Islamic state in iraq and suriah atau yang sering kita dengar dengan sebutan ISIS memang menjadi obrolan yang sangat signifikan diberbagai element masyarakat baik kalangan lapisan bawah sampai atas. Ini tidak berlebihan lantaran kegaduhan-kegaduhan yang selama ini di lakukan ISIS dalam menyebar teror dan ancaman di Timur Tengah khususnya dan jaringan diberbagai negara pada umumnya.
Sebenarnya masih terdapat beberapa pertanyaan kritis siapa sebenarnya dalang ISIS yang sesungguhnya. ISIS memang benar adanya dan sekarang dinyatakan sudah lumpuh total. Akan tetapi sambungan-sambungan doktrin ideologinya tak ada yang menjamin sudah mati dan terkubur.
Sebuah gerakan ideologi trans-nasional yang punya jaringan di berbagai negara sudah terlalu masif menyemai doktrinya lalu berakar dan kemudian menumbuhkan bibit-bibit yang setiap saat pasti tumbuh dan membesar, kemudian berbuah lalu berbunga lagi dan begitupun seterusnya, tanpa ada yang berani mencabut atau mengontrol pertumbuhan doktrin ideologi tadi. Bukan tidak mungkin negara Indonesia menjadi bidikan utama lalu menjadi sarang gerakan idelogi kekerasan seperti ISIS atau sejenisnya.
Perlu digaris bawahi bahwasannya tidak serta merta teror yang terjadi dan membuat resah masyarakat kita selama terjadi dan muncul secara tiba-tiba. Kesemuanya sudah terorgansir secara rapi dan sistematis. Terhitung sejak 2016 sampai saat ini, sebanyak 7 bahkan lebih aksi teror dengan berbagai motif terjadi di Indonesia. 14 januari 2016 tragedi meledaknya bom thamrin yang merenggut hingga 8 nyawa sampai yang terakhir pada 13 mei 2018 kemarin. Bom meledak disebuah gereja di kota Surabaya dan perumahan warga didaerah Sidoarjo. Menjadi bahan evaluasi dan tindakan bersama guna meminimalisir gerakan teroris tersebut.
Langkah-langkah Preventif dan Taktis
Mencegah tersebarnya ideologi ISIS dan semacamnya bukan suatu kemustahilan juga tidak segampang membalikkan telapak tangan. Semua lapisan masyarakat harus tau dan paham dampak dari ideologi ini sehingga perlu adanya (collective movement) atau “gerakan bersama” melawan ideologi kekerasan atas nama apapun. Sehingga tidak selesai pada hilirnya tetapi juga hulu dari pada ideologi kekerasan tersebut. Atas dasar paparan-paran diatas, beberapa langkah pencegahan yang taktis guna menanggulangi ideologi kekerasan yang di tawarkan penulis adalah sebagai berikut:
Pertama: Membentuk Mind Set Sejak Dini.
Pola pikir atau “mind set” menjadi hal yang fundamental dalam rangka menyuarakan anti pati terhadap ideologi kekerasan. Dalam ranah ini, Dunia pendidikan kitalah yang menjadi objek. Di mana kita bisa menilai sejauh mana peran dan fungsi lembaga pendidikan sebagai instrumen pencegah masuknya ideologi kekerasan. Pendidikan Mulai sejak PAUD sampai ke perguruan tinggi harus di desain dengan beragam corak dan warna dalam mengkampanyekan anti ideologi kekerasan.
Baca juga :Tinjuan Neurosains: Mencegah Propaganda dan Idiologisasi ISIS Pasca Kehacurannya
Mereview ulang bahan ajar di pergantian tahun ajaran baru dari dis-informasi dan miss-komunikasi menjadi hal yang penting. Kita tahu bersama, bahwa belum lama ini ada beberapa soal uijian di kabupaten gresik yang menggegerkan khalayak karena redaksi soal yang di rasa sangat konyol. Betapa tidak, bahwa memasukkan salah satu ormas besar Islam yaitu NU di indonesia sebagai organisasi yang di larang pemerintah. Ternyata setelah diklarifikasi. Ternyata ada kesalahan dari si pembuat soal. Ini menjadi evaluasi betapa kurang maksimalnya lembaga pendidikan kita dalam mendesain pendidikan yang baik dan berintegritas. Alih-alih menjadi lebih baik, bahkan pendidikan yang seharusnya menjadi senjata awal dalam menghalau gerakan ideologi ini, bisa jadi malah menjadi senjata makan tuan karena kurangnya persiapan mematangkan bahan ajar dan lainnya.
