Konflik, Perang, hingga Kejatuhan Khilafah: Belajar dari Kisah Ali & Muawiyah

Konflik, Perang, hingga Kejatuhan Khilafah: Belajar dari Kisah Ali & Muawiyah

- in Narasi
163
0
Konflik, Perang, hingga Kejatuhan Khilafah: Belajar dari Kisah Ali & Muawiyah

Kisah bermula ketika Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib berencana memecat Muawiyah yang saat itu menjadi gubernur di Syam. Sebagai pemegang kuasa tertinggi, Ali tentu memiliki wewenang untuk menentukan siapa yang akan menjadi pembantunya dalam hal administrasi di daerah-daerah.

Tetapi Muawiyah menolak. Muawiyah justru balik mendesak agar Ali mengusut kasus pembunuhan Utsman dengan mengalungkan baju Utsman di mimbar masjid Damaskus dan mengajak para pendukungnya untuk meminta diprosesnya kasus itu. Aksi ini memicu gejolak di negeri Syam hingga orang-orang dari kabilah Kalb di Syam bersumpah untuk melaksanakan aksi balas dendam atas kematian Utsman.

Kedua belah pihak memiliki argumentasi masing-masing dalam menyampaikan kepentingannya. Ali menegaskan bahwa dia adalah pemimpin yang harus ditaati. Ali menjadi pilihan mereka dan oleh karena itu menjadi wajib bagi Muawiyah untuk taat kepadanya. Sedangkan argumen dari Muawiyah adalah bahwa walaupun Ali tidak ikut membunuh Utsman, akan tetapi ia dianggap telah melindungi pembunuh Utsman karena tidak mengusut kasusnya. Muawiyah tidak rela kecuali dengan menyerahkan para pembunuh sepupu jauhnya itu.

Mengutip dari bukuSejarah Dinasti Umawiyah (2007), Muawiyah juga menuntut Ali untuk mengundurkan diri dari jabatan khalifah dan melepaskan diri dari urusan umat. Dalam kasus investigasi kasus Utsman, sebuah riwayat menyebut jika kelompok Muawiyah menginginkan adanya penetapan bahwa Utsman dibunuh secara zalim sehingga harus ditebus darahnya. Sedangkan Ali tetap bersiteguh bahwa dia-lah yang berhak menjadi khalifah tanpa ada yang menentangnya, dan membiarkan urusan para pembunuh Utsman diserahkan kepada Allah.

Imam Ghazali berpendapat bahwa alasan Muawiyah untuk meminta tebusan darah Utsman dengan secepatnya adalah bahwa jika perkara Utsman diabaikan atau ditunda-tunda maka akan terjadi tindak pidana yang lebih besar lagi karena akan menjadi contoh bagi umat untuk bertindak sewenang-wenang kepada pemimpin-pemimpin mereka dan akan membuat mereka berani menumpahkan darah.

“Perang dingin” tersebut terus mengalami eskalasi. Pada akhirnya, kedua pihak yang sudah tidak bisa bersatu sepakat untuk menggunakan cara peperangan untuk menyelesaikan masalah. Meskipun keduanya tetap merasa bersalah karena akan mengorbankan umat Islam yang mereka cintai.

Peperangan itu mula-mula dimulai dengan beberapa orang saja dengan menggunakan satu kabilah, akan tetapi hal itu tidak mampu menyelesaikan masalah hingga mereka terpaksa harus saling menyerbu dengan menggunakan semua pasukan. Pasukan Ali seperti yang diriwayatkan, berangkat dengan sekitar 50 ribu hingga seratus ribu pasukan, sedangkan tentara Muawiyah berangkat dengan 70 ribu pasukan. Pertempuran itu kemudian dikenal dalam sejarah dengan nama Perang Shiffin.

