Kitab kuning merupakan sebutan untuk karya-karya ulama salaf dan Khalaf. Disebut kitab kuning karena pada mulanya, bahkan sampai saat ini, kitab-kitab tersebut menggunakan kertas berwarna kuning. Sekalipun sekarang ada kitab yang menggunakan kertas putih, namun kemasyhuran penyebutan kitab kuning tidak tergeser.
Perlu diketahui, penyebutan kitab kuning berbeda dengan istilah turas. Turas lebih umum, meliputi seluruh karya-karya pustaka dalam khazanah Islam. Sementara kitab kuning adalah bagian dari turas tersebut setelah melalui seleksi ketat oleh para ulama Nusantara dengan berpijak pada kerangka ideologi Ahlussunah wal Jamaah. Sehingga yang dimaksud kitab kuning yang populer di kalangan pesantren adalah kitab-kitab yang telah melalui seleksi ketat tersebut.
Kenapa harus diseleksi? Tidak semua karya-karya pustaka dalam khazanah keislaman memiliki muatan ajaran Islam sebagaimana ajaran Islam yang diajarkan oleh Rasulullah. Banyak dari karya-karya intelektual yang ditulis dalam bahasa Arab isinya menyimpang dari kandungan al Qur’an dan hadits. Tidak terlalu jauh untuk mencari buktinya. Karya-karya ulama Wahhabi atau Salafi sebagai kenyataan dari penyimpangan terhadap ajaran Islam, meskipun tidak seluruhnya.
Kitab kuning hasil seleksi yang ketat para ulama Nusantara memberikan garansi kepada umat Islam Nusantara bagi terjaganya sanad keilmuan yang nyambung sampai kepada Rasulullah. Ini bukan sekadar klaim semata. Sebagai buktinya adalah ajaran Islam yang rahmatan lil alamin berjalan cukup baik, dan itu mencerminkan ajaran Baginda Nabi. Islam yang toleran, lemah lembut, serta kasih sayang merupakan cerminan ber-Islam yang baik sesuai tuntunan Rasulullah.
Urgensi Kitab Kuning Menjaga Transmisi (sanad) Ilmu Agama
Dari mana bisa dipastikan kitab kuning menjadi medium orisinal menjaga sanad ilmu agama?
Pertama, al Qur’an dan hadits sebagai sumber primer hukum Islam berbahasa Arab. Karenanya, tidak ada cara lain untuk bisa memahami keduanya selain memiliki kemampuan membaca bahasa Arab yang baik. Hanya bermodal terjemah al Qur’an dan hadits sangat jauh dari cukup untuk memahami dua sumber primer tersebut. Skil membaca bahasa Arab, apalagi kitab kuning yang tanpa harakat, hanya bisa dikuasai dengan mempelajari tata bahasa Arab, yaitu dengan menguasai secara baik ilmu nahwu dan sharaf atau ilmu alat.
Sehingga para ulama menulis kitab-kitab tafsir, syarah hadits, ilmu mantiq, ilmu bayan dan lain-lain untuk membantu memahami maksud yang benar dari al Qur’an dan hadits. Tentu saja semua karya-karya intelektual tersebut harus melalui seleksi terlebih dahulu untuk menentukan otoritasnya. Dan, yang bisa melakukan seleksi tersebut hanya mereka para ulama yang memiliki kapabilitas dan integritas yang tidak diragukan.
Kedua, para ulama Nusantara menjadi bagian dari jaringan ulama global sejak abad 15. Pada saat itu, ulama-ulama dari berbagai belahan dunia datang ke dua kota yang menjadi pusat ilmu pengetahuan Islam, yakni Makkah dan Madinah, termasuk dari Nusantara. Di dua kota yang menjadi kiblat ilmu pengetahuan agama Islam tersebut para pelajar dari berbagai dunia berkumpul, kemudian terbentuk jaringan ulama global.
