Aksi bom bunuh diri di depan kantor Mapolsek Astana Anyar, Bandung Jawa Barat tempo hari kian menambah panjang daftar aksi terorisme yang menyasar kepolisian. Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat adanya perubahan tren dalam aksi terorisme baik dari strategi, skala, maupun sasarannya.
Dari sisi strategi, aksi-aksi teror yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir lebih banyak dilakukan aktor tunggal alias lone wolf terrorism. Skalanya pun nisbi kecil dan tidak menimbulkan dampak kerusakan secara masif sehingga mudah diatasi. Pergeseran tren juga terjadi dalam konteks sasaran atau target terorisme. Kini, para teroris lebih kerap menyasar aparat kepolisian ketimbang simbol-simbol Amerika atau tempat ibadah kaum minoritas.
Hal ini terjadi lantaran aparat kepolisian selama ini menjadi kekuatan paling penting dalam membongkar jaringan teroris. Bagi kelompok teroris, aparat kepolisian telah menjadi penghalang utama mereka dalam mewujudkan agendanya, yakni mendirikan khilafah Islamiyyah di bumi Indonesia. Maka, tidak mengherankan jika kelompok teroris punya kebencian mendalam pada aparat keamanan.
Kelompok yang Dicap Ansharut Thaghut
Stigma “ansharut thagut” pun disematkan teroris pada aparat kepolisian, dan juga aparat pemeperintah dalam konteks luas. Ansharut thaghut diartikan sebagai “pembela thaghut”. Adapun yang dimaksud thaghut di sini ialah Negara Kesatun Republik Indonesia alias NKRI. Jadi, siapa pun yang membela NKRI akan dicap sebagai ansharut thaghut. Aman Abdurrahman, teroris yang tergabung ISIS, dalam bukunya berjudul Seri Materi Tauhid for Greatest Happiness: Tauhid dan Jihad menjelaskan bahwa frasa ansharut tahgut merujuk pada setidaknya tiga kelompok.
Pertama, kelompok yang setuju dan membela hukum positif negara yang disebut Aman sebagai hukum setan. Kedua, kelompok yang mengakui dan membela kelompok non-muslim yang disebutnya sebagai kafir laknatullah. Ketiga, kelompok yang menolak syariah Islam dan khilafah islamiyyah. Keempat, kelompok yang setuju dan membela Pancasila dan NKRI.
Bagi Aman, siapa pun yang masuk golongan empat itu, terlepas dari identitasnya, status sosialnya, atau latar belakang profesinya akan dicap dengan label “ansharut thaghut”. Konsekuensi dari label itu adalah dihalalkan darahnya untuk diperangi. Label ini tentu berbahaya apalagi disematkan secara sewenang-wenang dan berpotensi dijadikan justifikasi pihak tertentu untuk melakukan kekerasan.
Labelansharut taghut bagi kelompok yang menyetujui Pancasila, membela NKRI dan bertoleransi pada kelompok non-muslim adalah hal yang absurd alias tidak masuk akal. Bagaimana tidak? Di dalam Islam sendiri, perintah untuk cinta tanah air, patuh pada pemimpin dan hidup harmonis dalam keragaman itu merupakan perintah mutlak.
Nabi Muhammad misalnya menyerukan umatnya untuk membela Madinah dari serangan musuh. Perintah ini merupakan pernyataan rasa nasionalisme secara tersirat. Yakni bahwa mempertahankan kedaulatan negara sendiri merupakan bagian dari perintah agama. Dalam konteks Indonesia, ajaran nasionalisme digaungkan oleh para kiai dan ulama di zaman revolusi kemerdekaan. Tanpa gema nasionalisme itu, Indonesia tidak akan pernah lahir.
Demikian pula perintah untuk bertoleransi pada kelompok non-Islam. Di dalam Alquran secara gamblang disebutkan bahwa tujuan Allah menciptakan manusia ke dalam ragam suku, agama, dan bangsa ialah untuk saling mengenal. Islam sangat mengutuk perilaku intoleran, arogan, apalagi kekerasan terhadap kelompok yang berbeda. Sebaliknya, Islam menyeru umatnya untuk hidup dalam relasi sosial yang saling menghormati satu-sama lain.
Teroris adalah Bughat
Label “ansharut thaghut” yang kerap dipakai kelompok teroris untuk mendeskreditkan siapa pun yang membela NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan golongan non-muslim merupakan sikap pembangkangan secara terbuka terhadap otoritas pemerintahan yang sah. Di titik ini, kelompok teroris layak disebut sebagai kaum bughat yakni gerakan pemberontakan yang wajib diperangi sampai musnah ke akarnya.
Dalam tradisi Ahlussunan wal Jamaah bughat tidak memiliki tempat dalam sistem ketatanegaraan. Para ahli fiqih siyasah bermazhab ahlussunnah umumnya menolak keras keberadaan pemberontak (bughat) apalagi yang memakai cara-cara kekerasan. Dalam tradisi fiqih siyasah ahlussunnah, sistem politik dan ketatanegaraan dijalankan melalui lembaga perwakilan yang dimanakan Ahlul Halli wal Aqdi. Dalam fiqih siyasah ahlussunnah segala problem politik dan kekuasaan diselesaikan dengan cara musyawarah tanpa kekerasan.
Bahkan, ulama-ulama yang menjadi rujukan kaum konservatif pun pada umumnya tidak menyukai terjadinya chaos dalam politik dan pemerintahan. Ibn Taimiyyah misalnya, berujar bahwa 60 tahun hidup di bawah rezim dzalim lebih baik ketimbang satu malam tanpa pemerintah. Pernyataan ini menyiratkan satu pesan bahwa menjaga stabilitas politik itu jauh lebih penting ketimbang menggulirkan perubahan revolusioner-radikal yang ujung-ujungnya justru menimbulkan chaos dan adanya kekosongan kekuasaan (vacuum of power).
Gerakan terorisme yang masih menjadi momok bagi NKRI ini seperti kita lihat berpotensi menimbulkan instabilitas sosial dan politik. Praktik teror dan kekerasan atas nama agama telah melahirkan sejumlah residu persoalan. Mulai dari terancamnya keamanan dan ketahanan negara hingga potensi munculnya retakan sosial di masyarakat. Maka, adalah hal mutlak untuk memberangus gerakan bughat teroris sampai ke akarnya.