HAN 2021: Melindungi Anak dari Virus Radikalisme

HAN 2021: Melindungi Anak dari Virus Radikalisme

- in Narasi
1402
0
HAN 2021: Melindungi Anak dari Virus Radikalisme

Pada tanggal 23 Juli 2021, Indonesia merayakan Hari Anak Indonesia (HAN). Perayaan HAN tahun ini digelar secara virtual mengingat pandemi Covid-19 belum menunjukkan tanda-tanda mereda.

Berdasarkan keterangan dari situs Peringatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Republik Indonesia, HAN merupakan momentum penting untuk menggugah kepedulian dan partisipasi seluruh komponen bangsa Indonesia dalam menjamin pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

Tema yang diambil dalam perayaan HAN tahun 2021 ini adalah “Anak Terlindungi, Indonesia Maju.” Kemen PPPA mengambil tema tersebut karena anak Indonesia pada tahun ini mengalami berbagai persoalan akibat adanya pandemi Covid-19. Berbagai persoalan itu di antaranya seperti masalah pengasuhan bagi anak yang orang tuanya positif Covid-19, kurangnya kesempatan bermain dan belajar serta meningkatnya kasus kekerasan selama pandemi sebagai akibat diterapkannya kebijakan jaga jarak maupun belajar dan bekerja di rumah.

Virus Itu Bernama Radikalisme

Penulis melihat bahwa tema yang diambil pada HAN tahun ini sudah tepat. Hanya saja pemaknaan terhadap tema tersebut cakupannya perlu diperluas lagi. Bahwa selain virus Covid-19, negeri ini juga dilanda sebuah virus yang tak kalah mengerikannya. Virus itu bernama Radikalisme. Anak-anak Indonesia juga harus dilindungi dari virus keji itu.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa radikalisme sudah menjalar ke berbagai lini kehidupan bangsa ini. Tahun 2016, Setara Institute menemukan bahwa 35,7% siswa memiliki paham intoleran dalam tataran pikiran, 2,4% sudah intoleran dalam perkataan dan tindakan sementara sebanyak 0,3% berpotensi menjadi teroris.

Hasil yang sama juga ditemukan oleh Wahid Institute dan PPIM. Mereka bersepakat bahwa virus bernama radikalisme sudah masuk di sekolah-sekolah! Hal itu bukanlah karangan apalagi mengada-ada. Organisasi sayap pemuda dari Nahdlatul Ulama, GP Ansor pernah menemukan beberapa jilid buku pelajaran siswa Taman Kanak-kanak (TK) berjudul Anak Islam Suka Membaca yang mengajarkan radikalisme dan memuat kata-kata ‘jihad’, ‘bantai’, dan ‘bom’. Seperti disebutkan bbc.com, buku tersebut akhirnya ditarik dari peredaran karena adanya protes keras dari masyarakat.

Teroris Anak

Temuan Setara Institute yang mendeteksi bahwa ada anak Indonesia yang berpotensi jadi teroris akhirnya terbukti. Pada bulan Mei 2018, bom mengguncang tiga tempat di Surabaya, yakni di gereja, kantor polisi dan rumah susun di Surabaya dan Sidoarjo.

Teror bom di gereja digawangi oleh satu keluarga yang terdiri dari suami istri dan ketiga anaknya (dua anak laki-laki dan satu perempuan). Pun dengan bom di kantor polisi, dilakukan oleh satu keluarga suami istri dan ketiga anaknya. Satu tewas sementara dua masih bernyawa.

Pada bulan Juni 2019, Detasemen Khusus 88 Anti Teror (Kalteng) menangkap terduga teroris sebanyak 34 orang. Dan mereka sebagian besar anak-anak! Dua orang dewasa dinyatakan sebagai saksi.

Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebutkan bahwa dari tahun 2000 sampai tahun 2017, sebanyak 16 anak dan remaja terlibat dalam terorisme. Tentu, teroris anak bom Surabaya belum masuk hitungan itu. Tapi yang jelas bahwa virus bernama radikalisme mengancam anak-anak Indonesia.

Anak-anak Indonesia merupakan target cuci otak. Kalau sudah tercuci, anak-anak akan dijadikan bomber dalam aksi teror. Masalah itu menjadi persoalan serius yang harus segera di atasi bersama. Pada titik inilah urgensi pentingnya melindungi anak dari virus radikalisme.

Sejak Dini

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk melindungi anak dari virus radikalisme adalah mengajarkan pendidikan toleransi sejak dini. Pendidikan toleransi ini sudah sepatutnya diajarkan kepada anak, bahkan saat belum mengenal bangku sekolah. Ibarat sebuah vaksin, pendidikan toleransi akan mampu menangkal virus radikalisme

Ada berbagai cara yang bisa digunakan untuk menginjeksi vaksin toleransi ke dalam diri anak, misalnya dengan membacakan dongeng sebelum tidur. Orang-orang terdahulu memiliki cara yang unik untuk menanamkan budi pekerti, pesan moral dan nilai-nilai luhur. Mereka membacakan cerita atau dongeng kepada anak menjelang tidur.

Hal itu tidak bisa dilakukan sekali saja. Perlu diulang-ulang agar nilai-nilai toleransi menancap kuat dalam sanubari anak. Orang tua juga harus pandai mencarikan dongeng yang mengandung nilai-nilai toleransi kepada sesama. Seorang anak yang terbiasa dibacakan dongeng sebelum tidur, otaknya akan kritis dan logikanya jalan. Dua hal tersebut bisa menjadi bekal bagi anak dalam menangkal doktrin radikalisme.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan mengajak mereka jalan-jalan ke tempat ibadah agama lain. Ajak anak sekali-kali ke Gereja, Pura, Klenteng atau tempat ibadah agama lain. Tidak perlu masuk ke dalam, cukup di luar saja.

Tunjukkan kepada anak bahwa mereka yang sedang beribadah di Gereja juga saudara sebangsa setanah air. Bisikkan ke anak, bahwa persatuan itu indah. Dengan begitu, akan tertanam di otak mereka bahwa berbeda itu tidak masalah.

Kembali ke tema HAN tahun ini, jika anak Indonesia terlindungi, termasuk terlindungi dari virus radikalisme, Indonesia akan maju!

Ayo lindungi anak-anak Indonesia dari virus radikalisme!

Facebook Comments