“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”.
Hadits riwayat Imam Ahmad dan Abu Daud di atas sering dipakai untuk mengharamkan segala bentuk aktifitas yang bersentuhan dengan non muslim seperti ucapan Selamat Natal, Selamat Tahun Baru, Selamat Imlek dan lain-lain.
Pemaknaan hadits ini seringkali ditelan mentah-mentah. Pemaknaan yang apa adanya terhadap hadits tersebut menimbulkan asumsi, bahwa semua sistem atau nilai apapun yang berasal dari kelompok di luar Islam akan selalu diasumsikan jelek, dilarang dan haram, serta dapat merusak keimanan. Sehingga melakukan aktifitas seperti aktifitas non muslim dianggap praktik “menyetujui” dan “mengimani” terhadap akidah mereka.
Tak ayal, tuduhan sesat dan kafir menggema nyaring dialamatkan kepada muslim yang sekadar untuk menghormati tetangga, kolega dan teman sejawat, mengucapkan selamat Natal, tahun baru dan Selamat Imlek.
Supaya menjadi jernih, maka penting mengetahui the reason behind hadits “Man tsyabbaha bi qoumin fahuwa minhum”, barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.
Namun sebelum menelusuri setting historis atau sababul wurud hadits di atas, ada baiknya kita menyimak hadits lain riwayat Imam Abu Daud: “Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka shalat tidak pakai sandal dan sepatu”. Kalau konteks turunnya hadits ini tidak kita pahami, maka sampai sekarang ketika shalat harus memakai sandal atau sepatu. Tapi itu tidak mungkin karena kondisi saat ini berbeda dengan kondisi dimana hadits itu disabdakan.
Kembali pada hadits “Tasyabbuh bil Kuffar” atau menyerupai orang kafir. Kemunculan hadits ini dilatari karena pada saat itu, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai penanda pembeda identitas antara muslim dan non muslim.
Apa sebabnya? Kelompok muslim dan kelompok non muslim pada saat itu sama-sama orang Arab. Keduanya memiliki ciri yang sama. Pakaian, bahasa dan tradisi mereka sama. Karena itu, dibutuhkan identitas pembeda antara muslim dan non muslim.
Identitas pembeda menjadi sangat penting kala itu karena alasan loyalitas. Jamak terjadi pada masa Nabi di pagi hari seseorang menyatakan Islam dan bersyahadat, tapi di sore hari orang itu kembali kepada komunitas semula alias kafir kembali. Sementara waktu itu muslim dalam tekanan luar biasa sehingga kerahasiaan strategi dakwah sangat dijaga.
Dalam situasi seperti itu, diantara hukum yang dikeluarkan oleh Rasulullah adalah hukuman mati untuk orang murtad. Sebab orang murtad waktu itu membahayakan terhadap keselamatan umat Islam. Orang murtad berbahaya karena bisa menjual informasi situasi orang muslim terhadap orang kafir. Sehingga membahayakan terhadap agama (hifdzud Din) dan mengancam jiwa umat Islam (hifdzun nafsi).
Untuk menjaga loyalitas internal umat Islam Nabi membuat satu cara dengan identitas pembeda. Beliau melarang umat Islam menyerupai Yahudi, Nasrani, musyrik dan Majusi. Maka beliau mengeluarkan aturan “Man tsyabbaha bi qoumin fahuwa minhum”.
Identitas muslim harus berbeda dengan non muslim mulai dari warna pakaian, sepatu, sandal, jenggot dan kumis. Mengokohkan identitas pada lingkungan terbatas seperti saat sangat penting untuk mengantisipasi akibat krusial bagi umat Islam.
Saat ini, umat Islam tidak lagi hidup dalam lingkungan dan komunitas terbatas seperti pada saat itu. Kondisi dan situasi telah berubah. Keimanan dan keislaman tidak akan berkurang kualitasnya sekalipun tanpa identitas pembeda.
Saat ini, identitas pembeda antara muslim dan muslim adalah pada tataran mengaplikasikan nilai-nilai ajaran Islam yakni akhlak terpuji. Dalam komunitas bangsa yang plural seperti di Indonesia, akhlak terpuji ditampilkan dengan sikap menghormati dan menghargai segala perbedaan serta menjalin silaturahmi kebangsaan untuk mewujudkan persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah insaniyyah).
