Taubat Ideologis JI; Hijrah Menuju Paham Ahlusunnah wal Jamaah

Taubat Ideologis JI; Hijrah Menuju Paham Ahlusunnah wal Jamaah

- in Narasi
69
0

Salah satu poin dalam deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyyah adalah komitmen untuk mengadaptasi paham Ahlussunnah Wal Jamaah. Poin ini menarik mengingat JI selama ini identik dengan lahan wahabi-salafi. Meski mereka tidak secara eksplisit mengakui bahwa mereka menganut paham salafi-wahabi, namun dari karakteristik, mereka identik dengan lahan tersebut.

Hal itu bisa dilihat antara lain dari corak penafsiran atas teks keaagamaan yang cenderung tekstualistik-literalistik. Mereka menafsirkan ayat keagamaan secara harfiah sehingga melahirkan tafsir yang kaku dan sempit.

Ciri lainnya tampak pada model keberagamaan yang eksklusif, merasa diri paling benar atau suci lantas menganggap kelompok lain sebagai kafir atau sesat. Terakhir, kesamaan JI dengan lahan salafi-wahabi adalah akrab dengan kultur kekerasan. Meraka menghalalkan cara kekerasan untuk mewujudkan agenda politik mereka.

Sebaliknya, paham Aswaja memiliki karakteristik yang berbeda sama sekali dengan salafi-wahabi. Doktrin Aswaja cenderung toleran dan moderat dalam menyikapi perbedaan agama dan aliran.

Model penafsiran Aswaja terhadap ayat Alquran atau hadist juga tidak semua bertumpu pada aspek tekstualitas, namun juga intelektualitas. Selain itu, paham Aswaja sangat anti pada kekerasan. Aswaja lebih mengedepankan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan.

Jamaah Islamiyyah dan Pertaubatan Ideologis

Selama ini, ada anggapan bahwa individu atau kelompok yang telah terpapar paham salafi-wahabi itu sudah meninggalkan apa yang diyakininya. Apalagi berpindah ke paham Aswaja. Namun, deklarasi pembubaran JI yang berisi poin komitmen kembali ke Aswaja mematahkan argumentasi tersebut.

Komitmen para mantan JI untuk kembali ke doktrin Islam Aswaja adalah bukti bahwa semua orang bisa berubah haluan sekaligus memvalidasi asumsi klasik bahwa di dunia ini tidak ada yang statis, apalagi kekal.

Sikap JI ini tentu patut diapresiasi karena tentu tidak mudah. Perubahan cara pandang dan sikap keberagaman secara drastis tentu tidak semua membalikkan telapak tangan. Apa yang dilakukan oleh para mantan JI ini bisa dikatakan sebagai bentuk hijrah spiritual. Apalagi momentumnya pas dengan datangnya tahun baru Islam, yang juga dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad.

Dalam konteks kekinian, hijrah kiranya memang tidak hanya merujuk pada perpindahan fisik semata. Hijrah, apalagi dalam konteks keindonesiaan adalah perubahan cara pandang dan perilaku sosial-keagamaan ke arah yang lebih konstruktif. Artinya, meninggalkan semua cara pikir dan perilaku yang potensial membahayakan bangsa dan negara. Termasuk cara pandang dan perilaku keaagamaan yang intoleran, dan pro-kekerasan.

Inilah yang disebut sebagai hijrah menuju paham Ahlussunnah wal Jaamaah. Yaitu berpindahnya cara pandang dan perilaku keagamaan yang eksklusif, intoleran, bahkan ekstrem ala paham salafi-wahabi menuju corak keberislaman yang inklusif, toleran, dan moderat. Hijrah menuju paham Aswaja juga bisa dimaknai sebagai pergeseran strategi dakwah yang pro-kekerasan menuju dakwah yang nir-kekerasan.

Tiga Karakteristik Dakwah Aswaja

Model dakwah keislaman ala Aswaja ini dicirikan oleh setidaknya tiga karakteristik. Pertama, dakwah yang selalu mengambil sikap jalan tengah dalam menyikapi kontroversi, polemik, atau konflik kepentingan yang terjadi di tengah umat.

Dalam konteks politik misalnya, dakwah model Aswaja tidak memaksakan kehendak untuk mendirikan khilafah Islamiyyah atau menjadikan syariah Islam sebagai hukum positif negara. Dakwah model Aswaja cenderung mengambil jalan tengah dengan menyepakati negara bangsa yang berdasar pada UUD 1945 dan Pancasila.

Sikap jalan tengah ini diambil untuk mengakomodasi kepentingan banyak entitas yang terlibat dalam pembentukan negara sekaligus menghindari konflik. Jika pun memperjuangkan tegaknya negara Islam, maka dakwah Aswaja akan mengambil jalur non-kekersan seperti mendirikan partai politik dan berkontestasi di Pemilihan Umum.

Hal ini pernah dilakukan oleh sejumlah partai, namun gagal memperoleh dukungan rakyat. Itu membuktikan bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia tidak mendukung gagasan negara Islam apalagi khilafah Islamiyyah.

Kedua, model dakwah Aswaja lebih mengedepankan gaya kompromi dan negosiasi ketimbang konfrontasi dalam menyikapi perbedaan agama dan golongan. Prinsip dakwah Aswaja adalah Islam harus menjadi kekuatan yang menghabiskan rasa adil, damai, dan aman bagi seluruh umat manusia.

Dakwah model Aswaja tidak bertendensi untuk menjadikan Islam sebagai kekuatan politik, melainkan sebagai sumber moral dan etika bersama yang menjadi fondasi tatanan sosial. Ketiga, model dakwah Aswaja selalu adaptif terhadap lokalitas, baik itu yang bernuansa pemikiran, falsafah, seni, maupun budaya yang mengakar di tengah masyarakat.

Dakwah Aswaja tidak berorientasi pada purifikasi Islam, alias pemurnian Islam dari pengaruh asing. Dakwah Aswaja lebih memprioritaskan bagaimana Islam mampu berinteraksi dengan lokalitas, namun tanpa kehilangan sakralitas dns jatidirinya.

Bubarnya JI yang disertai komitmen untuk mengadaptasi paham Aswaja kiranya bisa menjadi titik balik perjalanan para anggota dns simpatisannya. Kita tentu berharap, para petinggi, anggota, dan simpatisan JI tetap melanjutkan agenda dakwahnya di tengah umat.

Namun, bukan lagi dakwah ideologis dan subversif dan pro kekerasan seperti sebelumnya. Melainkan dakwah yang humanis dan nasionalis, ala Aswaja. Bagaimana pun juga, para petinggi dan anggota JI tetap dibutuhkan peran dan andilnya dalam pemberdayaan umat.

,

Facebook Comments