Khotbah Ramah Penuh Hikmah

Khotbah Ramah Penuh Hikmah

- in Narasi
1121
0
Khotbah Ramah Penuh Hikmah

Pengkhotbah adalah penyampai kebaikan, bukan keburukan. Mereka bertanggungjawab memberikan nilai-nilai agama yang penuh hikmah dengan cara bijaksana. Mereka bukan pula provokator yang menyebarkan beragam ajaran kebencian. Jika ada yang berada di depan jamaah dan mengutarakan suatu hal yang jelek, ketahuilah bahwa mereka bukanlah pengkhotbah agama. Sebab agama tidak didirikan atas dasar benci dan permusuhan.

Annamerie Schimmel, dalam ceramahnya di Universitas Harvard tahun 2002, menyatakan Islam kerap diperlakukan dengan buruk karena sebagian besar sejarawan agama dan mayoritas pihak melihatnya sebagai agama primitif yang selalu dihubungkan dengan aspek hukum. Schimmel kemudian mengutip beberapa ahli fenomenologi agama, seperti Gerard van Der Leeuw, dan dia menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sangat berorientasi pada cinta dan kasih (Bagir, 2017: 232). Umat Islam harus menyadari hal ini. Bahwa agama yang dibawa oleh Rasulullah adalah risalah damai. Memberi kesejukan untuk seluruh alam. Bukan agama yang gemar bertikai dan menyiramkan bahan bakar permusuhan. Dan masjid, sebagai representasi umat Islam, harus dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.

Masjid adalah rumah Allah. Dari tempat itulah, pancaran hikmah menyebar ke sekitar. Cahaya Allah yang membawa pesan kebaikan bagi seluruh alam. Sesuai dengan hakekat Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Nur yang membimbing manusia dari kegelapan hati dan pikiran menuju pencerahan. Mengajarkan manusia meninggalkan perilaku negatif dan mengubahnya dengan tindakan positif. Maka, tidak pantas jika tempat ibadah justru membawa aura negatif berupa kesempitan dan kebencian. Masjid tidak boleh digunakan untuk menjauhkan manusia dari sifat-sifat kebaikan. Mengajak manusia untuk membenci manusia lain, menebalkan permusuhan, dan membenarkan perpecahan. Apalagi hal tersebut dilakukan demi kepentingan pragmatis. Penggunaan masjid untuk hal-hal negatif ini perlu diwaspadai sehingga masjid benar-benar memberi keberkahan untuk semua.

Allah dengan tegas melarang agar masjid tidak digunakan untuk hal-hal yang buruk. “Dan ada orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan, untuk kekufuran, dan memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang yang telah memerangi Allah dan Rasulnya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah “kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta dalam sumpahnya” (at-Taubah ayat 107). Ayat ini menjadi peringatan agar masjid tidak digunakan untuk hal berikut: menimbulkan efek buruk (mudharat), menjadikan seseorang menolak kebenaran (kufur), dan memecah belah. Ayat ini juga memberi pelajaran adanya para pendusta yang menggunakan masjid untuk menyebarkan keburukan.

Masjid yang sesungguhnya, niscaya akan memberikan ketenangan bagi orang yang beraktivitas di dalamnya. Saat membaca al-Quran, didapatinya ajaran kebaikan. Ketika mendengarkan tausyiah, ada keinginan untuk memperbaiki sikap dan perilaku. Takkala mengikuti halaqah, yang diserap adalah kebajikan dalam beragama. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Tidaklah berkumpul sekelompok orang di salah satu rumah Allah. Mereka membaca al-Quran dan saling mempelajarinya diantara mereka, melainkan turun ketenangan atas mereka. Mereka akan diliputi rahmat, dan para malaikat hadir menegelilingi mereka serta Allah menyebut nama mereka di hadapan para malaikat yang berada di sisi-Nya (HR. Muslim).

Urgensi masjid untuk menyebarkan Islam yang damai perlu kembali digalakkan. Sebab kini, ada kecenderungan masjid disalahgunakan untuk kepentingan segelintir pihak. Akibatnya, masjid bukan menjadi tempat bersatunya masyarakat. Secara perlahan, masjid pun akan menjadi eksklusif. Sebab hanya kelompok dengan kepentingan yang sama saja yang merasa nyaman mengunjunginya. Sementara pihak lain dengan pandangan berbeda, akan tidak sreg dengan masjid tersebut. Kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Masjid harus mampu merangkul beragam kepentingan jamaahnya. Pengurusnya tidak boleh bersikap partisan dan memiliki kecenderungan kepentingan tertentu. Apalagi anti dengan perbedaan.

Untuk menjaga masjid tetap sesuai dengan fungsinya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, pengurus masjid (takmir) perlu mengetahui tentang keberagaman jamaahnya. Bahwa masyarakat memiliki pandangan yang berbeda-beda. Termasuk pandangan politik. Maka takmir tidak boleh memiliki kecenderungan terhadap politik tertentu. Apalagi jika mengkampanyekan pilihan politik. Sikap netral adalah sikap yang harus ditunjukan pengelola masjid. Kedua, pengelola masjid harus selektif dalam mengundang penceramah/pembicara. Apalagi jika materi yang disampaikan mengandung ajaran-ajaran negatif (seperti legitimasi melakukan kekerasan, mengingkari pluralitas, dsb). Masih banyak penceramah yang baik dan memberikan inspirasi bagi umat. Mereka inilah yang perlu diberi ruang untuk memberikan materi. Dengan hal inilah, kita berharap masjid menjadi simpul persatuan. Masyarakat pun menjadi nyaman beribadah di masjid karena menyebarkan kesejukan.

Facebook Comments