Membangun Ketahanan Demokrasi dari Gelombang Narasi Provokasi di Medsos

Membangun Ketahanan Demokrasi dari Gelombang Narasi Provokasi di Medsos

- in Narasi
1295
0
Membangun Ketahanan Demokrasi dari Gelombang Narasi Provokasi di Medsos

Patut disadari, faktor dominan yang mempengaruhi naik turunnya tensi politik di tengah masyarakat jelang sebuah kontestasi politik adalah media massa dan media sosial (medsos). Bahkan terkadang, ia ibarat tungku kobaran pemanas tegangan politik. Tak sedikit juga yang nekat membangun narasi provokasi yang melanggar Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA). Tentu hal ini tidak pantas kita contoh, karena berdampak pada tidak sehatnya tubuh demokrasi.

Polemik tersebut tentu harus segera ditangani mengingat dikhawatirkan akan semakin kisruh manakala ada kegaduhan di media sosial yang ditunjukkan berupa hujatan, sindiran hingga makian yang semakin memanas. Jangan biarkan Facebook, Twitter,dan Instagrammenjadi panggung perseteruan opini masing-masing kontestan Pilkada. Bahkan meskipun Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 telah usai berlalu, namun faktanya masih menyisakan atmosfir kompetisi kedua kubu pendukung yang dibawah ke ranah iklim Pilkada tahun ini.

Medsos menjadi arena perseteruan kedua kubu untuk saling melemparkan sindiran, hujatan hingga caci maki yang jauh dari etika moral dan keberadaban. Residu labelisasi Pilpres 2019 dengan konotasi tidak sedap yaitu ‘kecebong’, ‘antek-PKI’, ‘kampret’, dan ‘kadrun’ masih berseliweran di jagat medsos baik dalam bentuk postingan ataupun komentar. Seakan-akan, masing-masing kubu yang berseteru melampiaskan kebuntuan emosi atau segala bentuk ekspresi negatif mereka di medsos (Dimitrova, 2011).

Dari sini kita tahu, sebagaimana telah diungkapkan (Madonna, 2019), bahwa tren pengguna media sosial meningkat namun kepercayaan terhadap media massa juga masih tinggi menunjukkan bahwa pers punya peran strategis atas berlangsungnya suatu pemerintahan. Teori kekuasaan dan pers memposisikan media massa dan insan pers sebagai salah satu pilar kekuatan keempat (fourth state) dalam suatu sistem keberagaman masih berlaku, bahkan bisa jadi pilar utama penentu iklim demokrasi kita.

Telah kita ketahui, para pakar politik menyebutkan terdapat empat pilar demokrasi yaitu lembaga yudikatif, eksekutif, legislatif, dan media. Lembaga yudikatif lebih berfungsi sebagai lembaga kehakiman, eksekutif ke pemerintahan dan legislatif sebagai lembaga pembuat undang-undang sekaligus mengawasi kinerja pemerintah. Sedangkan, media merupakan pilar keempat demokrasi. Hal ini dikarenakan supaya bebas dan netral dari unsur kekuasaan negara. Disamping itu media diharapkan bisa menjadi penyambung suara rakyat dan penekan bagi tiga pilar demokrasi sebelumnya. (Kartajaya, 2010).

Merespon berbagai gelombang narasi provokasi seperti menjelang PIlkada 2020 ini, sudah saatnya kita paham bahwa dewasa dalam berpolitik. Lebih-lebih mana kala berinteraksi di jagad medsos ataupun berkaitan dengan informasi, kejujuran dan kebenaran informasi menjadi hal yang vital. Menjunjung kebenaran dan iklim kedamaian patut dilakukan oleh setiap orang baik itu jurnalis maupun warganet. Kita bisa mengusung jurnalisme damai dengan berbagai penguatan literasi media ataupun literasi informasi. Atau bisa juga membawa nilai-nilai jurnalisme profetik (prophetic journalism).

Menurut Muhtadiah (2018) jurnalisme profetik merupakan jurnalisme yang mengemban tugas kenabian, yakni menyampaikan risalah yang bermanfaat untuk semua orang berdasar cinta sebagai ibadah kepada Allah SWT dengan cara: mengungkapkan kebenaran (truth), menegakkan keadilan (justice), mendukung terciptanya kesejahteraan (prosperity),menciptakan perdamaian (peace), dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal (universal humanity).

Jurnalisme profetik tentu relevan dengan jurnalisme Islami yakni jurnalisme yang meneladani empat kode etik Nabi Muhammad SAW yang ternyata sesuai dengan fungsi media, yakni shiddiq (menyampaikan, to inform), amanah (mendidik, to educate), tabligh (menghibur, to entertain),dan fathanah (melakukan kontrol sosial, social kontrol). Keempatnya juga bisa diartikan: shiddiq (berdasar kebenaran), tabligh (disampaikan dengan cara mendidik), amanah (dapat dipercaya), dan fathanah (dengan penuh kearifan). Nilai-nilai tersebut patut bisa kita terapkan dalam membangun ketahanan iklim demokrasi yang sehat. Selain itu, perlu dipahami bahwa dalam mengakses informasi yang beredar di medsos ataupun jagad maya, perlu memahami arah yang baik dan jalan yang lurus. Oleh karenanya, perlu mengeliminasi narasi provokasi dan inseminasi counter narrative yang berdasarkan nilai-nilai toleransi dan kedamaian.

Facebook Comments