“Kita menerima Pancasila berdasarkan pandangan syari’ah. Bukan semata-mata berdasarkan pandangan politik. Dan kita tetap berpegang pada ajaran aqidah dan syariat Islam. Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya.”
Pernyataan ini disampaikan KH Achmad Siddiq, Rais Aam NU 1984-1991, dalam forum Munas Alim Ulama’ tahun 1982 di Pesantren Salafiyyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo, asuhan KH As’ad Syamsul Arifin. Bagi Kiai Achmad Siddiq, Pancasila dan Islam adalah hal yang dapat sejalan dan saling menunjang. Keduanya tidak bertentangan dan jangan dipertentangkan. Gagasan ini kemudian disepakati para ulama, dan kemudian menjadi keputusan NU dalam Muktamar di tempat yang sama tahun 1984.
Gagasan Kiai Achmad Siddiq menjadi rujukan sangat penting dalam diskursus Islam dan politik di Indonesia. Sebagai kiai yang dilahirkan dari rahim pesantren, tanpa pendidikan sampai doktor atau profesor, pemikirannya sangat brilian memberikan solusi cerdas dalam mengurai benang kusut Islam dan politik di Indonesia saat itu. Walaupun saat ini masih terus menjadi perdebatan yang dinamis, tetapi rujukan Kiai Achmad Siddiq masih relevan sebagai suatu produk pemikiran yang mengantarkan Indonesia saat ini.
Jalan damai berfikir yang digaungkan Kiai Achmad Siddiq dilandasi dua hal: historis dan hukum. Secara historis umat Islam tidak pernah absen dalam menolak penjajahan dan menegakkan serta mengisi kemerdekaan. Sejak awal umat Islam berada di garda terdepan mengusir penjajah. Sementara secara hukum, Allah SWT mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar bagi umat manusia. Kewajiban itu tentu saja tidak dapat dilakukan tanpa adanya kekuatan dan kepemimpinan yang kuat dan mendukung. Atas dua landasan inilah maka mendukung negara Pancasila menjadi wajib hukumnya sebagai konsekuensi dari perjuangan yang dilakukan oleh umat Islam.
Dari rumusan ini, Islam dan Pancasila menjadi basis utama lahirnya peradaban Indonesia. Dengan sinergi Islam dan Pancasila, maka persatuan Indonesia bisa diraih bersama. Persatuan inilah modal utama dalam membangun bangsa. Disini juga, Islam dan Pancasila menjadi basis utama pergerakan bangsa, sehingga perjuangan masih tetap berjalan untuk menyatukan bangsa, walaupun di sana-sini masih terjadi kejanggalan yang merusak hubungan antar sesama.
Tanggungjawab Kewarganegaraan
Tanggungjawab menjadi fundamen utama dalam membangun peradaban. Ini juga yang sering diabaikan dalam diskursus Islam dan politik. Seringkali hanya terjebak halal-haram, bahkan mengarah hanya kepentingan kursi kekuasaan. Masih minim yang mengurai dan menandaskan terkait tanggungjawab kewarganegaraan. Kiai Achmad Siddiq sangat tegas dalam hal ini, “Ibarat makanan, Pancasila itu sudah kita makan selama 38 tahun, kok baru sekarang kita persoalkan halal dan haramnya.”
Ini kritik keras kepada umat Islam yang masih miskin tanggungjawab dalam berbangsa dan bernegara. Padahal, sudah menikmati anugerah sangat istimewa, yakni NKRI. tanggungjawab kewarganegaraan dalam berpolitik, khususnya konteks NKRI, sudah sangat tegas dirumuskan NU dalam Muktamar di Krapyak tahun 1989. Ada 9 tanggungjawab utama yang mesti dipahami bersama, sehingga tidak salah tafsir dan gagal paham dalam diskursus Islam dan politik di Indonesia. 9 hal itu yakni; keterlibatan aktif yang sesuai Pancasila dan UUD 1956; berwawasan kebangsaan; pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis; berpolitik dengan moral, etika, dan budaya; berpolitik dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, dan adil; berpolitik untuk memperkokoh konsensus nasional; berpolitik tanpa memecah belah persatuan; berpolitik dengan suasana persaudaraan, tawadlu’, dan saling menghargai; berpolitik untuk membangun komunikasi kemasyarakatan.
Komitmen dan tanggungjawab kewarnegaraan dalam pedoman berbangsa dan bernegara di NU ini sangat sejalan dengan etos berwarganegara dalam Piagam Madinah. Dalam Piagam Madinah, tanggungjawab kewarganegaraan dibangun dalam konsep bernama ummah. Kata ummah berasal dari akar kata amm (amma-ya’ummu), dapat berarti: ”jalan, maksud-tujuan, menuju, menjadi, keikutsertaan-partisipasi, juga gerakan”. Maka dengan mengacu pada pemaknaan demikian, ummah dapat dipahami sebagai suatu masyarakat di mana individu-individu, berkeyakinan serta bertujuan sama, terhimpun dan bersatu secara sukarela, berpartisipasi harmonis, dengan niatan untuk maju berjama’ah dan bergerak ke arah tujuan bersama. Dengan memilih gagasan ummah, Islam telah menegaskan suatu tanggung jawab sosial serta intelektual, dan merekomendasikan suatu gerakan bersama (jama’ah, afinitas, afiliasi, kolektif) sebagai bagian mendasar dari filsafat sosialnya.
Konsep ummah, menurut Ali Syariati, bukanlah demokrasi dengan penghitungan kepala, bukan pula demokrasi berdasarkan liberalisme – yang terlalu miskin dari tanggung jawab sosial dan moral-, bukan pula aristokrasi busuk (otoritarian) maupun diktator ploretariat, dan bukan oligarki kalangan tertentu. Konsep ummah bukanlah begitu. Ummah didasarkan kepemimpinan progresif kolektif, di mana segenap individu partisipan bertanggungjawab, serta mengambil peran mengembangkan masyarakat dengan mandiri sesuai pandangan tauhid; juga aktif bertanggungjawab dalam merealisasikan fitrah manusia sejalan rencana penciptaannya sebagai khalifah di muka bumi.
Tantangan yang dihadapi dalam konsep ummah sekarang ini adalah persoalan negara bangsa (nation state). Tantangan ini sungguh luar biasa, karena konsep ummah dan kewarganegaraan semakin komplek. Terlebih negara Islam penuh kontroversi. Sehingga banyak term dalam Islam yang perlu dilakukan pemikiran ulang, redefinisi dan kontekstualisasi, sehingga lahir pemikiran yang cerdas dalam komprehensif dalam merespon berbagai kontemporer menuju bangsa yang adil, berdaulat, dan penuh maslahat. Kita tidak bisa asal bunyi dalam menganalisi istilah dalam dunia pemikiran keislaman.
Jangan sampai warga negara ini gagal paham dalam Islam dan politik!