Kobarkan Jurnalisme Damai, Hindari Perpecahan!

Kobarkan Jurnalisme Damai, Hindari Perpecahan!

- in Narasi
1763
0

Kelahiran era reformasi telah membuka keran kebebasan pers. Pers tidak lagi dikekang seperti dahulu sebagaimana sebelum era reformasi diagungkan.

Sebagai mimpi yang telah diidam-idamkan oleh para aktivis gerakan reformasi, nyatanya hari ini, kebebasan pers hadir seperti buah simalakama. Di satu sisi, dengan adanya kebebasan pers orang bisa dengan bebas mengemukakan ide dan pendapat. Akan tetapi di sisi lain, seringkali kebebasan pendapat dimaknai secara kebablasan. Kepentingan si pembuat berita atau ulasan yang didahulukan. Sementara kepentingan bangsanya seringkali diacuhkan. Berita dibuat dengan narasi se-provokatif mungkin agar mendongkrak orang-orang tertarik membaca. Tanpa disadari, hal tersebut justru seringkali memicu konflik karena mengandung unsur keberpihakan.

Inilah salah kaprah yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kala arus deras informasi di dunia maya dibuka, siapa pun secara bebas dapat menyebarkan informasi-informasi di media sosial. Parahnya, informasi-informasi tersebut seringkali berupa hal-hal yang bersifat provokatif, agitatif, dan manipulatif, yang tak jarang mengandung unsur SARA sehingga rawan memicu perpecahan bangsa. Tak heran, meskipun UU ITE dibuat untuk membatasi kebebasan dunia maya yang bersifat kebablasan, nyatanya informasi hoaks dan provokatif masih saja banyak bersliweran.

Patuhi Kode Etik

Dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) SK Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006, secara jelas diuraikan bahwa Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Pasal 4 juga menegaskan bahwa Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Pun, pasal 8 KEJ juga turut memaparkan, Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Agaknya, kode etik ini juga harus dipakai oleh setiap orang yang bermedia. Sebab, bagaimana pun informasi yang disampaikan di media massa maupun media sosial akan dapat mempengaruhi pembacanya melalui proses pembingkaian berita (framing), pengemasan dan penggambaran fakta, pemilihan sudut pandang, serta penempatan foto ataupun gambar. Di sinilah media dihadapkan pada dua realitas, yaitu sebagai peruncing konflik atau sebagai mediator untuk mengakhiri konflik. Media bisa menjadi alat propaganda dan alat perdamaian. Semua itu tergantung pada lembaga pers yang memberitakan.

Maka itu, ketika aksi kekerasan terjadi, media harus memberitakan kasus tersebut dengan prinsip jurnalisme damai (peace journalism), bukan sebaliknya dengan pemberitaan yang justru membuat kasus semakin meruncing.

Kobarkan Jurnalisme Damai!

Kita pahami, bahwa media hari ini bukan hanya milik para wartawan. Tapi menjadi milik hampir semua orang. Asalkan orang tersebut memiliki gadget dan akses ke dunia maya, ia juga bisa menjadi seorang jurnalis yang dikenal dengan nama citizen journalism.

Maka itu, sebagai seorang jurnalis lewat citizen journalism, kita juga harus mengedepankan etika jurnalisme damai. Bukan Jurnalisme Perang yang seringkali justru membuat pertikaian dan perang itu menjadi samar-samar atau tersembunyi, hanya fokus pada siapa yang menang dalam konflik itu; melihat mereka yang berkonflik bukan sebagai manusia, serta bersifat reaktif atau hanya menunggu terjadi kekerasan untuk dapat meliputnya dan hanya berfokus pada efek yang bisa dilihat mata (korban yang tewas, terluka, dan mengalami kerusakan material) (Budiman, 2012).

Prof Johan Galtung (2001) merincikan apa yang semestinya dilakukan dalam menerapkan prinsip Jurnalisme Damai, yaitu: berorientasi perdamaian dengan menggali proses terjadi konflik dan liputan pada situasi kedua belah pihak menang (“win-win orientation”); bukan berorientasi pada perang atau kekerasan yang fokus pada arena konflik dengan menghadirkan peperangan dan pertarungan menang-kalah (“win-lost orientation”). Jurnalisme Damai mendorong sebuah konflik yang terjadi menjadi transparan dan memberi kesempatan bersuara kepada semua pihak termasuk pihak yang tak mampu bersuara (“give voice to the voiceless”), berempati, bersimpati, dan pengertian, melihat sisi kemanusiaan dari segala sisi dan mengecam penggunaan senjata, juga bersifat proaktif untuk menghindari perang atau kekerasan terjadi.

Dengan demikian, ketika kita memegang prinsip jurnalisme damai, berarti juga memegang prinsip kemanusiaan dan sikap anti-perpecahan. Kita pahami bahwa NKRI terdiri dari beragam suku, etnis, agama, dan budaya yang rawan terjadi perpecahan. Ketika kita menyulut isu berbau SARA dan memaparkan informasi di media tanpa prinsip jurnalisme damai, maka jelas konflik, pertikaian, dan perpecahan akan terjadi. Konflik sebagaimana yang pernah terjadi di Poso, Sampit, dll. dapat berulang apabila dalam bermedia tidak mengedepankan prinsip damai dalam menyebarkan informasi.

Maka itu, kita harus bijak dalam menyebarkan berbagai informasi. Informasi yang disebarkan haruslah informasi yang benar serta tida memicu konflik. Dengan begitu, kita sejatinya telah menghindarkan NKRI dari bahaya perpecahan. Wallahu a’lam bish-shawaab.

Facebook Comments