Kita tarik pada kondisi yang berkembang saat ini, seperti mengucapkan selamat Natal, Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Imlek dan seterusnya, yang dianggap “tasyabbuh bil kuffar”. Tentu, kalau memahami setting historis haditsnya, sama sekali tidak menyentuh pada ranah akidah. Tegas kata, semua itu tidak akan sampai menggerus keimanan, justru dapat memupuk persaudaraan dan terwujudnya perdamaian.
Bagaimana Status Hadits Tasyabbuh bil Kuffar?
Hadits tersebut tidak diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Karenanya, secara sanad statusnya diperselisihkan. Sebagian menilai hadits itu hasan, sebagian yang lain menilai dhaif. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan mungkar, Imam Nasa’i mengatakan dhaif.
Ragam penilaian terhadap status hadits itu karena ada cacat pada perawi yang bernama Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban. Hadits melalui jalur periwayatannya dinilai tidak valid.
Seperti ditulis oleh Imam al Dzahabi dalam Siyar A’lam al Nubala’, menurut Imam Nasa’i, Abdurrahman bin Tsabit bin Tsauban tidak Tsiqah, Ahmad bin Hanbal mengatakan haditsnya mungkar, Yahya bin Ma’in mengatakan tidak mengapa haditsnya di tulis dan Ibnu ‘Adi mengatakan haditsnya tidak mengapa ditulis sekalipun dhaif.
Dikatakan oleh Ibnu Hajar al ‘Atsqalani dalam Fathul Bari, ia jujur namun sering keliru dan pada usia senjanya hapalannya banyak berubah. Sehingga Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan hadits yang bersumber darinya adalah mungkar.
Rasulullah sendiri dalam beberapa hal menyerupai non muslim. Seperti cara beliau menyisir rambut. Dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnu Abbas, mulanya Rasulullah menyisir rambut ke arah depan sampai kening, sementara kaum musyrik menyisir rambut belah dua; ke kiri dan ke kanan. Ahlul kitab menyisir rambut ke arah kening sama dengan model Rasulullah. Namun belakangan, beliau menyisir rambut ke arah kanan dan kiri mirip kaum musyrik.
Bukti lain Rasulullah tidak menolak semua aktifitas non muslim adalah praktik puasa Asyura. Beliau menyaksikan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya. Kemudian Nabi Musa berpuasa pada hari itu sebagi wujud syukur kepada Allah. Orang-orang Yahudi mentradisikan berpuasa pada hari Asyura. Nabi berkata: “Aku lebih berhak terhadap Musa dari pada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu”.
Lalu, apakah kita berani mengatakan Nabi tasyabbuh bil kuffar dalam hal menyisir rambut dan puasa hari Asyura? Tentu tidak. Maka, ada satu hal yang harus dipahami, bahwa memahami hadits secara apa adanya berakibat pada kesalahan mendasar.
Karenanya, dalam hal-hal yang bisa mengejawantahkan kebaikan, seperti meniru sistem pendidikan non muslim yang lebih maju, mengucapkan selamat Natal, tahun baru Masehi, Imlek dengan niat menghormati dan menjalin hubungan persaudaraan yang lebih baik, tentu lepas dari konteks hadits tasyabbuh bil kuffar. Ini andaikan hadits itu statusnya shahih. Apalagi kalau statusnya diperselisihkan oleh para ulama hadits.
Kesimpulannya, pembacaan terhadap setting historis suatu hadits untuk mengetahui ‘the reason behind the hadits’ sangat penting supaya tidak keliru memaknai suatu teks agama sebab akibatnya sangat fatal. Tuduhan kafir, sesat dan bid’ah berangkat dari kekeliruan tersebut.
Jangan karena ada hadits Nabi: “Berbedalah kalian dengan Yahudi, karena mereka shalat tidak pakai sandal dan sepatu”, lalu kita shalat pakai sandal atau sepatu pada masa kini. Karena sebagaimana dimaklum, pada zaman itu masjid tidak memakai lantai seperti saat ini. Pun, hadits tasyabbuh bil kuffar konteksnya sangat berbeda dengan kondisi saat ini.