Melampaui Terorisme: Momentum Muharram dan Upaya Deradikalisasi Berbasis Nasionalisme

Melampaui Terorisme: Momentum Muharram dan Upaya Deradikalisasi Berbasis Nasionalisme

- in Narasi
110
0

Pembubaran Jamaah Islamiyah (JI) adalah tanda bahwa pemerintah Indonesia terus bergerak melakukan deradikalisasi organisasi keagamaan di Indonesia. Deradikalisasi adalah upaya untuk melunakan pandangan-pandangan agama yang ekstrim dan membentuk ulang pandangan tersebut agar lebih terbuka dan pluralis (Hafdir Zuhdi, 2021). Dalam konteks Indonesia, deradikalisasi tersebut mendambakan umat beragama yang lebih terbuka dan menghargai keragamaan Indonesia sebagai basis nasionalisme.

Deradikalisasi, seperti halnya JI bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa tahun lalu, pemerintah membubarkan Front Pembela Islam (FPI). Sama dengan JI, pembubaran FPI adalah deradikalisasi berbasis nasionalisme. Negara menuntut anggota-anggota FPI dan JI untuk mengedepankan sikap nasionalisme. Mengapa nasionalisme? Sebab, nilai-nilai kebangsaan adalah basis yang paling kuat untuk merawat keberlangsungan suatu bangsa. Paham-paham radikal-ekstirmis biasanya menuntun suatu bangsa menuju pada sikap kekerasan seperti terorisme dan perang seperti yang terjadi pada Iran dan negara lainnya.

Di Amerika, negara yang dikira orang maju pada segala hal, terorisme juga tumbuh sumbur. Organisasi yang memelopori radikalisme adalah Klu Klux Klan (KKK) yang berdiri pada 24 Desember 1865. KKK adalah organisasi rasisme terbesar di Ameria Utara. Tujuan KK adalah melanggengkan supremasi kulit putih. KKK melakukan berbagai tindakan kekerasan seperti membunuh orang-orang kulit berwarna dan menghalangi peran orang-orang kulit berwarna di posisi penting negara seperti pemimpin dan seterusnya. Sampai saat ini, KKK masih berdiri kokoh di Amerika. Oleh karena itu, di Indonesia, kita boleh sedikit berbangga karena bisa menghadapi beberapa organisasi yang kurang memberi tempat pada pluralisme di Indonesia.

Pembubaran JI berlangsung tidak jauh dari momentum Muharram. Kementerian Agama mengajak umat muslim untuk menghayati tahun Baru Islam, 1 Muharram 1435 Hijriyah merupakan momentum muhasabah atau evaluasi terhadap diri sendiri. Hakikatnya adalah, namun bukan perpindahan tempat, tetapi mental, moralitas, dan religiositas kita sebagai bangsa. Momentum Muharram perlu menjadi spirit banyak umat beragama di Indonesia, sebab saya percaya, momentum Muharram memberi pesan dan pelajaran penting bagi siapa pun yang memiliki tekat dan niat untuk melakukan evaluasi diri. Oleh karena itu, momentum Muharram perlu kita hayati sembari memahami pembubaran JI.

Radikal(isme) dan Momentum Evaluasi Diri

Radikalisme yang buruk biasanya menuntun orang menjadi pribadi yang berpikiran tertutup dan anti terhadap keberagamaan. Dalam bukunya Terrorist Minds (2018), John Horgan menulis bahwa pikiran yang negatif radikal adalah benih dari terorisme. Sebagai psikolog, Horgan meneliti kebiasaan beberapa pelaku teror. Ia menemukan bahwa pikiran para teroris biasanya terpaku pada satu bentuk kebenaran yang tunggal. Kebenaran tersebut bisa berupa dogma agama yang kaku atau ideologi tertentu. Tentu memiliki keyakinan pada suatu kebenaran tidak buruk. Bahayanya, menurut Horgan, pelaku teror menghalalkan segala cara untuk menguniversalkan kebenarannya termasuk jalan-jalan kekerasan. Jadi, yang bahaya dari pikiran teroris sebenarnya adalah ‘ide untuk memanfaatkan kekerasan sebagai cara sah.’ Oleh karena itu, Horgan mengatakan bahwa yang perlu dihadapi adalah ideologi kekerasan dalam pikiran teroris.

Menariknya, Horgan mengatakan bahwa terorisme muncul kala orang memahami kekerasan (violence) sebagai tindakan positif. Pikiran tersebut hadir karena orang tidak terbiasa memahami bahwa ajaran dogma agama dan ideologi tidak dapat berlaku universal. Akhirnya, orang dengan mudahnya memaksakan ideologi yang ia pahami pada orang lain melalui berbagai cara termasuk kekerasan sekalipun. Sebagai jalan keluar, Horgan mengusulkan agar orang-orang melakukan latihan diri (self-reflection) untuk mulai memahami dan menerima bahwa cara pandang orang pada kehidupan selalu berbeda. Tidak ada universalitas nilai di muka bumi. Orang dapat hidup dan harus didukung berlaku menurut pandangannya masing-masing.

Pandangan Horgan menurut saya relevan untuk kita menghayati momentum Muharram sebagai jalan evaluasi diri. Muharram menjadi momen berefleksi apakah diri kita sudah siap dan terbiasa memahami dan menghargai jalan hidup setiap orang. Apakah kita mau dan berani untuk percaya bahwa kebenaran tidak pernah tunggal. Setiap orang memiliki cara pandang dan laku hidup yang unik dan beragam. Keberagamaan penting untuk kita tekankan berulang-ulang kali sebab ia adalah dasar dari semangat nasionalisme.

Menjadi nasionalis berarti menghargai dan menghormati keberagaman negara kita. Bineka Tunggal Ika: berbeda-beda tetapi tetap satu.

Dalam momentum Muharram, kita perlu melakukan evaluasi diri untuk menjauhi bahaya radikalisme dan terorisme yang mungkin saja sedang tumbuh dalam diri kita. Bila kita sudah mulai berpikiran sempit dan menolak kehadiran ragam cara pandang dan hidup. Seperti yang dituliskan Horgan pada bukunya Terrorist Minds, penyempitan cara pandang tersebut adalah awa dari terorisme. Pada ukuran dan level tertentu terorisme adalah upaya untuk membenarkan kekerasan atas nama ideologi kaku dan sempit. Oleh karena itu, evaluasi diri memberi ruang bagi kita untuk menjauhi pikiran dan pandangan sempit yang bermuara pada terorisme.

Oleh karena itu, Muharram adalah momentum, menurut saya, yang sangat berharga untuk kita semua menghalau cara pandang yang tidak nasionalis dalam diri kita. Muharram adalah momen terbuka untuk seluruh bangsa Indonesia. Ia dapat menjadi momentum bermanfaat dan berharga bagi siapa saja yang mau melakukan evaluasi diri dan membenahi dirinya agar melakukan deradikalisasi berbasis nasionalisme: yakni mencintai dan menghormati keberagamaan yang ada di tanah NKRI.

Facebook Comments