Orisinalitas ilmu pengetahuan agama saat itu tidak diragukan, sebab masa atau rentang waktu yang tidak terlalu jauh dengan masa hidup Rasulullah. Sebagaimana disebut sendiri oleh Baginda Nabi, bahwa generasi umat Islam terbaik adalah periode salaf, yakni masa Nabi, sahabat, tabi’in (pengikut/murid sahabat) dan pengikut tabi’in.
Tradisi menjaga sanad ilmu agama ini terus berlanjut pada masa ulama-ulama khalaf seperti ulama madhab fikih; Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah.
Praktis, sanad ilmu agama ulama-ulama Nusantara tidak diragukan. Sehingga kitab-kitab kuning yang direkomendasikan oleh mereka yang kemudian diajarkan di pesantren-pesantren di Indonesia tidak diragukan lagi sebagai karya-karya yang representatif dari ketersambungan sanad yang baik.
Ketiga, dengan demikian kitab-kitab kuning menjadi sumber rujukan orisinil untuk memahami ilmu agama. Kitab kuning sejatinya adalah sari pati dari al Qur’an dan hadits setelah melalui proses istimbat (penalaran dan penggalian hukum). Ilmu tafsir, ilmu hadits, ulumul Qur’an, ushul fikih dan seterusnya yang diajarkan di pesantren-pesantren merupakan seperangkat pengetahuan yang menjamin kemurnian sanad ilmu agama.
Maka, berbicara sanad keilmuan tidak bisa lepas dari kitab kuning dan para ulama Nusantara yang membawa kitab-kitab tersebut ke Indonesia. Para ulama memiliki sanad keilmuan yang tersambung sampai kepada Rasulullah. Sehingga untuk menjaga ketersambungan sanad harus belajar kepada ulama-ulama. Selain itu, harus memiliki skil membaca kitab kuning secara baik untuk melanjutkan sanad keilmuan tersebut kepada murid-murid kita nantinya.
Sampai disini telah cukup jelas, bahwa kitab kuning yang telah terverifikasi tersebut merupakan sumber otentik ilmu agama. Karenanya, syarat mutlak bisa dikatakan sebagai ulama adalah harus memiliki kemampuan membaca kitab kuning secara baik. Demikian pula para dai, mubaligh dan tokoh agama sejatinya memiliki kemampuan untuk itu.
Penguasaan yang kurang baik, atau bahkan tidak bisa sama sekali membaca dan memahami kitab kuning, berkonsekuensi terhadap terjadinya kesalahan fatal disaat menyampaikan ajaran Islam. Ini banyak terjadi, utamanya di media sosial. Tidak sedikit dai dan penceramah yang salah arah menyampaikan suatu hukum.
Bagi umat Islam yang tidak diberikan kemampuan membaca dan memahami kitab kuning, maka untuk menjaga orisinalitas sanad keilmuan wajib belajar ilmu agama terhadap mereka yang memiliki kemampuan membaca dan memahami kitab kuning secara baik. Disamping itu, guru yang dipilih harus pula memiliki ketersambungan sanad kepada ulama-ulama Nusantara.
Jika tidak, sangat mungkin akan terjerumus pada pemahaman yang keliru. Apalagi kalau belajar agama dari media sosial atau platform digital yang lain. Banyak kasus seseorang terjebak pada pemahaman radikal karena berguru pada “mbah google” dan dari media sosial. Disamping rentan manipulasi dan kesalahan, sanad keilmuan juga tidak jelas. Guru-guru yang muncul di media sosial dan dari ketikan mesin pencari di internet tidak memberikan jaminan atas validitas kebenaran informasi agama yang disampaikan.
Kalau terpaksa harus belajar dari internet harus mencari sumber serta memilih pemateri yang kualitas dan sanad pengetahuan agamanya bisa dibuktikan validitasnya. Jika tidak, otoritas ilmu agama menjadi pudar. Popularitas tidak menjamin kualitas. Jangan terpancing dengan popularitas seseorang di media sosial. Sebab tidak sedikit orang yang memanfaatkan kepopulerannya untuk berdakwah tanpa diimbangi kualitas sehingga pengetahuan agama mengalami kekacauan.