“Duh Gusti Allah Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho Negoro Kesatuan Republik Indonesia Pancasila Kaparingan Aman, Makmur, Damai. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekkah”
~Kiai Haji Muslim Rifai Imampuro, Pendiri Yayasan Pondok Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa)
Bagi seagian besar masyarakat Indonesia, mungkin akan merasa asing dengan untaian kata di atas. Akan tetapi, bagi sebagian kaum Nahdliyin, terutama yang tinggal di daerah Klaten tidak akan asing dengan kalimat di atas. Kalimat tersebut merupakan pesan terakhir dari seorang Kiai kharismatik bernama KH Muslim Rifai Imampuro. KH Muslim Rifai Imampuro atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mbah Liem merupakan seorang ulama sekaligus pejuang bagsa yang disegani karena prinsip dan karakternya.
Selain itu, satu hal yang membuat Mbah Liem akan selalu dikenang adalah sebuah peninggalannya yang luarbiasa. Yakni sebuah yayasan pendidikan yang luarbiasa. Namanya Yayasan Pendidikan Al-Muttaqien Pancasila Sakti (Alpansa). Lembaga pendidikan yang didalamnya juga terdapat pesantrennya ini didirikan Mbah Liem sebagai sebuah komitmen terhadap perjuangan kebangsaan. Utamanya dalam memperteguh kedudukan Pancasila dan Agama di Indonesia dengan segala nilai-nilai kemajemukannya. Pondok Pesantren Alpansa ini terletak di Dusun Sumberejo, Desa Troso, Kecamatan Karanganom, Klaten, Jawa Tengah.
Pemikiran Mbah Liem tentang Islam dan Pancasila tampak begitu sempurna nun paripurna. Lewat Pesantren Alpansa, Mbah Liem ingin menyelaraskan antara nilai-nilai Islam dan Pancasila dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Dimana didalamnya terdapat sebuah doktrin kuat bahwa untuk menjadi seorang Muslim tidak perlu mendirikan sebuah negara Islam. Doktrin yang digalakkan Mbah Liem lewat Pesantren Alpansa yang didirikannya ini menjadi sebuah bentuk perlawanan terhadap ideologi Islam transnasional di Indonesia yang mempertanyakan relevansi bentuk dan dasar negara pada tahun 1980-an.
Selain dalam bentuk perlawanan ideologi, Mbah Liem juga menunjukkan ketidakselarasannya dengan kelompok radikal tersebut dalam banyak hal. Seperti penyebutan thogut atau berhala terhadap Pancasila, Bendera Merah-Putih, dan Lagu Indonesia Raya. Oleh Mbah Liem, justru symbol-simbol kenegaraan tersebut senantiasa dilestarikan sebagai sebuah simbol nasionalisme. Satu lagi bentuk perjuangan Mbah Liem yang unik dalam menangkal radikalisme. Yaitu dengan diajarkannya materi tentang ke-Indonesiaan dan kebhinekaan di Pesantren Alpansa. Karena bagi Mbah Liem, Islam mengajarkan cinta tanah air adalah bagian dari iman.
Dalam perkembangannya, Mbah Liem bersama dengan Pesantren Alpansa menghadirkan sebuah nafas baru Islam sebagai sebuah agama yang Rahmatal Lil Alamin. Sebagai agama mayoritas di Indonesia, sudah seyogyanya kaum Muslimin mampu mengayomi bagi kaum minoritas. Bukan malah sebaliknya. Dimana didalamnya agama harus menjadi sebuah pelecut utama untuk memberikan manfaat bagi sesama dan mendorong persatuan bangsa Indonesia.
Dalam sepak terjang perjuangannya, Mbah Liem senantiasa mengajarkan toleransi antarumat. Mbah Lim mewariskan semangat persaudaraan antarmanusia, sekalipun berbeda agama dan kepercayaan. Karena, hakekatnya setiap manusia adalah ciptaan Allah, sama-sama anak Nabi Adam, dan sama-sama penghuni NKRI – sebagaimana pesan yang tertulis di Joglo Perdamaian. Sejak 1998, Pesantren Alpansa kerap mengadakan pertemuan dengan para tokoh lintas iman. Karena itu, tidak salah jika kita menyematkan julukan jembatan penghubung bagi Mbah Liem dan Pesantren Alpansa atas dedikasinya dalam meruwat dan merawat nilai moderasi dan wawasan kebangsaan dalam bingkai Pancasila.