Kartini dan Fanatisme Agama

Kartini dan Fanatisme Agama

- in Narasi
669
0
Kartini dan Fanatisme Agama

Kartini menulis “Agama dimaksudkan sebagai rahmat bagi semua umat manusia, untuk bisa menjadi tali penghubung antara semua ciptaan-Nya. Kita semua bersaudara bukan satu keturunan tapi karena satu Tuhan yang berkuasa di atas sana. Oh Tuhan, kadang aku berpikir bahwa lebih baik agama tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah dan bukan menjadi tali pemersatu umat manusia. Saudara kandung saling berselisih hanya karena berlainan keyakinan.

Aku sering bertanya pada diriku sendiri; apakah agama sebagai sebuah rahmat kalau praktiknya malah seperti ini? Kata orang, agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang kita perbuat atas nama agama?” surat Kartini untuk Stella Zeehandelaar pada 6 November 1899.

Surat Kartini pada sahabatnya itu tajam dan relevan, seperti ditulis November tahun lalu. Jika Kartini hidup di masa ini dan menulisnya, atau tampil dalam sebuah podcast, gagasan itu tentu viral dan menjadi perbincangan nasional. Bayangkan saja seorang tokoh perempuan hari ini berbicara “Kadang aku berpikir bahwa lebih baik agama tidak ada saja. Karena justru agamalah penyebab perselisihan, perpecahan dan pertumpahan darah.”

Penolakan pendirian rumah ibadah dan persekusi terhadap pemelukan agama lain masih sering dialami oleh banyak pemeluk agama minoritas. Izin formal keputusan bersama menteri tentang Pembangunan rumah ibadah sering digunakan sebagai senjata dalam membatasi orang untuk berelasi dengan Tuhan.

Seperti yang dikatakan oleh Kartini, “Agama akan menjaga kita dari perbuatan dosa, namun berapa banyak dosa yang kita perbuat atas nama agama?” menjadi permenungan yang mendalam akan arah keberimanan seseorang dalam menjalankan agamanya. Penolakan akan keberadaan dan aktivitas agama lain menjadikan agama sekadar fanatisme belaka, tanpa iman.

Fanatisme agama tidak terlepas dari “doktrin” pemuka agama yang terlibat dalam politik. Menjadikan umat sebagai kantong suara yang bisa menjadi modal transaksi kekuasaan dan kemakmuran kelompoknya. Tentu saja bukan barang haram ketika pemuka agama memberikan arahan dan tuntunan dalam memilih pemimpin bangsa, hal ini menjadikan agama sebagai mercusuar atau petunjuk bagi pemeluk agama untuk menemukan pemimpin yang melahirkan kemakmuran, kebaikan dan kebaikan bagi sesama dan semesta. Kartini mengajak untuk menjadikan agama sebagai tuntunan dan bukan sebagai alasan dalam membenci dan melukai orang lain.

Seperti Kartini, peran perempuan amat penting untuk menjaga kedamaian dan toleransi. Di lingkup keluarga, peran ibu lebih banyak mengarahkan putri putranya soal perasaan, emosi, toleransi, pengertian, dan hal lain yang terkait dengan jiwa. Sehingga pemahaman perempuan terhadap nasionalisme, toleransi dan keberagaman menjadi kunci penting menjaga Indonesia dari dalam keluarga.

Perempuan harus mempunyai kesadaran penuh akan peran pentingnya dalam menjaga bangsa dalam lingkup keluarga. Sebab dalam catatan sejarah, perempuan dan anak selalu menjadi korban utama dalam konflik yang terjadi akibat perang saudara, khususnya yang diawali oleh fanatisme agama. Dalam Sejarah Lengkap Wahhabi (2020) karya Nur Khalik Ridwan, tercatat bahwa perang agama sering menempatkan perempuan sebagai tawanan perang dan budak seks. Hal ini terjadi karena doktrin agama tertentu yang menempatkan perempuan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki, sehingga perempuan kehilangan kemerdekaan dan kekuatannya sejak dalam pikiran.

Perjuangan Kartini untuk menempatkan perempuan setara dengan laki-laki menjadi perjuangan perempuan masa kini, sebab perempuan memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam semua hal, keduanya hanya dibedakan berdasarkan kodrat mengandung dan melahirkan. Tak ada kajian yang menemukan satu lebih kuat atau lebih pintar dari yang lain.

Perbedaan kodrat perempuan dan laki-laki menurut Alimatul Qibtiyah dalam bukunya Feminisme Muslim di Indonesia (2019) tidak menjadikan satu lebih unggul dari yang lain. Katanya, perbedaan perempuan dan laki-laki dalam hal kodrat tidak menjadikan yang satu memiliki status lebih tinggi dari yang lain, hubungan keduanya tidak bersifat hierarkis, tetapi fungsional. Setara dan saling melengkapi.

Cara pandang setara ini masih tabu dalam sebagian cara pandang masyarakat, namun hal ini yang mesti diperjuangkan bersama. Perempuan memandang diri sebagai manusia utuh dan setara melalui daya pikir dan daya juangnya, laki-laki pun demikian dan memberikan ruang lebih luas bagi perempuan untuk ambil.

Facebook Comments