Tahun ini, perayaan Idul Fitri berbarengan dengan momen peringatan Kenaikan Isa al Masih. Dua peringatan hari besar yang disakralkan oleh dua agama besar di muka bumi, yakni Islam dan Kristen terjadi dalam satu waktu. Peristiwa luar biasa ini kiranya tidak hanya dipahami sebagai sebuah kebetulan belaka. Lebih dari itu, berlangsungnya perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa al Masih ini kiranya bisa memperkokoh persaudaraan antariman.
Persaudaraan antariman ialah isu yang urgen dan relevan bagi Indonesia yang dikenal sebagai negara multirelijius dan multikultural. Lebih spesifik dari itu, bangsa Indonesia memiliki rekam jejak yang nisbi buruk terkait relasi antaragama. Seperti kita tahu, di awal era Reformasi sejumlah wilayah di Indonesia dilanda konflik berlatar isu suku, agama dan ras. Saya pribadi percaya bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan mendorong manusia pada konflik.
Namun, kita agaknya harus mengakui bahwa isu keagamaan masih menjadi isu yang kuat untuk menjustifikasi konflik antarmanusia. Pertikaian antarmanusia yang sebenarnya dilatari oleh konflik kepentingan berorientasi politik kekuasaan dan akses ekonomi akan terkesan menjadi konflik yang suci jika dilabeli oleh isu agama. Maka, menjadi wajar jika agama masih menjadi komoditas yang laku dalam kehidupan sosial dan politik kita.
Seperti tampak dalam satu dekade belakangan ini manakala isu agama ditarik sedemikian jauh ke dalam ranah politik praktis. Fenomena politisasi agama bisa dibilang merupakan fenomena yang paling lazim dalam panggung politik Indonesia pasca-Reformasi. Fenomenai ini harus diakui telah berdampak tidak hanya pada menurunnya kualitas demokrasi, namun juga pada relasi sosial-kebangsaan dalam konteks yang lebih luas.
Merawat Multirelijiusitas
Maka dari itu, memperkokoh persaduaraan antaragama atau antariman merupakan kebutuhan yang mendesak. Tersebab, multirelijiusitas yang merupakan karakter bangsa Indonesia memiliki dua sisi yang kontradiktif. Di satu sisi, multirelijiusitas itu bisa menjadi modal sosial yang penting untuk membangun bangsa. Tentu jika kita (pemerintah dan masyarakat) bisa mengelola multirelijiusitas itu dengan membangun jejaring komunikasi, dialog dan kerjasama antarkelompok agama yang berbeda.
Di sisi lain, multirelijiusitas itu bisa menjadi ancaman bahkan potesi konflik jika kita gagal mengelolanya dengan efektif. Efektifitas pengelolaan multirelijiusitas bisa dibangun dengan mengintensifkan perjumpaan antaragama atau antariman agar tercipta koeksistensi yang solid. Koeksistensi (sikap kesediaan hidup berdampingan dan bekerjasama) antarpemeluk agama yang berbeda mensyarakatkan setidaknya dua hal.
Pertama, kesediaan untuk mengakui konsep teologi agama lain, meski tidak harus menyetejuinya. Secara pribadi, identitas agama merupakan urusan personal antara manusia dengan Tuhan. Dalam konteks ini, semua agama pasti memiliki klaim kebenarannya masing-masing yang wajib dijunjung oleh para pemeluknya. Namun, mekanisme klaim kebenaran itu akan berbeda ketika diaplikasikan ke dalam ruang publik yang plural. Di ruang publik, klaim kebenaran agama itu harus dinegosiasikan dengan realitas keagamaan dan keimanan yang plural. Maka, sikap saling menghargai dan menghormati konsep keimanan agama lain ialah langkah pertama untuk membangun kerukunan atau harmoni antaragama.
Kedua, kesediaan untuk melakukan dialog dan komunikasi antarpemeluk agama yang berbeda. Satu hal penting yang wajib dipahami ialah dialog antaragama bukanlah debat teologis untuk mencari apa agama yang paling benar dan rasional. Sebaliknya, dialog antaragama lebih bertujuan untuk mencari titik temu agama-agama dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta kehidupan yang selaras.
Mendesain Dialog Antaragama
Ironisnya, harus diakui bahwa format dialog agama yang marak belakangan ini cenderung masih berorientasi mencari mana agama yang paling benar. Konsekuensinya, dialog agama kerap buntu lantaran masing-masing agama kukuh dengan klaim kebenarannya masing-masing. Ke depan, kita perlu merancang dialog antaragama yang mampu mempertemukan agama-agama ke dalam satu titik kesepahaman dalam keragaman.
Momentum perayaan Idul Fitri dan Kenaikan Isa al Masih tentu tidak terjadi saban tahun. Peristiwa serupa hanya pernah terjadi pada tahun 1727 silam dan akan terjadi kembali pada tahun 2248 atawa 200 tahun mendatang. Ini ialah momen luar biasa yang idealnya bisa menjadi titik awal membangun persaudaraan antariman dan antargama di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Bagi umat Islam, hari raya Idul Fitri ialah hari kemenangan sekaligus kebahagiaan setelah menempuh ujian selama bulan Ramadan. Idul Fitri ialah titik balik perjalanan manusia kembali ke fitri, ke titik nol sebagai manusia yang steril dari dosa.
Sedangkan bagi umat Kristen, peringatan Kenaikan Isa al Masih menyiratkan makna bahwa manusia seharusnya tidak haunt dalam arus kenikmatan duniawi, namun juga memikirkan kehidupan spiritual. Diangkatnya Yesus ke surga bermakna bahwa umat Kristen tidak perlu takut dan khawatir menjadi perpanjangan Tuhan di muka bumi dan melanjutkan karya-karyaNya.
Momen Kenaikan Isa al Masih juga menegaskan bahwa Yesus sejatinya tidak pernah pergi. Ia akan tetap menjaga dan menyertai kehidupan manusia di muka bumi. Dari luar, Idul Fitri dan Kenaikan Isa al Masih memang berbeda secara simbolistik. Namun, keduanya bertemu dalam satu titik yakni spiritualitas. Titik temu spiritualitas inilah yang kiranya bisa mengokohkan persaudaraan antariman.