I’tikaf Kebangsaan; Refleksi Lailatul Qadar bagi Individu, Umat, dan Bangsa

I’tikaf Kebangsaan; Refleksi Lailatul Qadar bagi Individu, Umat, dan Bangsa

- in Narasi
164
0

Lailatul Qadar menjadi malam yang dinantikan oleh seluruh umat Islam. Bagaimana tidak? Si Malam Lailatul Qadar, seluruh malaikat turun ke bumi untuk menebar Rahmat bagi umat Islam yang tengah menghabiskan sepuluh hari terakhir bukan Ramadan dengan amal salih.

Para ulama pun berbeda pandangan tentang kapan datangnya Lailatul Qadar ini. Ada sebagian ulama yang berkeyakinan Lailatul Qadar hanya turun di malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadan. Ada juga ulama yang meyakini bahwa Lailatul Qadar datang di sepuluh hari terakhir Ramadan.

Bahkan, ada ulama yang mencirikan Lailatul Qadar dengan tanda-tanda alam, misalnya langit cerah, tidak hujan dan tidak mendung, angin berhenti, suasana hening, dan paginya matahari bersinar cerah.

Namun, Gus Baha’ punya tafsiran yang lebih menarik tegang Lailatul Qadar. Menurutnya, umat Islam tidak usah hanyut dalam debat kapan Lailatul Qadar datang dan bagaimana meraihnya. Ia berperan agar umat Islam fokus saja beribadah dan menjalani kehidupan sehari-hari; misalnya bekerja mencari nafkah, mengurus rumah tangga, sekolah atau belajar dan sebagainya.

Menurut pakar Alquran tersebut, setiap muslim yang sejak awal Ramadan tidak meninggalkan puasa dan sholat pasti mendapatkan rahmat Allah. Jadi umat Islam tidak perlu risau apakah akan mendapat Lailatul Qadar atau tidak. Yang penting kita harus berbaik sangka pada Allah bahwa Ia akan memberikan ampunan dan rahmat untuk kita.

Ramadan dan Munculnya Gelombang Konservatisme Keaagamaan

Tafsiran Lailatul Qadar menurut Gus Baha’ itu terasa relevan dan kontekstual jika diterapkan dalam konteks Indonesia hari ini. Seperti kita lihat, belakangan ini lanskap keberagaman kita diwarnai oleh pandangan keagamaan yang cenderung eksklusif dan konservatif. Misalnya gencarnya labelisasi bidah terhadap ritual atau ekspresi keagamaan selama Ramadan yang dinilai tidak ada dalilnya dalam Islam.

Misalnya, ada seorang ustad kondang yang menyebut imsak itu tidak ada dalilnya di Islam dan hanya ada di Indonesia. Ustad yang sama juga menyoal kebiasaan umat Islam di Indonesia yang mengajarkan anak puasa setengah hari. Menurutnya, tradisi itu tidak ada syariatnya dalam Islam. Ada luka penceramah yang menuding peringatan Nuzulul Qur’an bahkan kebiasaan kultum sebelum taraweh itu sebagai bidah.

Pandangan keagamaan yang demikian itu cenderung memecah belah umat dan bangsa. Kita tentu memahami bahwa ekspresi keberislaman ala masyarakat Nusantara cenderung memiliki banyak perbedaan dengan tradisi Islam di Timur Tengah.

Islam di Indonesia mengalami akulturasi dengan kearifan lokal yang kaya. Namun, akulturasi itu tidak serta merta menjurus pada sinkretisme alias pencampuradukan ajaran agama dengan budaya.

Akulturasi agama dan budaya adalah proses pertemuan antara ajaran agama di satu sisi dan tradisi lokal di sisi lain yang memperkaya khazanah keagamaan dan kebudayaan itu sendiri. Akulturasi adalah strategi kultural yang dipakai para penyebar Islam awal di Nusantara. Maka, ekspresi keislaman ala Nusantara yang berkembang saat ini di Indonesia tidak selalu harus dijustifikasi dengan label bidah, melanggar syariah, kafir, dan sejenisnya.

Lailatul Qadar dan Momentum I’tikaf Kebangsaan

Momen sepuluh hari terakhir Ramadan, dimana umat Islam sibuk berburu Lailatul Qadar kiranya bisa menjadi semacam pengingat agar kita lebih bijak dalam beragama. Berislam tidak cukup dengan hanya bersandar pada teks tertulis saja. Melainkan juga membutuhkan ijtihad yang bertumpu pada rasio atau akal. Lebih penting dari itu, beragama membutuhkan kebijaksanaan (wisdom).

Jika kita kembali pada tafsir Gus Baha’ tentang hakikat Lailatul Qadar; kapan turunnya dan bagaimana meraihnya atau siapa yang berhak mendapatkannya, maka kita bisa menyimpulkan bahwa hakikat berislam itu adalah kebijaksanaan. Bijaksana untuk tidak mengklaim diri sebagai paling suci dan paling berhak mendapat rahmat Allah. Serta bijaksana untuk tidak menuding orang lain sebagai pelaku bidah, pelanggar syariah, atau kafir.

Momen sepuluh hari terkahir bukan Ramadan ini biasanya diisi dengan ritual i’tikaf. Yakni menarik diri dari hiruk pikuk dunia, berdiam di masjid dengan melakukan ibadah. I’tikaf sebagai harfiah memang berdiam diri di masjid dengan melaksanakan ibadah. Namun, dalam pemaknaan yang lebih luas, i’tikaf juga bisa diartikan sebagai momentum melakukan Interospeksi dan refleksi atas apa yang sudah terjadi di masa lalu dan apa yang akan dilakukan di masa depan.

I’tikaf penting tidak hanya bagi Individu, namun juga bagi umat Islam bahkan bagi bangsa Indonesia. Bagi individu, i’tikaf adalah momentum merefresh hati dan pikiran dari unsur negatif karena seringnya kita berjibaku dengan urusan duniawi. Bagi umat Islam i’tikaf adalah ikhtiar memperkuat ukhuwah keislamanan. Sedangkan dalam konteks kebangsaan, i’tikaf adalah sarana memperkuat harmoni sosial dan keberagamaan demi terjaganya kerukunan dan persatuan bangsa.

Arkian, momen Lailatul Qadar yang datang di 10 malam terakhir Ramadan kiranya tidak hanya dimaknai sldalam dimensi spiritual saja. Lailatul Qadar kiranya juga harus dimaknai dari owesowkit sosial-kebangsaan. Sebagai bangsa yang majemuk, Lailatul Qadar idealnya dimaknai ke dalam perilaku beragama yang toleran, inklusif, dan moderat.

Facebook Comments