Koalisi Ulama-Umara; Negara Kuat, Bangsa Maslahat

Koalisi Ulama-Umara; Negara Kuat, Bangsa Maslahat

- in Narasi
978
0
Koalisi Ulama-Umara; Negara Kuat, Bangsa Maslahat

Pembatalan haji 2021 bergulir menjadi isu politis. Kalangan partai oposisi menuding pemerintah terlambat melakukan lobi ke pemerintah Arab Saudi. Bahkan, mereka mendorong adanya audit dana haji. Mereka menuding pemerintah menggunakan dana haji untuk membiayai proyek infrastruktur.

Sementara para tokoh muslim konservatif giat menabur fitnah dan provokasi dengan menunggangi isu pembatalan haji 2021 ini. Haikal Hassan Baras misalnya, pentolan ormas 212 dan GNPF MUI melalui akun twiternya mengaitkan pembatalan haji ini dengan isu investasi China, kasus Rizieq Shihab dan tudingan tak berdasar ihwal pengelolaan dana haji.

Padahal, rilis pers Kementerian Agama telah menjelaskan sebab pembatalan haji. Menag, Gus Yaqut menyebut pembatalan haji disebabkan oleh pertimbangan faktor kesehatan masyarakat. Selain itu, belum ada kejelasan apakah Arab Saudi akan menerima jamaah haji dari luar negeri. Sementara sampai saat ini, hanya ada 11 negara yang diijinkan masuk ke Arab Saudi. Yakni Uni Emirat Arab, Jerman, Irlandia, Italia, Portugal, Inggris, Swedia, Swiss, Perancis dan Jepang. Itu pun hanya untuk kepentingan bisnis bukan haji.

Jika informasi sejelas itu masih ditunggangi hoaks dan provokasi, maka hanya ada tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama, para penyebar hoaks itu tidak membaca informasi yang benar. Kemungkinan kedua, penyebar hoaks itu membaca informasi namun tidak memahami pesan yang ingin disampaikan. Ketiga, para penyebar hoaks itu sebenarnya membaca dan memahami namun dengan sengaja menebar hoaks dan provokasi demi memperkeruh suasana.

Dalam konteks ini, jelas bahwa para penyebar hoaks dan hasutan terkait pembatalan haji 2021 itu memang sengaja mengail di air keruh. Mereka menyadari isu pembatalan haji ini merupakan isu yang “seksi” untuk dikomodifikasi sebagai bahan menyerang pemerintah. Mereka berusaha mengkapitalisasi kekecewaan umat Islam dengan menghadirkan narasi provokatif dan penuh kebencian.

Pelintiran Isu

Pelintiran isu (spin of issue) ini sebenarnya bukan fenomena baru. Pasca kebangkitan gerakan populisme Islam yang memuncak dalam momen Pilkada DKI tahun 2017 lalu, semua isu sosial, politik, apalagi agama memang rawan dipelintir dan dipolitisasi untuk menyerang legitimasi pemerintahan yang sah. Hal ini juga terjadi dalam konteks kebijakan penundaan pemberangkatan haji 2021. Isu pembatalan haji seolah menjadi amunisi kaum oposan dan kaum radikal untuk menjatuhkan wibawa pemerintah.

Namun, upaya kaum radikal dan oposan itu niscaya bisa dihalau sejak dini jika para ulama bersinergi dengan umara dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Saya pribadi yakin, keputusan pemerintah menunda pemberangkatan jamaah haji merupakan keputusan yang diambil dari kajian panjang serta melibatkan seluruh stakeholder terkait. Salah satunya ialah meminta pendapat ulama. Seperti kita tahu, Menteri Agama saat ini berasal dari NU dan dikenal dekat dengan sejumlah ulama dan kiai yang otoritatif.

Beredarnya hoaks dan hasutan seputar isu penundaan haji 2021 menandai masih kurang kuatnya sinergi antara ulama dan umara dalam mewujudkan kemaslahatan umat. Dalam konteks negara relijius seperti Indonesia, kemaslahatan umat mustahil terwujud tanpa adanya kerjasama antara umara sebagai pemegang kekuasaan sekaligus pembuat kebijakan dengan ulama sebagai sosok panutan publik yang disegani karena keilmuan dan karakternya. Umara dan umara ialah pilar penting dalam mewujudkan negara yang kuat dan bangsa yang maslahat.

Koalisi Ulama-Umara

Koalisi antara ulama dan umara tidak diragukan merupakan prasyarat penting untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Di negara demokratis-relijius seperti Indonesia, tugas menyejahterakan umat tidak akan terwujud jika hanya dibebankan pada pemerintah atau umara. Di saat yang sama, ulama juga idealnya mengambil peran signifikan di dalam transformasi dan pemberdayaan sosial. Namun, agar tidak terjadi tumpang tindih kekuasaan dan kepentingan, perlu dilakukan semacam pembagian tugas antara umara dan ulama.

Umara sebagai otoritas yang berwenang menyusun dan mengeksekusi kebijakan merupakan leader yang berada di depan; mengambil keputusan, menjalankan dan mengevaluasinya. Sedangkan ulama berfungsi layaknya supporting system yang mengawasi jalannya kebijakan, memberi masukan jika diperlukan dan mengapresiasi capaian yang telah diraih. Koalisi seimbang antara umara dan ulama akan mendorong terciptanya negara yang kuat dan bangsa yang maslahat. Negara yang kuat ialah negara yang sistem pemerintahannya mapan dan tahan dari segala terpaan isu miring yang sengaja diembuskan kaum oposan. Sedangkan bangsa maslahat ialah bangsa yang segala kebutuhan fisik dan psikisnya terpenuhi secara adil dan merata.

Pembagian tugas ini bukan berarti bahwa ulama menjadi terkooptasi oleh kekuasaan pemerintah. Kedudukan ulama dan umara ialah sejajar, keduanya sama pentingnya dalam mewujudkan negara yang kuat dan bangsa yang maslahat. Namun, keduanya memiliki job desk yang berbeda. Yang diperlukan di antaranya keduanya ialah sinergi dan koeksistensi, yakni menyelaraskan visi, misi dan cara pandang dalam menatap arah negara dan bangsa ke depan.

Facebook Comments