Tantangan menjadi muslim Indonesia terasa berat dewasa ini, apalagi pasca-demo 4/11. Perbedaan yang sejatinya menjadi rahmat, berujung pada kutukan. Hanya karena berbeda pendapat soal suatu perkara, misal yang paling aktual, dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaya Purnama (BTP), meruntuhkan sendi-sendi toleransi. Setiap orang yang memiliki pandangan berbeda dengan mainstrem, langsung distempel liberal, pro-Ahok, pengikut Syiah, dan lain sebagainya.
Di sini, logika pokoke (pokoknya) dimainkan, yang seolah mengharuskan pendapat orang lain harus sejalan dengan keyakinannya. Tokoh sekaliber Buya Syafii Maarif menjadi korban dari logika pokoke ini berupa penistaan, bully, penuh caci-maki, yang ironisnya dilontarkan oleh sebagian kalangan dari komunitasnya sendiri. Yusuf Mansur, seorang ustadz yang dibesarkan oleh industri televisi, konon sempat sedih serta marah saat tahu Nusron Wahid berbicara meledak-ledak dengan mata melotot di layar kaca dan itu dianggapnya tidak etis kerena berhadapan dengan para ulama.
Namun kini, di mana suara Yusuf Mansur dan ustadz-ustadz lain yang sehaluan dengannya, saat tahu Buya Syafii (seorang ahli sejarah, mantan Ketua PP. Muhammadiyah, penulis produktif studi Islam) dihina oleh orang yang baru baligh dalam beragama, bukankah hal itu jauh lebih parah dibanding apa yang dilakukan oleh Nusron Wahid—meski sebenarnya “mata melotot” memang tabiat alias pembawaan aslinya?
Logika pokoke mempunyai implikasi negatif ke dalam harmoni sosial, sebab menganut paradigma truth claim, merasa diri paling benar, menutup kebenaran yang datang dari diri dan kelompoknya. Bahkan dalam batas-batas tertentu, mudah mengucapkan “kafir” kepada orang atau kelompok yang berbeda pandangan dengannya. Hal ini jelas mereka tidak punya kedewasaan dalam menghadapai realitas keragaman yang merupakan sunnatullah, sehingga justifikasi teologis kafir menjadi senjata pamungkas dan andalannya.
Muhammed Yunis, seorang pemikir Mesir, pernah menulis risalah berjudul al-Takfir bayna al-Din wa al-Siyasah, yang mengatakan bahwa tuduhan dan stigma kafir atas diri seorang adalah bentuk kejahatan terang-terangan terhadap HAM. Ia merupakan bagian dari ‘operasi besar’ perlawanan terhadap hak-hak individu di dalam masyarakat.
Logika pokoke merupakan paradigma eksklusivisme yang menutup ruang dialog. Eksklusivisme dalam beragama bisa menjadi sumbu pendek yang mendekati paham radikalisme. Kebenaran yang bersumber dari orang dan kelompok lain adalah ancaman, sehingga ia tertutup dan menjaga ketat kebenaran yang diyakininya. Dialog, kalau pun terjadi, hanya berlangsung sebentar, karena setelah itu dalam kondisi terdesak akan mengeluarkan jurus andalan, stereotip “kafir” dan padanan negatif lain kepada lawan bicara.
Begitulah realitas yang terjadi dalam kehidupan beragama di masa sekarang. Orang sangat mudah terprovokasi, saling fitnah, hasut, tebar berita-berita palsu yang dapat dijadikan pembenar atas apa yang diyakininya. Jikalau mencoba klarifikasi, dan mengkritiknya, selalu enggan menerima, dan itu wajar, karena ia telah dibius mati oleh logika pokoke pendapatnya yang pasti benar, titik!
Perhatikan pula pada kondisi aktual kebergamaan sekarang, terutama pasca-4/11. Mereka yang beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh BTP adalah menistakan agama, menginginkan langsung diciduk alias tangkap. Desakan ini bahkan konon disampaikan langsung kepada Jusuf Kalla saat perwakilan aksi demo 4/11 menemuinya di istana, tetapi wakil presiden menolak, karena harus melewati prosedur hukum.
Mengamati perkembangan situasi akhir-akhir ini, bukan mustahil, para pendemo akan menolak jikalau ternyata BTP dinyatakan tidak bersalah oleh hakim. Apa alasannya? Ya logika pokoke tadi. Pokoke Ahok salah, hukum, bahkan ada yang meneriakkan “bunuh”! Repot.