Maulid Nabi: Teladan Menjadi Pemimpin Profetik yang Moderat dan Toleran

Maulid Nabi: Teladan Menjadi Pemimpin Profetik yang Moderat dan Toleran

- in Narasi
836
0
Maulid Nabi: Teladan Menjadi Pemimpin Profetik yang Moderat dan Toleran

Nabi Muhammad SAW adalah sosok agamawan sekaligus negarawan yang baik. Jadi, menjadi muslim sekadar (taat beragama) itu tidak cukup. Sebab, Nabi membangun pola keseimbangan, menyampaikan ajaran Islam yang penuh cinta-kasih, egalitarian dan moderat. Serta mengajarkan kita tentang bernegara bernegara secara (kaffah) menjaga tatanan agar tidak rusak, berpecah-belah atau penuh konflik.

13 tahun Nabi Muhammad SAW di Makkah penuh dengan intimidasi, penuh kezhaliman, penuh cacian dan hinaan. Pada saat di Taif, dakwah Nabi pun juga tidak diterima dan justru dilempari batu hingga berdarah-darah. Nabi tidak memutuskan untuk berperang dan kesabaran Nabi tidak terlepas dari (dakwah keislaman) yang tetap (menjaga tatanan) sebuah negara agar tidak lulu-lantah akibat perang/konflik.

Jadi di sinilah konteks, menjadi muslim yang tetap memiliki (kesadaran bernegara) secara sempurna. Nabi tidak memaksakan kehendak secara intolerant, apalagi memerangi serta memululantakkan kota Makkah. Nabi tetap menjembatani, agar Islam diterima dengan tetap menjaga tatanan negara agar tidak berpecah-belah atau rusak.

Di waktu Nabi diusir dari Makkah dan Beliau hijrah ke Madinah dengan kesedihan yang mendalam. Tiba di sebuah perbatasan, beliau menatap kota Makkah dengan deraian air mata, sambil berkata: “Sesungguhnya engkau wahai kota Makkah, adalah sebaik-baiknya bumi Allah SWT dan negeri yang paling dicintai oleh Allah SWT. Seandainya penduduk-mu tidak mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu” (HR. al-Tirmidzi).

Begitu juga ketika Nabi tiba di Madinah yang memiliki realitas masyarakat yang majemuk. Nabi tidak sedikit-pun menjembatani dakwah-dakwah yang destruktif atas perbedaan yang mengakibatkan kecamuk peperangan/konflik. Karena pengaruhnya, terhadap kehancuran sebuah negara sangatlah besar. Maka, logis kiranya jika Nabi membangun negara Madinah dengan prinsip (kebhinekaan) agar umat menjadi muslim (taat beragama) yang memiliki kesadaran bernegara secara Kaffah dengan tidak memecah-belah persatuan itu.

Nabi Muhammad SAW memiliki pasukan yang kuat, sebagaimana dalam sejarah tercatat sekitar 10.000 pasukan tangguh. Secara logis, andai Nabi dalam penaklukan Makkah (Fathu Makkah) ingin membalas kezhaliman dan kekejaman kafir Quraish di waktu Nabi di Makkah. Mungkin dengan pasukan sebanyak itu Nabi bisa menghancurkan kota Makkah dengan mudah.

Bahkan, salah satu pemimpin pasukan Nabi dan sekaligus pemegang panji/bendera yaitu Sa’d bin Ubadah RA. Mengatakan bahwa hari penaklukan itu sebagai hari pembalasan dan hari penghabisan kafir Quraish. Tapi apa? ketika ungkapan itu terdengar oleh Nabi, seketika Sa’ad bin Ubadah RA ditegur dan jabatan sebagai pemegang bendera sekaligus pemimpin pasukan dicopot, lalu digantikan kepada putranya Qais bin Sa’ad.

Nabi Muhammad SAW menggantikan slogan hari pembalasan dan hari penghabisan dengan slogan “al-yaum yaumul marhamah” Hari ini adalah hari kasih-sayang. Nabi telah mengampuni segala dosa masa lalu yang begitu kejam dan zhalim yang dilakukan kafir Quraish pada Nabi. Nabi menjamin keselamatan, keamanan, hak beragama, hak harta dan hak hidup serta menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat Makkah.

Ini sebagai satu fakta penting bahwa Nabi Muhammad SAW tak sekadar mengemban satu misi dakwah keislaman agar umat menjadi muslim. Tetapi, ada bentuk korelasi etis agar menjadi muslim yang memiliki (kesadaran bernegara). Dengan sikap Beliau yang anti perilaku konflik/pembalasan meskipun kekuatan pasukan Nabi begitu tangguh dan tak terkalahkan. Nabi tetapi menggunakan pendekatan yang egalitarian, moderat dan menjunjung tinggi semangat Islam yang menjaga tatanan negara agar tidak berpecah-belah.

Facebook Comments