sengaja dinikahi untuk selanjutnya diajarkan ideologi radikal. Pernikahan mereka sebagian berlangsung secara normal, namun tidak sedikit menikah dalam penjara. Sebagian lagi dinikahi belakangan setelah mereka menerima doktrin radikal tersebut. Tidak sedikit dari mereka mendapatkan indoktrinasi yang sangat masif dari teman dekat suami atau dari sesama perempuan yang telah terlebih dahulu aktif dalam jaringan tersebut.

Menarik diketahui bahwa kebanyakan perempuan yang direkrut dalam gerakan terorisme adalah buruh migran. Mengapa? Karena umumnya mereka punya uang, mandiri, dan berani serta yang paling penting mereka sudah biasa ke luar negeri. Mereka pun pengguna aktif internet dan media sosial. Sebagian mereka terpapar ideologi radikalisme lewat internet ketika bekerja di luar negeri. Pertemuan mereka dengan suami dan kelompoknya umumnya lewat sosial media.

Tidak semua perempuan tahu kalau suami mereka terlibat dalam gerakan terorisme. Dijumpai pula sebagian isteri merasa sangat kecewa karena dibohongi suami. “Saya sama sekali tak menduga jika suami punya hubungan dengan kelompok terorisme. Saya pikir selama ini dia aktif dalam pekerjaannya di kantor,” demikian jerit seorang isteri teroris.” Dalam upaya kami mengadvokasi mereka, kelompok isteri seperti ini tidak terlalu sulit disadarkan, dan mudah diajak kerjasama untuk memutus rantai radikalisme.

Ketika para suami ditanya soal ketidakterbukaan mereka pada isteri, beberapa jawaban muncul: “kami sedang mengerjakan tugas rahasia, dan jika memberitahu isteri berarti bukan rahasia lagi.” Sebagian lagi menjawab dengan mimik yang sinis: “wahh kalau isteri tahu maka jadi kacau, mulut isteri susah dijaga, biasalah perempuan.” Sebagian mengatakan: “kami sengaja tidak melibatkan istri agar jika kami tertangkap, anak-anak dan keluarga tetap ada yang melindungi.”

Tugas dan peran perempuan dalam gerakan radikalisme cukup beragam dan signifikan. Di antaranya, mereka berperan sebagai pendidik dan pelatih, agen perubahan, pendakwah ulung, pencari dan pengumpul dana. Tidak sedikit dari mereka ditugasi untuk merekrut perempuan-perempuan muda dan potensial dari berbagai kalangan. Sebagian lagi berperan sebagai pengatur logistik, kurir antar kota, bahkan antar negara membawa pesan-pesan rahasia. Sebagian lagi berperan sebagai pengantin (suicide bombers) untuk bom bunuh diri.

Keterlibatan perempuan dalam gerakan radikalisme menjadikan perempuan sebagai pelaku aksi-aksi teroris sekaligus juga sebagai korban. Mereka adalah korban ideologi suami atau keluarga, korban indoktrinasi agama, korban stigmatisasi dari masyarakat, korban media, dan juga korban dari ekses konflik. Perempuan lagi-lagi hanyalah korban dari kondisi yang diciptakan oleh kekuasaan patriarki.

Oleh karena itu, upaya untuk mengatasinya harus dengan sentuhan-sentuhan kemanusiaan dan memberi tempat kepada mereka dalam pergaulan sosial arus-utama. Kampanye yang terus-menerus memojokkan mereka tanpa mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan hanya akan membuat mereka mati suri. Di balik itu, mereka tetap beroperasi di bawah tanah untuk menata ulang sel-sel rahasia mereka yang suatu saat mengobarkan kembali api dan semangat jihad yang seringkali berujung dengan ledakan terorisme.

Perempuan bisa menjadi agent of disengagement. Kalau mereka bisa direkrut menjadi teroris seharusnya lebih mudah mengajak mereka menjadi agen perdamaian. Diperlukan strategi yang komprehensif dan pendekatan yang lembut dan manusiawi, namun mengena kepada mereka yang terlibat gerakan terorisme. Pendekatan yang semata bertumpu pada kekuatan militeristik dengan prinsip keamanaan harus ditinjau ulang. Hal paling penting adalah keinginan politik yang kuat dari pemerintah untuk mengikis akar-akar penyebab terorisme, seperti kesenjangan dan ketidakadilan sosial yang sudah sedemikian akut di masyarakat. Selain itu, sangat penting bagi semua elemen dalam Islam mengusung ajaran Islam yang mengedepankan nilai-nilai humanis, keadilan, kesetaraan, toleransi dan perdamaian. Esensi Islam adalah memanusiakan manusia dan membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkeadaban. Islam seharusnya menjadi rahmat bagi semua makhluk di alam semesta.

Facebook Comments