Dunia Islam Indonesia belakangan hari terakhir sedang agak bergemuruh. Pasalnya, Arab Saudi dan Republik Islam Iran sedang bersitegang gegara eksekusi mati ulama Syiah oposan Saudi yang disusul aksi penyerangan Kedubes Saudi di Teheran Iran. Meski sama-sama berada di negeri Teluk sana, pelan-pelan bara api yang sedang berkobar mulai merambat jauh ke Indonesia. Lho kok bisa?
Bumi Nusantara dikenal sebagai tempat paling ‘subur’ menanam benih-benih ideologi. Sejarah mencatat, di masa kerajaan dahulu benih feodalisme dipertahankan secara sistemik untuk memuluskan kolonialisasi berikut ideologi yang menyertainya. Dan tentunya, yang diuntungkan dari feodalisme-kolonialisme ala penjajah itu adalah bangsa ‘kulit putih’ dan sedikit bangsawan ‘sawo matang’.
Di masa kemerdekaan pun sama. Bangsa ini kembali jadi bancakan ideologi impor, komunisme dan non-komunisme. Komunisme secara sistemik pernah menjabar ajarannya di Republik ini. Bahkan di tahun 1955 (Pemilu Pertama RI), ideologi asal Uni Soviet ini digandrungi oleh sebagian besar publik Indonesia. Ia menempati urutan keempat (dibawah PNI, Masyumi, dan NU) dalam pesta demokrasi sejak masa kemerdekaan.
Geger PKI mencapai puncaknya pada 1965. Organisasi berlambang Palu Arit ini menjajal negara lewat upaya kudeta berdarah. Saat itu, di seluruh dunia memang sedang terpolarisasi dua kutub ideologi. Komunisme dan non-komunisme. Karena itu pula pilihannya hanya dua, bersekutu dan menjadi komunis atau pembasmi komunis.
Musnahnya kekuatan pendukung komunis di Indonesia pada gilirannya membuka peluang masuknya ideologi impor yang lain. Di masa orde baru, sejumlah peneliti menyebut bahwa ekonomi nasional mulai bertahap dihinggapi kapitalisme. Kapitalisme tak sendiri, ia dibantu oleh sejumlah nilai kebudayaan pendukung; seperti konsumerisme (lawan kesederhanaan) dan individualisme (lawan gotong royong). Masyarakat Indonesia konon mulai terpengaruh sikap kebarat-baratan (westernisasi).
Ternyata tak hanya isme-isme yang bermuara pada urusan perut (ekonomi) saja yang laku dijual di Indonesia. Sejak era 1980-an isme bertendensi keagamaan juga mulai menampakkan batang hidungnya. Isme bertendensi keagamaan itu pada level yang paling rendah berwujud pada fanatisme atau merasa menang sendiri. Sementara di level paling tinggi, isme itu bermetamorfosa menjadi aksi radikalisme, fundamentalisme, dan tentunya terorisme.
Bak api dalam sekam, permusuhan kedua negara teluk (Saudi – Iran) itu sebenarnya telah lama terjadi. Apalagi kedua negara tersebut membawa sekaligus mensponsori gerakan isme keagamaan. Sebagaimana diketahui Saudi adalah negara yang mengusung Wahabisme yang terkenal puritan yang menjadi dasar pemikiran para radikalis dan pelaku teror di seluruh dunia. Di Indonesia wajah Wahabisme berubah deface dengan nama Salafi. Ciri utama kelompok ini sama, yaitu merasa paling kaffah dalam berislam sekaligus kerap mengkafirkan dan membidahkan saudara seagama yang tidak berhaluan sama.
Sementara lawannya, Iran, adalah negeri dimana ideologi Syiah menjadi madzhab negara. Sebagaimana Saudi dengan Wahabisme-nya, Syiah juga mengusung sekaligus mensponsori penguatan isme keagamaannya dengan berupaya membentuk aliansi negeri-negeri Syiah di bekas kekuasaan kejayaan Kekaisaran Persia di masa lampau. Aliansi negara Syiah kini telah mengikutsertakan sejumlah negara yang terarabkan (al-Mu’arrabah) seperti Irak dan Suriah.
Dua isme keagamaan yang berbeda dan saling menyerang dan bertentangan yang dianut Saudi juga Iran itulah yang menjadi serupa bom waktu di teluk sana. Sewaktu-waktu bisa meledak, dan pasti dengan bumbu agama. Isu pertentangan Sunnah – Syiah menjadi jualan utama untuk memantik api yang lebih besar lagi. Tak terkecuali di Indonesia, isu Sunnah – Syiah pun seperti bensin yang mudah dibakar.
Dengan pendekatan pemahaman sebagaimana diurai di atas, tampaklah bahwa urusan konflik dua negara itu semata urusan politik dan sulit dikatakan terkait dengan agama (Islam), apalagi Indonesia. Gegeran urusan konflik Saudi – Iran yang diikuti oleh sebagian kecil masyarakat Indonesia tak lain hanyalah upaya propaganda untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat Muslim di tanah air. Upaya menyulut bensin tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di seluruh negara-negara berpenduduk Muslim yang lain. Seakan ideologi mereka itu ingin memaksa umat Islam di seluruh dunia bergabung dalam konfil tersebut, di sana atau di sini.
Ironisnya, konflik tersebut dijual ke dalam negeri (impor) dalam wujud konflik Sunnah – Syiah. Wahabisme wa aaluhu wa ashhaabuhu (beserta para kroninya) dengan sangat percaya diri mengaku-ngaku Sunni (Ahlussunnah) dalam memerangi Syiah (Iran). Padahal, konsep sunni sejati adalah konsep masyarakat Muslim yang berpegang pada prinsip jalan kenabian dan menjaga persatuan umat Islam karena itulah disebut Ahlussunah wal Jama’ah (bukan Ahlussunah saja).
Tentu saja Ahlussunah wal Jama’ah dan Syiah berbeda pandangan dan saling ‘menyerang’. Namun, serangan itu bukan dalam bentuk konflik fisik seperti yang tengah terjadi belakangan ini. Sejak dulu, para ulama Sunni (yang sejati, Ahlussunah wal Jama’ah) berpolemik terhadap Syiah dan saling mematahkan argumen pemikiran. Mereka beradu pandang dan argumentasi, bukan beradu otot dan senjata. Sunni – Syiah yang demikian itu sesungguhnya tengah meretas dialog dan jalan damai dengan mengedepankan titik-titik persamaan.
Cara berfikir secara kompeherensif di atas itulah yang menurut saya semestinya menjadi cara pikir Muslim di Nusantara. Dengan cara berfikir itu, kaum Muslim tidak mudah terprovokasi dan menngetahui persis duduk persoalannya. Jualan agama seperti menggemborkan konflik Sunnah – Syiah dalam kasus Saudi vs Iran ternyata sangat tidak relevan. Muslim Nusantara tak boleh terjebak pada urusan yang ia tidak ketahui dan tidak bermanfaat bagi agama dan bangsanya. Semoga!