Ramadan 1445 H telah memasuki pekan ketiga. Masjid-masjid ramai dengan orang iktikaf menjemput malam mulia: lailatulqadar. Keistimewaan malam seribu bulan itu mulai banyak dibahas dalam kultum—sebelum salat tarawih berlangsung. Namun, pada saat yang sama, beredar video seorang dai yang justru mengkritik kultum Ramadan itu sendiri. Kritik tersebut datang dari ustaz Wahabi, Badru Salam, di kanal YouTube Rodja TV.
Perlu digarisbawahi, Rodja TV merupakan kanal dakwah Wahabi Indonesia. Subscriber-nya lebih setengah juta, dan sudah banyak diangkat dalam riset-riset ilmiah tentang komunikasi dakwah Wahabi di tanah air. Karena itu, ceramah Badru Salam yang mengkritik kultum Ramadan bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Yang perlu ditanggapi justru narasi destruktif yang ada di baliknya, yakni propaganda bid’ah kaum Wahabi.
Mengapa bid’ah dipandang sebagai propaganda Wahabi? Jawabannya satu: karena dari situlah titik tolak Wahabisasi. Banyak umat Islam di Indonesia yang terjerumus ke jurang ke-Wahabi-an karena terpengaruh propaganda bid’ah. Dalam setiap dakwahnya, dai Wahabi fokus pada satu agenda: mengkritik dan menyalahkan praktik keislaman yang dianggap berbeda dan dituduhnya tidak sesuai ajaran sunnah.
Sebagai contoh, kultum Ramadan. Menurut Badru Salam, umat Islam di Indonesia salah kaprah dengan kultum karena Nabi tidak mengajarkannya. Ia bersikeras bahwa kultum itu bukan hanya tidak perlu, tetapi bahkan tidak boleh dipraktikkan—jika dijadikan kebiasaan malam-malam Ramadan. Naifnya, ia mengkritik kultum Ramadan pada saat ia juga tengah mengisi tausiah. Artinya, ia mengkritik dakwah sambil berdakwah. Benar-benar di luar nalar.
Bid’ah dan Mindset Eksklusivisme
Sebenarnya, jika Badru Salam mau bersikap arif dan rasional, sebagai ustaz, ia tidak perlu mengkritik gaya dakwah orang lain. Kultum Ramadan sama sekali tidak berisi tentang keburukan, melainkan pesan-pesan keimanan dan ketakwaan. Al-Qur’an memerintahkan orang beriman untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa (QS. al-Maidah [5]: 2), juga saling berwasiat tentang perkara hak (QS. al-‘Ashr [103]: 3).
Jadi, apa yang perlu dimasalahkan dari kultum Ramadan? Tidak ada. Masalah utamanya ada pada mindset eksklusivisme kaum Wahabi. Bagi mereka, kebaikan tidak ada gunanya sekalipun isinya tentang pesan takwa jika tidak ada dalam sunnah. Tetapi apakah Nabi tidak pernah berwasiat tentang ketakwaan? Justru Nabi selalu melakukannya. Namun, karena Nabi tidak pakai istilah “kultum”, maka Wahabi menganggapnya bid’ah.
Tuduhan semacam itu lahir nalar tekstualis-eksklusif yang irasional. “Kultum” adalah kearifan lokal, maka jelas tidak ada istilahnya di masa Nabi. Kendati begitu, secara substansial, kultum sama dengan tradisi Nabi yang selalu naik mimbar untuk mendakwahkan Islam terhadap para sahabat dan tabiin. Secara nomenklatur, kultum Ramadan memang tidak ada di masa Nabi. Tetapi apakah esensi kultum tersebut tidak ada dalam sunnah? Itu logical fallacy.
Mindset eksklusivisme itulah yang jadi katalisator propaganda bid’ah Wahabi. Para dainya seperti Badru Salam mencoba menggerus kultum Ramadan sebagai local wisdom dengan kedok ‘sunnah’. Alih-alih mengoptimalisasi Ramadan dengan ajaran kebaikan dan kerukunan, propaganda bid’ah justru mencoba mempolarisasi umat Islam. Tentu hal tersebut tidak dapat dibiarkan. Mindset eksklusivisme jangan sampai merongrong kearifan lokal.
Merawat Kearifan Lokal
Antara kultum Ramadan sebagai kearifan lokal dengan bid’ah sebagai propaganda Wahabi merupakan oposisi biner. Dikotomi tersebut mencakup kontestasi yang lebih luas dalam masyarakat, yang menghadirkan pelestarian nilai-nilai lokalitas dari serbuan pengaruh ideologi transnasional. Di Indonesia, proyek Wahabisasi telah berlangsung sejak lama sehingga jika dibiarkan, seiring waktu semua local wisdom akan tergerus.
Faktanya, selama Ramadan, kultum tidak sekadar memberikan petunjuk spiritual, tetapi juga memperkuat identitas kolektif dan persatuan sosial. Ia menjadi bukti dari kekayaan tradisi bangsa yang diwariskan dari generasi ke generasi dan mengejawantah sebagai religiositas bulan puasa. Sementara itu, propaganda bid’ah menawarkan keberislaman yang sempit dan eksklusif, mengabaikan konteks sosio-kultural Indonesia.
Dengan demikian, sebagai tugas moral kebangsaan, melindungi kearifan lokal dari ancaman propaganda Wahabi merupakan sesuatu yang niscaya. Daya tarik ideologi asing yang berupaya merusak struktur masyarakat dan lokalitas mesti ditanggulangi. Hal tersebut merupakan langkah kontra-propaganda, wujud kesiapsiagaan nasional terhadap degradasi wawasan keislaman dan kebangsaan di Indonesia.
Di bulan Ramadan ini, mari bersama perkuat komitmen untuk menjaga kearifan lokal—seperti kultum yang berlangsung setiap tarawih. Melalui kultum yang mencerminkan lokalitas, segala retorika Wahabi yang memecah-belah, seperti propaganda bid’ah, tidak menemukan momentumnya. Tentu tidak hanya kultum Ramadan: semua kearifan lokal merupakan musuh besar Wahabi. Karenanya, melawan propaganda Wahabi adalah bagian inheren dari merawat kearifan lokal itu sendiri.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…