Melankolia dan Patologi Sosial

Melankolia dan Patologi Sosial

- in Narasi
1643
0
Melankolia dan Patologi Sosial

Politik melankolia adalah salah satu pendekatan politik yang lumrah disaksikan dalam tipe masyarakat tontonan seperti saat ini (Pilkada dan Politik Melankolia, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Pada wilayah politik praktis seringkali seorang kandidat, entah legislator maupun eksekutor, terpilih karena berbagai narasi biru yang sarat dengan luka dan nestapa, padahal tak banyak orang yang tahu akan kiprah-nya selama ini. Masyarakat tontonan memang bukanlah tipe masyarakat yang menilai seseorang berdasarkan kapabilitas, rekam jejak, kinerja, visi dan misinya (Politik Tahu Diri: Tentang Kemungkinan Membudayakan Kontrak Politik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Di sinilah kita pada akhirnya sampai pada sepotong zaman dimana politik adalah juga sebentuk performance art—konon Barack Obama terpilih sebagai presiden Amerika Serikat adalah karena saking “hidup”-nya ia memerankan narasi-narasi yang mengitarinya selama ini: orator yang ulung, pahlawan “kulit hitam,” dst.

Namun demikian, akan sangat berbahaya ketika politik melankolia itu menstrukturisasi radikalisme dan terorisme (“Petaka Melankolia dan Sekelumit Bom Surabaya,” Heru Harjo Hutomo, dlm. Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan, 2019). Pada banyak kasus terorisme kontemporer di Indonesia saya menemukan gejala melankolia semacam itu. Kebanyakan dari pelakunya adalah kalangan yang secara personal pernah berantakan kehidupannya (Terorisme dan Emansipasi Gender, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Bukankah di Suriah, dan beberapa kasus terorisme di Indonesia mutakhir, banyak dari anggota dan simpatisan IS yang berasal dari kalangan yang secara sosial pernah dikategorikan sebagai pekat atau “penyakit masyarakat”: mantan lonthe, preman, pemakai dan bandar narkoba, penari bugil, dst. (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org)?

Narasi-narasi melankolis tak urung akan menggiring pada suatu glorifikasi kepedihan yang mengundang simpati. Dengan diekspos kepedihan-kepedihan yang mengitari seseorang secara berlebihan, maka akan dengan mudahnya banyak orang bersimpati dan melakukan apapun demi “menyelamatkan” orang yang bersangkutan tanpa suatu imbalan. Padahal, belum tentu orang yang bersangkutan teraniaya sebagaimana yang dibayangkan. Ibarat seorang jomblo yang tak laku kawin, bisa jadi ia memang seorang yang tak menyukai komitmen dan institusi keluarga, alias seorang pemuja kebebasan. Demikian pula upaya deradikalisasi pada kalangan yang ditengarai radikal dan kambuhan, bisa jadi mereka memang tak membutuhkan pemahaman agama yang moderat—atau bahkan sama sekali tak membutuhkan agama dan sistem keyakinan serupa sebagaimana para nihilis yang telah lelah menyecap kenikmatan duniawi.

Efek pendekatan politik melankolia pada akhirnya akan melahirkan fenomena “keacuhan sosial” karena ternyata salah-pilih. Pada wilayah politik praktis hal ini berkaitan dengan keterputusan relasi antara rakyat dan pemerintah dimana harapan manis justru berbuah kenyataan pahit. Sedangkan pada wilayah sosial dan kebudayaan kerapkali itikad baik untuk mengubah dunia yang dianggap bobrok sebagaimana yang selama ini disajikan banyak agama dan ideologi berujung penggandaan kebobrokan karena radikalisme dan terorisme—ibarat ingin mengenyahkan pelacuran dengan cara melacur. Itulah kenapa melankolia pada akhirnya adalah sebentuk petaka yang akan menggiring pada suasana “masturbasif” dan wirang yang berkepanjangan.

Facebook Comments