Seorang sejarawan, Bonnie Triyana, mengatakan bahwa bila adanya terorisme di Indonesia awalnya terjadi karena upaya perebutan kekuasaan antara laki-laki, namun harus diakui pada akhirnya perempuanlah yang menjadi korban.
Keterlibatan perempuan Indonesia dalam radikalisme dari tahun ke tahun mengalami peningkatan secara signifikan. Berdasarkan data Badan Nasional Penaggulangan Terorisme (BNPT), perempuan generasi muda yang aktif di internet mengalami potensi radikalisme lebih tinggi sehingga mudah terpapar narasi radilaisme.
Terdapat beberapa alasan keterlibatan perempuan dalam aksi teror. Pertama, perempuan dapat dijadikan sebagai pengikut yang patuh dan loyal. Demikian terjadi karena adanya relevansi antara budaya Indonesia dan ajaran agama konservatif yang memandang perempuan diciptakan hanya menjadi pribadi yang tunduk.
Kedua, sifat ibuisme dan kelemah-lembutan perempuan dijadikan sebagai jurus ampuh dalam mengalabuhi target serangan. Akhirnya, perempuan sering kali dijadikan kurir untuk menyampaikan pesan rahasia antarsesam pelaku radikal.
Ketiga, perempuan dianggap memiliki perasaan yang lebih sensitif, peka, emosi labil, dan memiliki sikap cenderung membuat mereka lebih mudah dipengaruhi dan dimanfaatkan teroris laki-laki dalam melakukan aksinya.
Kesadaran Perempuan Terhadap Isu Radikalisme
Terlapas dari beberapa kasus perempuan yang rentan terpapar radikalisme, perempuan juga mempunyai peran besar dalam meredam isu radikalime. Melibatkan perempuan dalam penanganan radikalisme sangatlah penting. Sebagai warga negara yang mempunyai kesadaran akan pentingya menjaga keutuhan NKRI, perempuan mempunyai peran penting dalam mencegah radikalisme.
Perempuan mempunyai kedudukan strategis yang mampu menjadi inspirator dan motivator terhadap kaum lelaki. Wanita modern di era sekarang harus berpikir progresif, aktif, partisipatif, dan peduli akan permasalahan yang tengah dihadapi oleh masyarakat, umat, dan negara, tidak terkecuali terhadap persoalan radikalisme dan terorisme yang menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa.
Seorang penyair, Hafiz Ibrahim menyatakan bahwa “Al-Ummu madrasatul ula, iza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq“, maksudnya, “ibu adalah madrasah (sekolah) pertama bagi anaknya. Jika engkau persiapkan ia dengan baik, maka sama halnya engkau persiapkan bangsa yang baik. Karakter anak tergantung bagaimana seorang ibu mendidik anaknya sedari kecil.
Selain itu, wanita tidak hanya berperan penting dalam urusan kekeluargaan saja, mereka juga memaikan peranan penting dalam lingkungan masyarakat sekitar dan negara. Karena itu, wanita memiliki tanggung jawab yang besar baik dalam pembentukan maupun pembangunan keluarga serta masyarakat Islam secara umum.
Beberapa organisasi perempuan memberikan peran penting dalam pembangunan. Misalnya, Aisiyah sebagai organisasi perempuan pertama berbasis agama Islam yang berfokus untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan memperkenalkan sudut pandang Islam yang menganggap bahwa perempuan dengan laki-laki itu setara. Aisiyah hingga kini tetap konsisten dengan gerakan dakwah Islam yakni amar makruf nahi munkar.
Penecegahan radikalisme bisa dimainkan melalui peran perempuan dari ruang terkecil yaitu keluarga hingga ruang besar seperti organisasi perempuan. Keberhasilan penanggulangan radikalisme tidak terbatas pada tataran kebijakan pemerintah, tetapi juga berada pada unit kecil yang disebut keluarga sebagai benteng utama dalam melawan paham radikal melaui peran perempuan dalam keluarga khususnya dalam pendidikan dan literasi bagi anak-anaknya.
Oleh karennya, jangan sampai perempuan menjadi diskursus yang mengiang di atas menara gading, menjadi sebuah narasi biologis yang mempunyai jarak lebar dengan masyarakat. Tetapi menjadi secercah cahaya yang mempunyai multiperan terhadap pencegahan radikalisme yang mencekik republik ini. Sehingga perempuan tidak lagi dilihat sebagai orang yang rajin ‘unjuk pesona’, tetapai mampu menjadi figur yang memiliki ‘unjuk kuasa’ dalam berbangsa dan bernegara.