Ulama tidak hanya sebatas ahli dalam agama, melainkan tokoh yang harus bisa mengayomi semua orang. Sebab, ulama merupakan sosok yang mengerti agama secara mendalam. Tatkala mengetahui agama secara mendalam, maka dalam tindakan dan lakunya merupakan representasi dari ajaran Islam (Alquran dan Sunnah).
Ironinya ada orang yang mengaku sebagai ulama, ditunjukkan dengan beberapa simbol keagamaan –seperti jubah atau atribut lainnya, ia kemudian teriak-teriak dengan keras dan memakai kata-kata kotor. Bahkan dalam beberapa tindakannya mencoreng nama baik Islam itu sendiri.
Setidaknya sebagai ulama harus memberikan rasa aman orang-orang di sekitarnya, seperti yang dilakukan dilakukan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdatul Ulama) dan KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah). Dua sosok ini memperlihatkan bagaimana dirinya diselimuti ajaran Islam secara kaffah. Banyak Kisah yang memperlihatkan tingkah mereka yang memberikan naungan rasa aman, nyaman dan kerukunan antar masyarakat.
Seperti kisah seorang jamaah pesantren datang pada KH. Hasyim Ashari melaporkan bahwa ia baru datang dari Yogyakarta. Menurut pengakuan santri tersebut, ia melihat sekelompok aliran sesat. KH. Hasyim Ashari pun bertanya-tanya perihal aliran sesat tersebut. Santri pun menjelaskan ciri-ciri aliran tersebut yang memiliki perbedaan tidak melaksanakan pembacaan qunut saat salat subuh. Santri pun menjelaskan baha pemimpin dari kelompok tersebut bernama H Muhammad Darwis.
Mendengar penjelasannya santrinya itu, Sang Kyai pun hanya tersenyum dan mengatakan bahwa H Muhammad darwis tak lain adalah temannya ketika berada di Mekkah. Ia juga menjelaskan bahwa kelompok yang dilihat santrinya itu bukanlah aliran sesat. H Muhammad Darwis yang disebut santri tadi, tidak lain adalah ulama yang dikenal dengan KH Ahmad Dahlan, ulama yang mendirikan Muhammadiyah.
Dari cerita tersebut, ada hikmah penting yang perlu dicatat. Sikap Hasyim Ashari ketika mendengar adanya aliran sesat dari santri begitu bijaksana dan menanyakan ciri-cirinya secara detail sebelum memberikan sebuah pernyataan.
Pengalaman KH. Hasyim Ashari hidup di Timur Tengah telah memberinya pemahaman baik soal furuiyah. Ia sangat bijaksana menyikapi persoalan agama dalam ruang lingkup khilafiyah. Perbedaannya dengan KH. Ahmad Dahlan terkait penggunaan qunut saat salat subuh pun hanyalah bagian darikhilafiyah, bukanlahfuruiyahyang harus di bawa ke ranah sesat atau tidak.
Dari pemahamannya itu pulalah yang membawa Hasyim Ashari tidak berfanatik dalam sebuah mazhab. Meski harus diketahui, nadhlatul Ulama, organisasi yang didirikannya identik dengan mazhab Syafi’i. Dengan tegas beliau memerintahkan para ulama NU menjauhi sifat fanatic buta terhadap sebuah mazhab.
Hal itu di pernah dituliskannya dalam kompilasi kkita Hasyim Ashari, “Wahai para ulama yang fanatik terhadap mashab-mashab atau terhadap suatu pendapat, tinggalkanlah kefanatikanmu terhadap urusanfuru’ (cabang agama), di saat para ulama telah memilikidua pendapat atau lebih, yaitu: setiap mujtahid itu benar dan pendapat satunya mengatakan mujtahid yang benar itu akan tetapi pendapat yang salah itu tetap diberi pahala. Tinggalkanlah fanatisme dan hindarilah jurang yang merusakkan ini (fanatisme).
Sikap menghargai perbedaan tidak hanya ditunjukkan oleh KH. Hasyim Ashari, tetapi KH. Ahmad Dahlan. Seperti yang dilakukan KH. Ahmad Dahlan saat kedatangan KH. Hasyim Ashari sewaktu datang di kediamannya. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya dijamu soal materi dengan hidangan terbaik, melainkan hidangan saat melakukan shalat.
Pada waktu itu bertepatan dengan shalat Jum’at, demi menghormati tamunya, KH. Ahmad Dahlan menyuruh muridnya untuk mencarikan beduk dan di taruh di masjid. Padahal selama menyebarkan Islam, KH. Ahmad Dahlan tidak pernah menggunakan beduk untuk pertanda shalat Jum’at. Tidak hanya beduk, tetapi tata cara shalat Jum’at pun dilakukan sesuai dengan kebiasaan atau kultur KH. Hasyim Ashari.
Tindakan yang dilakukan kedua ulama ini memperlihatkan bagaimana saling menghargai satu sama lain. Meskipun keduanya memiliki pemahaman yang berbeda persoalan tata cara beberapa persoalan teologi, tetapi dalam kehidupan sehari-hari mereka saling menghargai satu sama lain.