Konflik Palestina dan Israel memanas di pengujung bulan Ramadan dan jelang Idul Fitri. Sepekan terakhir, eskalasi kekerasan meningkat drastis. Puluhan roket diluncurkan milisi Izz ad Din al Qassam, organisasi sayap militer Hamas sebagai respons pengusiaran warga Palestina yang bermukim di Skeih Jarah, Yerussalem Timur. Serangan roket itu dibalas aksi serangan udara militer Israel. Selain menewaskan komandan senior Hamas, serangan udara itu juga menewaskan 35 warga sipil Palestina. Ironisnya, 10 diantaranya merupakan anak-anak.
Konflik antara Palestina dan Israel memiliki sejarah panjang nyaris satu abad lamanya dengan akar persoalan yang kompleks. Konflik ini terjadi dalam setidaknya dalam lima babak. Pertama ialah kemunculan gerakan zionisme pada abad ke XIX. Agenda zionisme ialah mendirikan negara khusus bagi komunitas Israel yang tersebar di seluruh negara. Gerakan ini muncul pasca tragegi Hollocaust yang dilakukan oleh rezim Nazi di bawah Adolf Hitler.
Kedua, deklarasi Balfour yang berisi perjanjian bahwa Inggris berjanji memberikan “rumah” bagi kaum Yahudi. Deklarasi Balfour ini merupakan buntut dari keruntuhan Dinasti Ottoman tahun 1914. Rumah yang dimaksud ialah wilayah Palestina. Ketiga, fase gelombang migrasi komunitas Yahudi dari seluruh dunia ke Palestina. Tahun demi tahun, jumlah komunitas Yahudi yang masuk ke wilayah Palestina kian banyak. Hal itu menyebabkan terjadinya perebutan wilayah. Sejak saat itu, konflik dan kekerasan antara Palestina dan komunitas Yahudi terus terjadi.
Keempat, momen ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merekomendasikan solusi dua negara (two states solution) untuk meredam konflik antarkedua negara. Menurut resolusi PBB, kaum Yahudi mendapat 55 persen dari total wilayah Palestina. Bukannya meredakan konflik, resolusi itu justru kian mengobarkan konflik antara Palestina dan kaum Yahudi.
Kelima, deklarasi berdirinya negara Israel secara resmi pada tahun 1948 oleh David Ben Gurion. Deklarasi ini ditolak oleh sebagian besar negara Arab (Timur Tengah). Puncaknya, terjadi peperangan antara gabungan negara Arab yang pro-Palestina melawan Israel. Namun, perang yang kemudian dikenal sebagai “Perang Enam Hari” itu dimenangkan oleh pihak Israel. Dampaknya, Israel kian leluasa menganeksasi wilayah Palestina.
Kini, konflik antara Palestina dan Israel cenderung kian kompleks, dimulai dari perebutan wilayah teritorial yang dibalut dengan isu keagamaan serta ditunggangi oleh kepentingan geopolitik global. Isu Palestina dan Israel telah menjadi isu yang “seksi” bagi dunia Internasional. Kekerasan demi kekerasan terus terjadi sepanjang tahun dan menelan korban dari kedua belah pihak.
Menariknya, di kalangan muslim, isu Palestina selalu dimainkan oleh kelompok konservatif-radikal untuk mengampanyekan gagasan kekhalifahan Islam. Menurut mereka, akar konflik Palestina dan Israel ialah murni agama dan hanya bisa diselesaikan ketika umat Islam di seluruh dunia bersatu mendeklarasikan berdirinya negara Islam. Selain itu, isu Palestina juga kerap dikomodifikasi oleh politisi muslim konservatif untuk menarik dukungan di kalangan pemilih muslim.
Di sisi lain, di kalangan komunitas Yahudi sendiri, ada sekelompok orang yang menentang tindakan kekerasan tentara Israel terhadap warga sipil Palestina. Kaum Yahudi liberal ini cenderung menginginkan solusi damai untuk meredam bara konflik yang sudah berusia 100 tahun ini.
Pentingnya Mengelola Konflik
Sekompleks apa pun akar konflik Palestina dan Israel, kekerasan ialah musuh kemanusiaan yang harus dilawan. Apalagi praktik kekerasan itu dilakukan di bulan suci Ramadan dan hari Idul Fitri. Bulan Ramadan ialah bulan suci yang idealnya tidak dinodai oleh praktik yang mendegradasi nilai kemanusiaan. Begitu pula bulan Syawal yang menjadi bulan pemaafan bagi umat Islam. Dalam tradisi masyarakat Arab, bulan Syawal ialah bulan terlarang untuk peperangan. Secara etimologis, Syawal bermakna sebagai “menggantungkan pedang di sarungnya” tanda bahwa peperangan sudah usai atau tengah jeda.
Maka, momentum Idul Fitri 1442 Hijriah ini kiranya bisa menjadi kesempatan untuk menggaungkan pesan solidaritas kemanusiaan, khususnya untuk meredam konflik antara Palestina dan Israel. Kedua pihak keduanya bisa menahan diri untuk saling melakukan aksi kekerasan. Bagaimana pun juga, kekerasan bukanlah jawaban dan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, kekerasan selalu menimbulkan korban yang ironisnya datang dari warga sipil yang tidak bersalah. Untuk itu, momen Idul Fitri ini kiranya bisa mengetuk hati, baik kedua belah pihak yang sedang bertikai, maupun dunia Islam dan dunia Internasional untuk menggaungkan pesan solidaritas kemanusiaan.
Idul Fitri memiliki setidaknya dua filosofi dasar. Pertama, islah yakni perdamaian antarmanusia. Di hari Idul Fitri, semua umat muslim diwajibkan membuka hatinya untuk saling memaafkan dan melebur kesalahan di masa lalu. Kedua, rekonsiliasi yakni memulihkan kembali hubungan antarmanusia yang sempat renggang agar kembali rekat. Hubungan antarmanusia niscaya tidak akan lepas dari konflik dan pertentangan. Dari lingkup paling kecil yakni konflik antarindividu hingga lingkup luas, yakni konflik antarkelomopok masyarakat. Konflik memang tidak dapat dihindarkan, namun bisa dikelola agar tidak menjurus pada kekerasan.
Pesan solidaritas kemanusiaan itulah yang idealnya kita gaungkan di momen Idul Fitri tahun ini. Kita kita menikmati lebaran dengan sukacita baju baru dan anekarupa makanan melimpah, ada saudara-saudara kita di belahan bumi lain, terutama Palestina yang tengah menghadapi ancaman kekerasan. Pesan solidaritas kemanusiaan itu kiranya harus kita gaungkan tanpa ada pretensi apa pun terkait afiliasi politik dan ideologi keagamaan. Pesan solidaritas kemanusiaan idealnya memang melampaui segala urusan sekat-sekat politik, ideologi dan agama.