Terorisme merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan kemanusiaan (against humanity) dan kejahatan lintas negara (borderless). Kiat menanggulanginya tentu harus dengan cara yang luar biasa pula, yakni dengan menggunakan pendekatan yang humanis dan kiat yang holistik, integral, semesta, serta kerja sama lintas negara secara terpadu. Termasuk kerjasama yang produktif dan terkoordinasi, saling tukar menukar informasi antar pemerintah secara bilateral dan multilateral.
Sebuah negara laksana sebuah kolam besar, luas, dalam, dan berombak. Gerombolan ikan-ikan, gurita, buaya dan komunitas yang hidup di dalamnya, berenang dan bermain, diibaratkan komunitas teroris, dengan berbagai lapisan komunitasnya dari level inti, militan, pendukung hingga simpatisan.
Upaya jitu dengan soft approach dalam menanggulangi aksi terosime dan menangkap para teroris, kiatnya adalah dengan cara mengeringkan air dari kolam, otomatis ikan dan komunitas lainnya tidak dapat beraksi, berlari dan berbuat anarkis. Seperti ikan yang kehabisan air otomatis tidak dapat berggerak bahkan mati dengan sendirinya.
Upaya ini merupakan salah satu kiat yang menyeluruh dengan melibatkan segenap komponen bangsa dan semua lapisan masyarakat.
Namun perlu dipahami, sekalipun tidak ada dalam aturan dan perundang undangan menembak mati terduga teroris, namun dinamika lapangan tidak dapat didramatisir. Aparat penegak hukum mewakili negara menghadapi para teroris tidak boleh kalah dengan para penjahat teroris.
Sementara para teroris merupakan komplotan manusia jahat bersenjata yang menghendaki mati dengan istilah yang telah mereka salahgunakan arti dan penggunaannya; yakni menganggap diri mati syahid.
Tentu mereka senang jika cita-cita suci mereka tercapai, yaitu dengan ditembak mati oleh aparat. Dengan kata lain, mereka diantar lebih awal dari jadwal semula untuk berjumpa dengan bidadari yang dihayalkannya.
Hal inilah kemungkinan yang memaksa mereka melakukan bom bunuh diri di tempat-tempat keramaian dan pos kepolisian, sebab para radikal anarkis tidak sabar lagi masuk surga namun tidak dengan mati-mati juga, akhirnya mereka memancing aparat dengan menembaki aparat keamanan dengan harapan agar aparat keamanan dapat menembak balas mereka dan tewas kena peluru aparat keamanan. Maka tercapailah harapan, impian, hayalan dan dambaan mereka; mati dalam kondisi –yang katannya— syahid.
Perlu diidentifikasi bahwa yang menjadi air dalam kolam besar tersebut adalah sistem pendidikan, iklim politik, kondisi ekonomi, nuansa sosial budaya, doktrin ideologi, lingkungan masyarakat, pengaruh dunia global.
Keseluruhan kondisi, keadaan dan suasan tersebut mutlak bersatu padu tampil laksana air dalam kolam yang tidak memberi kehidupan dan ruang gerak kepada para radikal anarkis.
Dunia pendidikan misalnya, sebagai media utama dalam melestarikan dan membudidayakan benih-benih komunitas teroris dan radikal anarkis, melalui lembaga-lembaga pendidikan dalam seluruh jenjang kependidikan, penyebaran paham, interpretasi dan doktrin keagamaan sangat gencar dilakukan oleh kelompok radikal anarkis.
Pemerintah, masyarakat, orang tua dan pemerhati pendidikan harus bersinergi, berkomunikasi secara produktif, berkoordinasi secara intensif melakukan antisipasi dini dalam memantau penyalahgunaan sistem pendidikan, dan melakukan moderasi terhadap sistem pendidikan nasional yang dilaksanakan pada seluruh level dan kategori lembaga pendidikan yang mempersiapkan calon pemimpin bangsa.
Demikian pula aspek-aspek lainnya seperti iklim politik, kondisi ekonomi, nuansa sosial budaya dan doktrin ideologi. Semuanya harus terintegrasi menekan kemungkinan berkembangnya paham radikal anarkis. Seluruh lapisan masyarakat dan segenap komponen bangsa tidak memberi peluang bahaya laten yang mengancam kelangsungan bangsa Indonesia dan juga membahayakan kehidupan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa Indonesia.