Lebaran, Mudik, dan Transformasi Laku Nirkekerasan

Lebaran, Mudik, dan Transformasi Laku Nirkekerasan

- in Narasi
1236
0

Ramadan sudah kian mendekati penghujung bulan. Artinya Hari Raya Idul Fitri atau lebih dikelan sebagai Lebaran sudah kian dekat menjelang. Geliat ritual keagamaan terlihat semakin kental, misalnya pelaksanaan iktikaf, pembayaran zakat, persiapan Sholat Ied, dan lainnya. Dinamika sosial ekonomi juga semakin bervariasi dan mendominasi. Pasar dan pusat perbelanjaan kian dipadati warga yang akan mempersiapkan perayaan Lebaran. Arus mudik juga mulai mengalir membawa parantau kembali ke desa kelahirannya.

Mudik merupakan egenda ritus sosial sekaligus fenomena kultural yang rutin dan mendominasi dinamika nasional. Kementerian Perhubungan (2016) melaporkan jumlah pemudik pada Lebaran 2016 mencapai 25,6 juta orang dengan kenaikan sebesar 1,69 persen per tahun. Angka ini terus naik setiap tahun.

Banyak hikmah dapat dipetik dan dioptimalkan dalam agenda mudik dan perayaan Lebaran. Salah satunya adalah bagi upaya deradikalisasi dan upaya membumikan perilaku nirkekerasan. Kekerasan jelas bertentangan dengan makna Lebaran dan Islam itu sendiri. Idul Fitri itu kembali ke hakikat penciptaan kita sebagai manusia (Ghofur, 2016).

Suasana hiruk pikuk mudik dan lebaran dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggungjawab dan tidak manusiawi guna melakukan tindak kekerasan. Mulai dari hal kecil seperti jambret, pencurian dengan kekerasan, perampokan, hingga tindak terorisme.

Hal tersebut selain guna mendapatkan kepuasan dan kemanfaatan pelaku juga menjadi strategi deIslamisasi. Pelaku tindak terorisme dan radikalisme dapat memanfaatkan potensi ekonomi mudik lebaran guna mengeruk modal secara ilegal. Konsentrasi pengamanan yang fokus kepada pemudik serta banyaknya titik simpul massa menjadi target empuk tindak kekerasan. Untuk itu kewaspadaan mesti tetap diperhatikan semua pihak, baik pemudik, warga, dan aparat keamanan.

Momentum lebaran dan mudik juga dapat dimanfaatkan penganut ideologi kekerasan guna menyebarkan ajaran. Mudik dapat menjadi sarana guna menyebarkan ajaran hingga ke perdesaan. Jangkauan ini akan sangat luas dan sulit diawasi. Kewaspadaan warga desa, pemerintah desa, serta aparat di desa penting dilakukan sejak dini dalam menyambut dan mengelola aktivitas pemudik.

Semua pihak mesti tidak kalah langkah. Pesan nirkekerasan lebaran juga mesti disebarkan masif dalam agenda mudik dan selama lebaran. Lebaran secara teologis merupakan puncak perayaan Hari Kemenangan. Setelah berlatih penuh di bulan Ramadan, muslim yang berpuasa secara total akan mendapatkan kemenangan berupa derajad ketakwaan.

Ketakwaan memiliki dimensi vertikal sekaligus horizontal. Dimensi vertikal didapatkan melalui ritual vertikal dalam ibadah-ibadah khusus selama Ramadan. Sedangkan dimensi horizontal didapatkan melalui pelaksanaan ritus sosial. Misalnya melalui kedermawanan sosial berupa penyaluran zakat, infaq, dan sedekah.

Mudik lebaran juga sarat akan makna ritus sosial melalui penguatan jalinan silaturahmi. Pemudik rela mengeluarkan banyak uang dan meluangkan waktunya meski di jalan penuh kemacetan, risiko keamanan, dan lainnya. Semua ini demi memenuhi kerinduan hati kepada kampung halaman, orang tua, dan sanak saudara.

Kerinduan tersebut merupakan pintu bagi upaya mempererat silaturahmi. Di kampung, pemudik akan kembali menguatkan silaturahmi dengan tetangga, saudara, hingga teman-teman lamanya.

Silaturahmi merupakan jalan menguatkan persaudaraan. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat ar-Ra’d/ (13) ayat 25, “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)”.

Sedangkan persaudaraan merupakan antitesis dari kekerasan. Kekerasan tidak mungkin dilakukan jika pelaku sadar menganggap semua manusia adalah saudara sosialnya. Inilah pesan utama ajaran nirkekerasan dari lebaran dan mudik.

Laku nirkekerasan mesti ditransformasikan secara masif ke seantero nusantara. Upaya ini guna mengimbangi sekaligus mencegah tindak kekerasan. Pemudik mengemban misi besar dalam merealisasikannya.

Kemajuan teknologi informasi di desa pun sudah hampir sama dengan kota. Informasi cepat menyebar dengan kemudahan masuk beragam ideologi. Hal ini rentan bagi radikalisasi, jika warga menelan tanpa menyaringnya.

Kekerasan merupakan tindak yang bertentangan dengan budaya perdesaan yang penuh persaudaraan. Ikatan sosial sangat kuat di perdesaan. Alih-alih melakukan transformasi, pemudik mestinya tidak justru membawa karakter kota yang individualis. Karakter sosial ini yang menjadi celah masuknya paham kekerasan. Sebaliknya, warga desa bisa melakukan penyadaran sosial bagi pemudik agar tetap mempertahankan karakter persaudaraan sosial meskipun hidup di perkotaan. Dengan demikian transformasi dapat saling dilakukan dua pihak.

Facebook Comments