“Tanggung jawab membela negara adalah kewajiban seluruh warga negara secara individu tanpa ada pengecualian. Siapa pun yang tidak membela negaranya, dia tidak berhak hidup di negaranya itu”.
Penegasan tersebut merupakan salah satu poin dari 15 konsensus kegiatan Konferensi Ulama Internasional bertajukBela Negarayang digelar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN). Kegiatan tersebut dihadiri oleh 69 perwakilan ulama dari 40 negara (27029/7), Pekalongan.
Hal yang menjadi sangat menarik dari pertemuan tersebut adalah ikrar bersama seluruh peserta tentang bela Negara yang dipimpin oleh Rais Aam Idarah Aliyah JATMAN Habib Luthfi bin Yahya. Beginilah isi Ikrar tersebut:
Bismillaahirrahmaanirrahiim, asyhadu ala ilaaha illallah wa asyhadu anna muhammadar rasulullah, radhiina billahi robba, wa bil islami dina, wa bi muhmmadin nabiyya wa rasulah.Kami berikrar: BELA NEGARA ADALAH WAJIB, BELA NEGARA ADALAH WAJIB, BELA NEGARA ADALAH WAJIB!”
Poin di atas sangat strategis mengingat penegasan itu dihasilkan oleh kesepakatan ulama. Saya kira penegasan ini merupakan negasi terhadap segelintir orang yang selalu mendikotomikan Islam dan nasionalisme. Tidak hanya mengharamkan cinta tanah air, bahkan mereka kadang mengkafirkan Negara dan para pemimpinnya.
Kebencian terhadap Negara merupakan keyakinan ideologis yang mendorong lahirnya terorisme. Kelompok teror selalu menjadikan Negara sebagai entitas yang layak dimusuhi. Berbagai teks dan dalil agama dieksploitasi untuk mengajak masyarakat membenci Negara. Kelompok teror mempunyai strategi bahwa cara melumpuhkan Negara adalah dengan menggerogoti kecintaan masyarakat terhadap negaranya.
Virus anti-nasionalisme telah banyak disebar oleh kelompok radikal terutama di kalangan generasi muda. Karena itulah, penegasan para ulama dalam acara konferensi tersebut menjadi sangat strategis untuk melumpuhkan virus kelompok radikal yang selalu mengharamkan nasionalisme. Tidak ada dalil yang tegas mengharamkan nasionalisme. Bahkan Nabi pun sangat mencintai tanah kelahirannya, Makkah.
Kerjasama ulama dan umara menjadi strategis dalam membendung virus ideologi kelompok radikal terorisme. Dalam konteks itulah, sudah sangat tepat apa yang telah dilakukan Kepala BNPT yang baru dengan menguatkan kembali pelibatan ulama seperti silaturrahmi dengan Ketua Umum PBNU dan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah dalam penanggulangan terorisme. Bahkan Kepala BNPT juga akan melibatkan pimpinan-pimpinan spiritual lain dari lintas agama dalam upaya menghapuskan terorisme.
Saya kira kerjasama lintas agama ke depan sangat diperlukan sekaligus sangat strategis untuk menghilangkan kesan bahwa terorisme terkait dengan agama tertentu. Terorisme memang tidak beragama. Tetapi terorisme selalu menggunakan agama sebagai topeng pembenaran.