Pertempuran itu menurut riwayat telah menelan korban sebayak 70 ribu jiwa. Ini merupakan angka yang sangat besar, karena pertempuran berlangsung tidak lebih dari dua hari. Pertempuran tersebut memang sangat dahsyat dan belum pernah terjadi dalam Islam sebelumnya. Kekuatan kedua pasukan relatif imbang. Pasukan Muawiyah mula-mula mampu memenangkan medan perang, namun keadaan itu berbalik ketika komandan pasukan Ali, Asytar an-Nakha’i berhasil menguasi dengan tentaranya.

Pakar sejarah Islam Yusuf al-Isy mengatakan, ketika pasukan Ali hampir saja memenangkan pertempuran, Amru bin Ash menasehati Muawiyah untuk mengangkat mushaf di atas tombak-tombak mereka dan meminta perselisihan itu diselesaikan dengan kitab Allah. Usulan Amru bin Ash ini kemudian dikenal dalam sejarah Islam sebagai ‘Peristiwa Tahkim’.

Pihak Ali mula-mula menganggap itu sebagai tipu daya dari Muawiyah, namun paraQurro’ dan ahli ibadah takut karena seakan mengingkari Alquran sebagai hukum jika mengabaikan ajakan Muawiyah. Mereka lalu menemui Ali untuk meminta supaya sang khalifah menerima penghukuman dengan Al-Qur’an tersebut.

Hasil dari perundingan (tahkim) memutuskan bahwa Utsman dibunuh secara zhalim, dan perselisihan harus dihentikan dengan cara menurunkan Ali dan menyerahkan khilafah kepada permusyawaratan umat Muslim. Ali bin Abi Thalib melihat hasil ini dan dengan sangat terpaksa menerimanya.

Meskipun banyak sahabat, terutama dari pihak Ali, berselisih tentang validitas tahkim tersebut, karena hasil perundingan itu tidak tertulis dan dipersaksikan, namun peristiwa tahkim tersebut menjadi satu gejala runtuhnya dinasti Khulafaur Rasyidin.

Perundingan tahkim tersebut melahirkan sosok bernama Abdurrahman bin Muljam yang kecewa karena sang khalifah sudah berani memutuskan dan menerima hukum berdasarkan keputusan akal manusia. Ia kemudian menebas Ali dengan pedang beracun saat hendak mengimami salat subuh berjamaah pada 19 Ramadhan 49 H. Tebasan itu yang kemudian mengakhiri era kepemimpinan Khulafaur Rasyidin.

Tragedi berdarah ini adalah catatan kelam yang tidak ditampakkan oleh kelompok-kelompok Islam pengusung khilafah. Faksi-faksi Islam ideologis-politis seperti HTI, Al-Qaeda, dan ISIS berusaha mengangkat narasi-narasi “khilafah” yang utopis, yaitu sistem pemerintahan yang berkeadilan dan egaliter. Mereka menutup mata bahwa sistem Khulafaur Rasyidin pun bisa runtuh akibat disintegrasi umat Islam itu sendiri. Bahkan sejak Dinasti Umayyah berdiri hingga kejatuhan Turki Utsmani, sejarah mencatat berbagai intrik politik hitam dan bagaimana perilaku penguasa Islam kepada rakyatnya.

Memang, keadilan, kesetaraan, dan sikap egaliter adalah substansi dari ajaran Islam. Memang, sejarah Khilafah Abbasiyah juga mencatat preseden luar biasa kesuksesan peradaban Islam lewat tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Khawarizmi, Al-Farabi, dan sebagainya. Namun, mimpi para pengusung khilafah modern tampak terlihat sebagai obsesi politis belaka, alih-alih berniat mengembalikan gemilang peradaban Islam. Lihat saja pendekatan kekerasan ala ISIS atau gaya eksklusif anti modernitas ala HTI. Keduanya bahkan tidak berupaya bersatu, meskipun memiliki visi “teologis” yang sama.

Akhirnya jika memang “khilafah” dapat terealisasi, masing-masing faksi akan berebut kursi puncak kuasa “khalifah” itu, sama halnya dengan yang terdahulu. Kurang politis apa lagi.

Facebook Comments