Setiap kejahatan tidak pernah lahir dari ruang hampa, alih-alih dilatari oleh problem sosial-budaya yang melingkupinya. Demikian pandangan filosof Hannah Arendt. Dalam teorinya yang masyhur, banality of the devils, ia menyatakan bahwa setiap kejahatan kemanusiaan pasti memiliki motif.
Sejalan dengan Arendt, sosiolog Erich Fromm menjelaskan bahwa kekerasan memiliki genealogi yang kompleks. Genealogi ialah jejaring asal-usul dan rentetan sejarah yang memungkinkan sebuah peristiwa faktual terjadi. Menurut Fromm, kekerasan, perang, genosida dan sejenisnya terjadi karena adanya tarik-menarik kepentingan politis maupun ideologis.
Pandangan Arendt dan Fromm ini kiranya relevan untuk membaca fenomena terorisme. Bom bunuh diri di Mapolsek Astana Anyar Bandung, misalnya tentu tidak lepas dari dinamika ideologis dan politis. Terorisme tidak muncul begitu saja. Ia memiliki akar dan genealogi yang bisa dilacak dalam literatur kesejarahan.
Dalam konteks Islam, terorisme nyatanya bukan barang baru. Sejarah mencatat kelompok Khawarij sebagai pionir kelompok teror. Khawarij lahir dari rahim perseteruan politik di internal Islam semasa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Kekecewaan terhadap rezim Ali bin Abi Thalib melahirkan gerakan pembangkangan yang diwarnai berbagai aksi kekerasan.
Waspada Gerakan Neo-Khawarij
Khawarij eksis ditopang oleh doktrin takfirisme. Dalam konteks spesifik, paham takfiri itu menyasar pada kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib. Namun, dalam perkembangannya doktrin takfiri itu tidak hanya menyasar pendukung Ali saja. Siapa pun yang tidak sependapat dengan mereka akan dicap sebagai kafir yang pantas diperangi dan halal darahnya.
Sebagai sebuah gerakan politik-ideologis, Khawarij mengalami transformasi. Di era modern representasi Khawarij mewujud ke dalam gerakan Islam radikal-ekstrem yang menyerukan perubahan dengan jalan teror dan kekerasan. Kelompok teror seperti ISIS, Alqaeda, JI, Boko Haram, JAT, dan JAD tidak lain merupakan neo-Khawarij. Meski lahir dari rahim sosio-kultural yang berbeda, organisasi-organisasi itu memiliki karakter yang sama; menghalalkan teror dan kekerasan untuk memperjuangkan agendanya.
Fenomena neo-Khawarij itu mendapat validasi dengan berkembangnya doktrin jihadisme yang digaungkan oleh kelompok salafi kontemporer. Kelompok ini murni politis, namun membungkus agendanya dengan nuansa teologis. Mereka berpandangan bahwa umat Islam saat ini hidup di bawah rezim kafir karena tidak menerapkan syariah dan menegakkan daulah Islamiyah.
Doktrin jihadisme ala kaum salafi ini turut andil pada maraknya kekerasan dan teror di dunia Islam. Roel Majer dalam bukunya Global Salafism menjelaskan bagaimana doktrin salafi kontemporer mendorong para pengikutnya untuk terjun ke dalam gerakan atau aksi teror. Majer menyebut ada setidaknya empat tahapan doktrin salafi, yakni hijrah, baiat, jihad, dan daulah atau khilafah.
Empat Doktrin Salafisme yang Menyimpang
Hijrah dalam pandangan kaum salafi ialah meninggalkan sistem politik atau pemerintahan yang dianggap sesat atau kafir. Di tahapan ini, orang yang terpapar ideologi salafi kontemporer akan membenci negara-negara yang menganut sistem demokrasi atau negara-bangsa karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Setelah hijrah, tahapan berikutnya ialah baiat alias berkomitmen pada satu organisasi atau gerakan yang dianggap sejalan dengan prinsip-prinsip salafisme. Di titik ini, pengikut salafisme umumnya akan bergabung dengan organisasi atau gerakan radikal-teror seperti JI, ISIS, JAD dan sebagainya. Tahapan baiat ini merupakan titik awal keterlibatan individu dalam aksi-aksi kekerasan serta teror atas nama agama.
Tahapan berikutnya ialah jihad, yakni melakukan aksi nyata untuk memperjuangkan agenda politis (menegakkan syariah dan daulah islamiyyah). Yang dimaksud jihad oleh kaum salafi ialah mengangkat senjata untuk melawan siapa pun yang dianggap musuh dan menghalangi agenda mereka. Mulai dari pemerintah, aparat keamanan serta pihak yang berseberangan kepentingan dengan mereka.
Puncaknya, ialah upaya merebut kekuasaan dan menggangti sistem pemerintahan serta hukum negara menjadi daulah islamiyyah. Inilah tujuan akhir kelompok-kelompok teror seperti JI, ISIS, JAD dan sejenisnya. Mereka menebar teror dan kekerasan dengan tujuan menggulingkan pemerintahan yang sah lalu membentuk pemerintahan baru yang diklaim sesuai dengan ajaran Islam.
Keempat tahapan doktin salafi itu dalam banyak hal justru bertentangan dengan spirit Islam. Islam memang mengajarkan tentang hijrah, baiat, jihad, dan daulah namun maknanya tidak sesempit tafsiran kaum salafi. Hakikat hijrah sesuai teladan Rasulullah ialah perubahan cara pandang, sikap, dan perilaku menuju ke kondisi yang lebih baik. Hijrah tidak melulu soal perpindahan fisik, namun lebih ke soal paradigma berpikir.
Rasulullah juga menganjurkan baiat, namun tidak kepada kelompok penebar teror melainkan pada pemimpin bijak (ulil amri), pemimpin yang mencerahkan (rausyan fikr) dan pemerintahan yang sah dimata rakyat. Demikian pula, ajaran jihad di dalam Islam sama sekali tidak merujuk pada aksi kekerasan apalagi teror. Jihad ialah upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan kebaikan atawa kemaslahatan. Jihad terbaik menurut Rasulullah ialah melawan hawa nafsu negatif, termasuk kehendak berbuat kerusakan di muka bumi.
Terakhir, konsep daulah dan khalifah di dalam Islam juga tidak sama dengan pandangan kaum salafi tentang negara Islam berbasis khilafah. Konsep politik dan pemerintahan di dalam Islam cenderung fleksibel. Islam tidak memiliki konsep spesifik tentang negara dan pemerintahan ideal. Prinsip dasar Islam tentang kenegaraan ialah mewujudkan sistem yang adil dan damai untuk seluruh umat manusia.