“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah, (itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum, ayat 30).
Firman Allah ini menjadi salah satu referensi ihwal makna fitri. Ayat ini menafsirkan makna fitri dengan dirinya sendiri, yakni fitrah adalah agama yang lurus, Islam atau tauhid. Fitrah inilah yang dianugerahkan kepada manusia. Di sini, manusia memang diciptakan menjadi pribadi fitri yang menebarkan kebahagiaan dan kedamaian. Walaupun, manusia seringkali tidak mengetahui, yang akhirnya terjerumus bertindak melampaui batas. Karena melampaui batas, manusia justru sering mengatasnamakan dirinya sebagai “pemilik agama” yang begitu mudah mengafirkan, bahkan sampai menghalalkan darah sesama.
Fitrah manusia yang diciptakan Allah adalah agama yang lurus. Imam Al-Qurthubi ketika menafsirkan ayat tersebut mengatakan, bahwa fitrah bermakna kesucian, yaitu kesucian jiwa dan rohani. Fitrah di sini adalah fitrah Allah yang ditetapkan kepada manusia, yaitu bahwa manusia sejak lahir dalam keadaan suci, dalam artian tidak mempunyai dosa. Sementara Ibnu Katsir mengartikan fitrah dengan mengakui ke-Esa-an Allah atau tauhid. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Katsir bahwa manusia sejak lahir telah membawa tauhid, atau paling tidak ia berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya, dan berusaha terus mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut. Sementara mufasir lain seperti al-Thabari mengatakan bahwa makna fitrah adalah murni atau al-ikhlâş, sebab manusia sejak lahir telah membawa berbagai sifat, salah satunya adalah kemurnian atau keikhlasan dalam menjalankan aktivitas. Pendapat ini didukung oleh Hamka, ia berkata bahwa fitrah adalah rasa asli murni dalam jiwa yang belum dimasuki pengaruh dari yang lainnya.
Kefitrian inilah titik tolak manusia bergerak melakukan deradikalisasi. Gerak radikalisme jelas sekali kehilangan makna fitri dalam Islam, karena justru Islam diletakkan dalam arena kontestasi menuju kepalsuan. Kepalsuan inilah titik tolak radikalisme, sehingga hadirnya idul fitri menjadi momentum manusia untuk mengukuhkan dirinya sebagai pribadi fitri yang teguh untuk menebarkan kedamaian dan kebajikan.
Pribadi fitri yang teguh menebarkan kedamaian inilah wujud transformasi dari taqwa. Menurut Yudi Latif (2007), takwa transformatif mengandung makna bahwa puasa memberikan energi besar dalam melakukan perubahan secara menyeluruh, baik vertical maupun horizontal. Yakni komitmen pribadi yang bertujuan mendidik dan membersihkan jiwa, mengangkat kekelaman batin manusia dan menyinarinya dengan sinar-sinar ketuhanan, menumbuhkan potensi dalam ruh serta menyiapkannya dalam rangkaian tajalli ilahi (pengejawantahan ketuhanan). Dan pemaknaan sosial sebagai sarana pendidikan ke arah nilai-nilai luhur dalam tata kehidupan kemasyarakatan.
Prinsip taqwa yang terbentuk pada orang yang berpuasa bermakna bahwa puasa mampu mencipta orang yang mampu melakukan perubahan sosial dan mampu mencerahkan kehidupan di masyarakat. Taqwa tidaklah milik orang itu saja, tetapi taqwa harus hadir dan memberikan kemanfataan kepada orang lain. Selama orang mengaku bertaqwa namuan tanpa memberikan kemanfataan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bagi orang lain, maka taqwanya itu non sense dan palsu. Taqwa palsu bukan hanya tidak mampu memberikan kemanfaatan, tetapi malah merusak tatanan masyarakat. karena taqwa palsu hanya dimiliki orang-orang yang berhati curang dan munafik.
Makna taqwa dalam transformasi sosial inilah yang tepat dioperasionalisasikan dalam agenda deradikalisasi. Momentum idul fitri menjadi sangat tepat melakukan proses transformasi makna fitri, sehingga keseharian masyarakat pasca lebaran mencerminkan nilai-nilai taqwa dalam perilaku sosial kemasyarakatan. Praktek kekerasan, bom bunuh diri, dan radikalisasi gerakan menjadi medan perjuangan manusia fitri untuk mentransformasikan ajaran agama dalam keseharian. Energi sebulan selama ramadan justru diuji secara nyata untuk meneguhkan diri sebagai sosok fitri yang siap berjuang membangun peradaban bangsa.
Sekali lagi, ketaqwaan transformatif akan sangat dibutuhkan, karena karakter muslim yang taqwa akan selalu menjadi pembaharu, pencerah kehidupan, dan penebar keharmonisan sosial.
Merekatkan Persaudaraan
Hiruk-pikuk masyarakat dalam idul fitri adalah saling memaafkan. Ini semua untuk merekatkan kembali persaudaraan. Walaupun gaya perayaan berbeda, tetapi spirit persaudaraan membuat masyarakat menggapai kemenangan: menang dengan menggapai kesucian. Prediket sosok yang suci yang digenggam umat Islam harus mampu dioperasionalisasikan dalam momen solidaritas sosial di tengah-tengah masyarakat. Sosok yang suci diharapkan mampu menemukan dirinya sendiri sebagai manusia sejati yang selalu memberikan kasih sayang, kedamaian, dan saling tolong antar sesama.
Kedalaman seorang Muslim dalam penghayatan agama sesungguhnya akan memberikan pemahaman yang sejati, yang menganggap dirinya dan orang lain sebagai makhluk Tuhan yang sama. Sehingga yang terjadi adalah sikap transhuman, kesadaran lintas kemanusiaan yang tidak tersekat dalam pemahaman primordial sempit serta menjungjung nilai keberagaman sebagai rahmat dari yang kuasa. Tidak lagi ada semacam “teologi keselamatan” dalam menentukan masa depannya, sehingga menganggap dan memberi orang lain kesempatan sama dalam menempuh kebenaran sejati.