Kontekstualisasi Kurban di Tengah Pandemi

Kontekstualisasi Kurban di Tengah Pandemi

- in Narasi
172
0
Kontekstualisasi Kurban di Tengah Pandemi

Hari raya Idul Adha dikenal pula dengan hari raya kurban karena ada ibadah kurban yang dianjurkan dilaksanakan pada hari tersebut. Di Hari berbahagia itu, umat saling berbaur dalam solidaritas keimanan. Berbagi rasa dan empati untuk mengorbankan ego masing-masing.

Mesikpun dalam kondisi saat ini sedang lama kondisi pandemi, tetapi kemeriahan itu tidak akan mengurangi makna dari ibadah kurban. Umat Islam justru bisa memanfaatkan momentum ini untuk menggali makna yang tepat di tengah pandemi.

Ibadah kurban dalam prakteknya bukan sekedar kerelaan untuk mengeluarkan harta. Kurban adalah ibadah yang menguji ketaatan dan kepedulian. Inilah sebenarnya makna esensial yang harus dipetik dari ibadah ini.

Ibadah kurban berawal dari ujian ketaatan dari Allah kepada Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyembelih putranya (Ismail) lewat mimpi. Tepat saat Ismail akan disembelih, Allah menggantinya dengan domba.

Dijelaskan dalam surat Ash Shaaffaat ayat 102-107: “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim!. sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

Kurban adalah Ketaatan

Penyembelihan merupakan simbol ketaatan hamba pada Tuhannya. Hampir menjadi tradisi dalam agama-agama, tradisi penyembelihan dan pengorbanan adalah bentuk ketaatan. Perintah berkurban sudah ada pada zamannya Nabi Adam. Putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil saat itu di perintahkan Allah untuk berkurban sebagai bentuk ketaatan kepadaNya.

Allah berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 27:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Artinya: “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.

Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa kurban yang diterima Allah SWT adalah yang didasarkan atas keihlasan dan ketaqwaan kepada-Nya, yaitu qurban Habil yang berupa seekor domba yang besar dan bagus. Sementara qurban Qabil ditolak karena ia mempersembahkan hasil penennya dengan kualitas terburuk untuk dikurbankan.

Peristiwa kurban yang dilakukan dua bersaudara ini merupakan solusi dari polemik yang terjadi dalam keinginan mereka yang sama-sama ingin mempersunting saudara kembar Habil yakni Iklimah sebagai pasangan hidup. Qabil yang tidak menerima kekalahannya, lantas memutuskan untuk membunuh Habil. Peristiwa ini adalah awal kali terjadinya pembunuhan dalam sejarah umat manusia.

Menyembelih Ego

Penyembelihan hewan kurban adalah simbol dari penyembelihan sifat kebinatangan yang ada pada diri manusia. Menyembelih hawa nafsu binatang yang membelenggu pada diri, nafsu serakah, sifat kikir, egois dan juga nafsu yang melakukan segala cara agar meraih apa yang diinginkan.

Sifat kebinatangan sanggup membuat seseorang menjadi radikal karena penuh rasa iri, dengki dan benci atas mahkluk yang tidak sejalan dengan pemikirannya, seperti dikisahkan Habil dan Qabil. Jika kita tidak mampu melawan hawa nafsu, jangankan orang lain, bahkan saudara kandungpun mampu di bunuh hanya untuk memuaskan hawa nafsu serta memenangkan apa yang ia inginkan.

Sedikitpun Allah tidak menghendaki daging ataupun darah dari umatnya. Allah hanya menginginkan ketaatan dan keiklasan untuk dirinya. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 37:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhoan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kalian lah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kalian agar kalian mengagungkan Allah atas hidayah-Nya kepada kalian. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al Hajj: ayat 37).

Dengan semangat berkurban semoga kita dapat menyembelih sifat bringas yang ada pada diri kita, mampu melawan diri dari ajakan setan melalui bisikan hawa nafsu untuk menumpuk harta dan kekuasaan dunia. Dengan menyembelih sifat buruk kita semoga kita mampu mewujudkan kebersamaan dan membebaskan negeri ini dari keterpurukan.

Facebook Comments