Masih Pentingkah Beragama?

Masih Pentingkah Beragama?

- in Narasi
1978
0

Masih pentingkah kita beragama? Pertanyaan yang seringkali mengusik akhir-akhir ini seiring dengan maraknya berbagai bentuk tindak kekerasan, korupsi dan perilaku biadab di masyarakat. Kondisi demikian itu jika tidak diselesaikan secara tuntas, akan membawa kepada kehancuran nilai-nilai kemanusiaan dan punahnya peradaban manusia.

Akan tetapi, saya begitu yakin bahwa dari perspektif mana pun kita melihat, agama masih sangat penting dan tetap diperlukan, terutama di dalam membangun masyarakat yang humanis, damai dan bahagia. Karena itu, menurut saya, pertanyaan yang relevan adalah bagaimana menjadikan agama sebagai alat yang dapat memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia artinya agama mampu membawa manusia menjadi lebih berbudaya dan beradab, mampu menjadikan manusia hidup lebih sejahtera, lebih damai dan tentunya lebih bahagia.

Dengan ungkapan lain, bagaimana menyosialisasikan ajaran agama yang apresiatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan sehingga agama dirasakan manfaatnya bagi semua umat manusia, tanpa kecuali. Bahkan Al-Qur’an secara gamblang menegaskan, Islam harus memberikan manfaat bukan hanya kepada manusia, melainkan juga kepada semua makhluk di alam semesta.

Setiap agama menjanjikan kemaslahatan bagi manusia. Setiap penganut agama meyakini sepenuhnya bahwa Tuhan yang merupakan sumber ajaran agama adalah Tuhan Yang Maha Sempurna, Tuhan yang tidak membutuhkan pengabdian manusia. Ketaatan dan kedurhakaan manusia tidak menambah atau mengurangi kesempurnaan-Nya.

Tuhan diyakini sebagai sang Maha segalanya sehingga rahmat-Nya pasti menyentuh seluruh makhlukNya. Sedemikian agungnya Tuhan sehingga manusia tetap diberi kebebasan memilih secara bebas: menerima atau menolak petunjuk agama. Untuk itu, Tuhan menuntut ketulusan beragama hamba-Nya dan tidak membenarkan paksaan dalam bentuk apa pun, baik nyata maupun terselubung.

Agama memberikan tuntunan kepada manusia agar mengerjakan perbuatan baik dan menghindari perbuatan buruk demi kebahagiaan manusia itu sendiri. Jadi agama sepenuhnya untuk kemashlahatan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Sangat disayangkan misi agama yang amat suci dan luhur itu seringkali tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan beragama penganutnya. Akibatnya, berbagai bentuk pengabaian hak-hak asasi manusia, baik dilakukan oleh individu maupun negara. Belum lagi sejumlah tindakan eksploitasi, korupsi, kekerasan dan diskriminasi, khususnya berbasis gender begitu kasat mata dalam kehidupan masyarakat, fatalnya lagi tidak sedikit yang dilakukan atas nama agama.

Agama mengajarkan kepada pemeluknya tentang keharusan menghormati sesama manusia, siapa pun dia, serta pentingnya hidup damai dan harmonis di antara sesama. Jika demikian halnya, segala bentuk pengabaian hak-hak asasi manusia, konflik, kekerasan, dan teror yang mengatasnamakan agama hendaknya diyakini sebagai bentuk ketidakmampuan manusia memahami ajaran agama dengan benar secara utuh. Semangat keberagamaan yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan pemahaman yang dalam dari dimensi esoterik agama, inilah yang seringkali menimbulkan sikap tidak peduli, intoleran dan fanatik sempit yang melahirkan fundamentalisme.

Saya yakin semua agama memiliki ajaran yang menekankan pada dua aspek sekaligus; aspek vertikal dan aspek horisontal. Aspek vertikal merupakan ajaran yang berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan, sementara aspek horisontal berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antara sesama manusia dan juga hubungan manusia dengan alam sekitarnya.

Sayangnya, aspek horisontal agama ini tidak terealisasikan dengan baik dalam kehidupan manusia, khususnya dalam interaksi sesama manusia. Akibatnya, dimensi kemanusiaan yang merupakan refleksi aspek horisontal agama kurang mendapat perhatian di kalangan umat beragama. Tidak heran jika keberagamaan manusia tidak menjadikan mereka menjadi lebih manusiawi atau lebih peka dan empati kepada sesama, khususnya terhadap kelompok rentan dan marjinal, kelompok disabilitas, para lansia, anak-anak terlantar, penderita HIV/Aids, kelompok miskin dan mereka yang mengalami ketidakadilan, kekerasan dan diskriminasi.

Komitmen keagamaan seseorang seharusnya terbangun sejak dari keluarga atau lingkungan rumah tangga. Adapun lingkungan sekolah dan masyarakat pada prinsipnya hanyalah menunjang komitmen keagamaan yang sudah terbentuk di dalam keluarga. Namun, anehnya dewasa ini banyak keluarga yang menyerahkan pembinaan keagamaan anak-anak mereka sepenuhnya pada sekolah dan institusi lain di masyarakat.

Artinya, semakin banyak keluarga yang sepenuhnya menyerahkan pendidikan keagamaan anak-anak mereka kepada lembaga-lembaga di luar keluarga. Hal ini sangat disayangkan mengingat pembinaan mental keagamaan seorang anak hendaknya dimulai sejak usia dini di dalam kehidupan keluarga. Persoalannya, para orang tua itu sendiri seringkali tidak menyelami hakikat ajaran agama yang mereka anut, lalu bagaimana mungkin mereka dapat menanamkan nilai-nilai moral agama dan mensosialisasikannya kepada anak-anak mereka.

Di sinilah letak pentingnya pendidikan parenting bagi para calon otang tua. Para calon suami dan isteri hendaknya membekali diri dengan pengetahuan dasar nilai-nilai keagamaan universal yang kelak akan ditanamkan dalam diri anak sejak dalam kandungan. Pendidikan agama yang utama adalah berupa internalisasi nilai-nilai universal tersebut ke dalam jiwa anak sejak dini.

Nilai–nilai dimaksud antara lain berupa nilai kejujuran, keadilan, kesetaraan, kebersihan, kedamaian, kepedulian, kesederhanaan, dan kebersamaan. Pendidikan nilai inilah yang diharapkan dapat mewujudkan manusia yang memiliki karakter mulia atau akhlak karimah dan itulah esensi agama. Tidak salah jika Rasulullah saw bersabda: “sesungguhnya aku diutus semata untuk menyempurnakan akhlak karimah.”

Facebook Comments