Kementrian Agama Republik Indonesia merilis 200 daftar nama penceramah atau mubalig yang direkomendasikan untuk umat islam di Indonesia. Rilis ini sebagai sikap bahwa pemerintah juga mempedulikan isu krusial tentang maraknya penceramah yang intoleran, kaku, sekaligus mengarah pada paham radikalisme. Maklum, pemerintah juga merasa perlu mengantisipasi lebih jauh terhadap bahaya terorisme yang makin marak di Indonesia.
Bila diperhatikan secara jeli, para mubaligh maupun penceramah yang direkomendasikan oleh Kemenag ini selain mereka menempuh studi secara formal, mereka juga memiliki sepak terjang yang baik di masyarakat. Mereka adalah tokoh, baik di kalangan organisasi kemasyarakatan maupun organisasi besar islam seperti NU maupun Muhammadiyah.
Kedua organisasi ini dipilih karena memang memiliki konsistensi dan spirit yang tak berubah dalam memayungi bangsa ini dalam bingkai islam keindonesiaan. Artinya kedua organisasi ini bukan hanya ikut membangun dan memperjuangkan berdirinya NKRI, tetapi ikut serta mempertahankannya. Tentu saja hal ini menjadi penguat di tengah rongrongan dan ancaman teror yang mengakibatkan perpecahan di negara kita.
Secara prinsip, kita memang telah kehilangan regenerasi pendakwah yang mumpuni di era sekarang. Pendakwah atau mubaligh bukan hanya memiliki peran sentral sebagai ujung tombak atau penyampai dakwah yang menyejukkan dan menenteramkan. Mereka yang ikut serta membimbing masyarakat kita kepada tuntunan islam yang membawa rohmah.
Baca juga :Media dan Demokrasi dan Pertarungan Buzzer
Dulu, kita masih memiliki Kiai kampung—meminjam istilah dari Gus Dur—, yang memberikan modal awal dalam memahami Islam. Semakin lama, peran Kiai Kampung kini semakin pudar. Bukan hanya karena pengalaman dan keilmuan mereka yang dianggap kurang berkembang oleh anak muda, tapi juga karena jarak dan waktu yang seiring dengan migrasi para pemuda yang menempuh studi ke luar kota.
Mereka, para kaum muda urban ini mencari ruang dalam beragama. Mereka mengekspresikan ulang cara mereka berdakwah. Mereka mempelajari islam melalui komunitas-komunitas, hingga pengajian-pengajian yang diampu para pendakwah yang notabene berbasis keilmuan dan identik dengan dakwah masyarakat kota.
Isu-isu yang dibawa pun makin beragam dan kosmopolit. Para pendakwah ini tak lagi membahas isu atau singgungan di masyarakat bawah, mereka lebih membawa agama islam lebih rasional sekaligus mengena di hati kaum muda.
Semakin lama, para pendakwah pun memahami pola atau perilaku dan kecenderungan anak muda. Mereka pun dipaksa untuk lebih menyesuaikan dengan massa atau para jamaah mereka. Mereka menggelar konsultasi, interaksi di media sosial sebagai ruang ekspresi anak muda masa kini.
Di media sosial seperti twitter, facebook, hingga situs penyiaran seperti Youtube, mereka lebih komunikatif, terbuka sekaligus mendapatkan ruang interaksi yang intim antara pendakwah dengan jamaah. Jamaah terutama anak muda tak lagi merasa kesusahan ketika menghadapi kebingungan atau kekurangfahaman dalam urusan agama. Mereka bisa bertanya, berkonsultasi, tanpa halangan waktu, dan keterbatasan jarak. Mereka bisa belajar agama lebih jauh dan menemukan ruang yang nyaman dalam belajar agama.
Kompetensi Dan Kecakapan
Di media sosial sekalipun, mereka para mubaligh memang harus mumpuni sekaligus bisa beradaptasi dengan anak muda. Kiai Mustofa Bisri misalnya sering mencuit di twitternya dengan pesan-pesan kearifan. Ia juga pernah menghadapi anak muda yang menghinanya. Anak muda tersebut pada akhirnya datang sowan ke rumah beliau untuk meminta maaf.
