Karena pengaruh media sosial, sejumlah anak muda mengesampingkan akal sehatnya dan lalu memilih untuk menjadi pelaku aksi bom bunuh diri (terorisme); karena media sosial, sejumlah anak muda juga meletakkan akal sehatnya dan lalu menjadi seorang psikopat, pembunuh. Singkatnya, media sosial yang kita operasikan tanpa jeda itu kini telah melahirkan sejumlah—meminjam bahasa Erich Fromm—nekrofilik-nekrofilik baru, para pecinta kematian baru.
Nekrofilik adalah kelainan seksual pada diri seseorang. Yang mana, penderitanya memiliki ketertarikan seksual kepada mayat (KBBI). Dalam pengertian Erich Fromm, nekrofilik berarti orang yang ’cinta kematian’. Cinta kematian dimaksud, adalah berupa kesenangan melakukan aksi-aksi kekerasan, penghancuran, dan pembunuhan: anti-kehidupan. Bagi seorang nekrofil, membunuh atau mengaksikan kematian adalah kenikmatan tersendiri. Sebaliknya, ia benci kehidupan.
Kita tidak pernah membayangkan—atau mikirkan—bahwa media sosial akan melahirkan nekrofilik-nekrofilik baru atau para pecinta kematian baru. Selama ini, kita hanya memahami bahwa media sosial tak lebih dari sekadar aplikasi mainan. Aplikasi untuk sekadar berbagi pengalaman, aktivitas, informasi, humor, dan hal-hal remeh temeh lainnya.
Namun, asumsi kita itu ternyata salah. Ternyata ia bukan hanya mainan, tetapi telah mewujud ancaman berbahaya nan menakutkan; yang dalam waktu singkat, bisa mengubah dan membentuk cara pandang kita akan sesuatu yang telah lama kita yakini. Yang moderat, dengan singkat disulap menjadi radikal, yang cinta kehidupan, dalam waktu singkat direkayasa menjadi pencinta kematian-antikehidupan. Ini semacam manipulasi psikologis yang menakutkan, mengerikan.
Namun menakutkan, tetapi semua itu tidak terlalu mengejutkan. Sejak awal internet berikut media sosial ditemukan, tidak satu pun ada pihak yang menjamin bahwa media sosial adalah jalan lurus untuk kehidupan yang berkelanjutan. Internet berikut media sosial diciptakan, lalu dikampanyekan. Kemudian, dunia mengaguminya sebagai temuan baru peradaban manusia. Lalu, berjuta-juta manusia, dengan segera mengoperasikannya: terjun bebas, berselancar bebas di dalamnya.
Seperti ruangan yang menyimpan banyak harta karun, semuanya berlomba-lomba masuk, berdesak-desakan, hingga tidak sadar, siapa orang-orang disekitarnya. Bahkan, mereka juga lupa, identitas mereka sendiri. Semuanya berada dalam ketidaktahuan layaknya domba-domba yang tersesat. Segala informasi yang datang dipercaya begitu saja meski informasi tersebut memuat perintah agar satu sama lain saling membunuh, dengan kekerasan.
Informasi itu dianggap sebagai kebenaran absolut; yang tiada kebenaran lain selainnya. Syahdan, pertikaian, permusuhan, penghancuran, pembunuhan, dan kekerasan, terjadi begitu saja, tanpa ada yang merasa berdosa dan bersalah. Sebaliknya, semuanya merasa telah bertindak sesuai dengan perintah kebenaran. Semuanya tidak sadar bahwa diri mereka telah masuk dalam rekaya robotik. Pola pikir mereka di atur, tindakan mereka dikendalikan, perasaan mereka dimanipulasi.
Kembali pada jati diri kemanusiaan kita
Media sosial memang tidak selamanya membawa kabar buruk bagi kemanusiaan kita. Pada titik tertentu, ia juga menjadi jalan bagi pembangunan kemanusiaan kita. Namun, media sosial tidak boleh selamanya dibiarkan, menguasai jati diri kita sebagai manusia. Di satu sisi, ia memang menawarkan kenyamanan dan keindahan. Namun, dalam banyak kasus, ia juga telah banyak menyesatkan kita, membawa kita pada lubang hitam kehidupan tak bercahaya.
Kekerasan, nekrofilia, kanibalisme, terorisme, radikalisme, kita tahu semua itu memang bukan barang baru. Semua itu telah ada dan telah dimulai sejak awal sejarah manusia. Namun, harus kita akui, media sosial telah memfasilitasi semua ketidakwarasan itu; dari kanibalisme, terorisme, sadisme, hingga radikalisme. Di samping, juga kita masuk ke dalamnya dan mencabut kita dari akar kemanusiaan kita.
Namun, senyatanya segalanya belum terlambat. Masih tersisa banyak waktu bagi kita untuk kembali, ke jati diri kemanusiaan kita, sebelum arus radikalisme, kanibalisme, terorisme, nekrofilia, benar-benar menyeret kita ke dalam lubang ketersesatan yang tidak memiliki jalan pulang. Belum terlambat. Masih ada waktu, kesempatan, untuk kita kembali jati diri kemanusiaan kita yang sesungguhnya, yang sejati, yang tidak palsu, dan tidak menipu.