Kedua: Pemberdayaan Komunitas, ORMAS dan LSM.
Tidak kita pungkiri bahwa indonesia adalah negara kepulauan. Artinya berdasarkan label geografis tersebut. Tingkat heterogenitas masyarakat sangatlah signifikan dan kentara. Dalam hal mencegah ideologi kekerasan pasca runtuhnya ISIS. Pemberdayaan terhadap ORMAS dan sebagainya ini sangatlah perlu di maksimalkan.
Percuma kalau pemerintah pusat menggebu-gebu dalam upaya pencegahan ideologi kekerasan sementara koordinasi dan instruksi dengan berbagai organisasi dan komunitas ini kurang dimaksimalkan. Memberikan seminar-seminar ke masyarakat, mengadakan tempat-tempat penyuluhan bagi eks mantan anggota jaringan teroris dang gerakan radikal lainnya. Pemberdayaan ini sangatlah perlu dalam rangka “Menjemput bola” secara langsung kepada masyarakat.
Ketiga: Memaksimalkan “Counter” Lewat Media Sosial Baik On-Line Maupun Cetak
Dengan jumlah Penduduk indonesia yang sebanyak sekarang, kurang lebih 40% dari jumlah tersebut bisa dipastikan meengoperasikan smartphone. Selain balita dan juga Manula yang belum dan sudah tidak bisa lagi. Ototomatis konsumsi informasi mengguyur deras pada tingkatan anak-anak sampai dewasa. Kampanye di media on-line maupun cetak ini bertujuan untuk menetralisir informasi yang ngawur dan terkesan provokatif.
Kita tahu bersama bahwasanya para teroris dalam rangka menebar teror ancaman juga memanfaatkan media sosial ini. Upaya para teroris yang sedemikian rupa harus segera di counter dan di netralisir. Baru-baru pasca penembakan massal di negara selandia baru. Tak lama berselang dunia di hebohkan dengan video yang seakan-akan peristiwa berdarah itu memang sengaja di siapkan dan di agendakan serapi mungkin. Berdasarkan pengalaman itu. Media-media online harus sigap menangkal hal-hal seperti itu. Misalnya dengan menghapus video atau memblokir siapa saja yang menyebarkan video.
Keempat: Membentuk Gerakan Nasional Anti Ideologi Kekerasan
Ketiga gerakan sebelumnya tidak akan berjalan sukses tanpa adanya gerakan nasional yang dilegitimasi pemerintah sebagai gerakan bersama melawan aksi kekerasan, Gerakan Ini adalah Gabungan semua element Bangsa indonesia yang dengan sadar dan sekuat tenaga untuk menangkal aksi kekerasan.
Kita semua sudah tau bahwa ada beberapa faktor baik nasional dan trans-nasional yang memantik munculnya ideologi-ideologi kekerasan. Faktor politik,ekonomi,agama dan budaya menjadi faktor yang perlu di sorot dan lebih di perhatikan. Untuk itu jika pemerintah sudah mengangkat bendera perang berupa legitimasi gerakan nasional anti ideologi kekerasan ini. Maka sedikit banyak akan mengurangi egoisme tensi empat faktor di atas karena empat faktor diatas yang di rasa paling rawan dalam mendongkrak munculnya gerakan-gerakan ideologi kekerasan dan gerakan nasional anti ideologi kekerasan yang terlegitimasi akan menyuarakan bahwa kita semua dalam rangkulan bumi pertiwi yaitu Negara Keasatuan Republik Indonesia.