Sebagai Kiai Kampung, ia tak melupakan anak muda yang kelak menjadi penerus bangsa ini. Ia mau meladeni anak-anak muda ini belajar, dan menanggapi pertanyaan mereka seputar isu keagamaan dan kebangsaan. Sikapnya yang teduh di masyarakat dan juga di kalangan anak muda menjadi inspirasi bagi pendakwah lain dalam menerapkan spirit dakwah yang teduh.
Sebagai Kiai yang ikut serta berhubungan dengan kalangan pemuda, Mustofa Bisri juga merupakan sosok yang mumpuni. Ia dididik di lingkungan pesantren tapi tak tertutup. Ia juga kerap menulis dan menerbitkan buku baik sastra maupun renungan-renungannya.
Salah satu pertimbangan kalangan anak muda untuk memilih para mubaligh mereka adalah soal kecakapan dan kualitas. Anak muda sekarang tentu lebih kritis dan progresif. Mereka memilih Ustadz atau Kiai yang nyaman dengan mereka untuk belajar bersama tentang Islam. Melalui saluran media sosial, kita memang diberikan pilihan beragam untuk memilih Ustadz kesukaan kita. Kita juga bisa membandingkan pendapat satu dengan pendapat yang lain tentang masalah tertentu khususnya dalam masalah agama.
Seiring dengan kesibukan manusia modern, para mubaligh memang perlu beradaptasi dan belajar banyak hal salah satunya adalah cara mereka berkomunikasi, dan menyapa jamaahnya. Media sosial adalah ruang dimana kaum urban khususnya bisa mencari pilihan alternatif dalam belajar agama di ruang publik. Media sosial menjadi pilihan termudah dengan bantuan internet sebagai mediumnya.
Meski begitu, manusia memerlukan perjumpaan. Di saat-saat itulah barangkali tabligh akbar, pengajian, hingga forum-forum komunitas keagamaan menjadi penting sebagai (ruang) perjumpaan belajar agama bersama. Akan tetapi, sampai saat ini, sepertinya kecenderungan untuk lebih sering tatap muka dalam satu pengajian menjadi hal yang susah dilakukan. Disinilah, peranan Kiai Kampung akan tetap ada menjadi oase bagi para pembelajar agama di masjid-masjid setempat. Akan tetapi, bila Kiai Kampung tak mau belajar budaya dan kecenderungan anak muda sekarang, tentu saja hal ini akan semakin membuat jarak (ruang) bagi mereka untuk bisa belajar agama dengan nyaman bersama mereka. Ini seperti mengandaikan Kiai Kampung menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis ala Ahmad Wahib di kala itu.
Bagaimanapun, peran Kiai Kampung maupun Ustadz di media sosial, ikut membentuk cara umat Islam Indonesia dalam menafsirkan Islam. Tentu saja ditopang dengan hadirnya buku-buku bacaan yang mereka suguhkan kepada pembaca. Disinilah sebenarnya peranan penting menghadirkan ruang untuk belajar agama secara terus-menerus. Sebagaimana perintah dalam agama Islam bahwa kewajiban menuntut ilmu selalu ada hingga hayat berakhir. Daya kritis anak muda, atau jamaah tentu saja tak lepas dari bekal (wacana) yang mereka punya. Anak muda yang kritis tentu saja selektif dan hati-hati dalam menentukan siapa guru, mubaligh atau ustadz mereka. Sedang anak muda yang kekinian tapi tuna wacana dan bekal keagamaan tentu saja akan memilih sesuka hati mereka.
Para ustadz dan mubaligh yang mumpuni ditantang juga untuk beradaptasi dengan fenomena zaman. Mereka harus lebih membuka diri memberikan ruang yang lebih luas dalam memenuhi permintaan masyarakat (khalayak) untuk belajar agama. Entah itu melalui media sosial atau tidak.